“Asalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh”
“Salah
Sejahtera bagi Kita Semua”
“Om
Swastyastu”
“Namo
Buddhaya”
“Salam
Kebajikan”
Bapak/Ibu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dan Para Juri Lomba Orasi yang Terhormat!
Perkenalkan, saya adalah Alif Syuhada. Mahasiswa Universitas Terbuka (UT) Salatiga, Jawa Tengah. Pada kesempatan ini, perkenankan saya untuk menyampaikan orasi berjudul “Panca-Cita” Pembangunan Wisata Indonesia” sebagai bentuk kepedulian saya terhadap kemajuan sektor pariwisata Indonesia yang wajib diperjuangkan melalui produk legislasi. Saya berharap apa yang saya sampaikan ini menjadi Masukan Terhadap Revisi UU Kepariwisataan yang sedang dibahas oleh Komisi X DPR RI.
Bapak/Ibu Dewan yang Terhormat!
Pariwisata adalah sektor yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional dan membuka lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
Mari kita tengok data. Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat bahwa kontribusi pariwisata terhadap produk domestic bruto (PDB) Indonesia sebesar 3,83% hingga September 2023, atau meningkat sebesar 3,6% lebih tinggi dari tahun 2022.
Nilai devisa pariwisata nasional mencapai lebih dari USD 6 miliar. Lalu, nilai eskpor produk ekonomi kreatif (ekraf) mencapai USD11,82 miliar berikut nilai tambah ekraf sebesar Rp691,75 triliun. Peringkat Travel and Tourism Development index (TTDI) Indonesia telah berada di posisi 32 per 14 November 2023, atau naik 12 tingkat dari peringkat pada tahun 2019.
Kesuksesan sektor pariwisata dalam menciptakan peluang ekonomi menarik minat masyarakat desa. Data Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat adanya peningkatan jumlah desa wisata, dari yang semula berjumlah 3.613 desa wisata di tahun 2022 menjadi 4.714 desa wisata pada tahun 2023.
Kemudian, total tenaga kerja yang berhasil diserap secara keseluruhan mencapai lebih dari 45 juta tenaga kerja, dengan rincian 21,93 juta tenaga kerja di sektor pariwisata dan 24,34 tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif (ekraf).
Hebatnya lagi, daya serap tenaga kerja sektor wisata pun meningkat, dari yang semula menyerap 19,46 juta orang di tahun 2018 kini menjadi 21,26 juta orang pada tahun 2021. Data ini membuktikan bahwa sektor pariwisata berperan besar dalam memerangi tingkat pengangguran di Indonesia.
Baik, mari sekarang kita beranjak dari data statistic makro di atas menuju fakta-fakta kongkrit di lapangan. Saya ambil satu contoh Desa Wisata di dusun Tanon, Ngrawan, Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dusun Tanon ini dikenal dengan nama popular “Desa Menari”.
Sepanjang berinteraksi dengan para pegiat Desa Wisata Menari, saya pun jadi paham kontribusi sektor wisata bagi rakyat pedesaan. Keberadaan Desa Wisata rupanya terbukti memberikan nilai tambah bagi masyarakat dusun Tanon, tanpa mereka harus meninggalkan profesi asli mereka sebagai peternak, petani, hingga seniman tari tradisional.
Berkat desa wisata, masyarakat Tanon dapat menjual hasil tani dan ternaknya secara langsung ke pengunjung wisata (konsumen), tanpa harus melalui tengkulak. Hasilnya tentu lebih banyak.
Lalu, seniman/penari tradisional dusun Tanon juga dapat memperoleh pemasukan dari desa wisata. Mereka bahkan tak perlu mencari job pentas tari ke luar desanya. Berkat sektor wisata, pekerjaan pun mendatangi mereka sendiri di kampung halamannya.
Bahkan, warga pun juga memperoleh pemasukan tambahan dari rumahnya yang bersedia dijadikan home stay, tempat menginap bagi wisatawan selama beberapa hari di Desa Menari.
Pengalaman ini membuktikan bahwa Desa Wisata dapat menjadi pintu masuk putaran ekonomi nasional, bahkan juga internasional, untuk masuk ke desa dan dinikmati masyarakat lokal setempat. Bila terkelola secara maksimal, desa wisata dapat menjadi solusi jitu untuk mencegah urbanisasi.
Selain manfaat ekonomi, desa wisata juga membuka peluang kerjasama yang menguntungkan bagi desa. Misalnya kerjasama dengan instansi pendidikan, pemerintah, maupun juga pihak swasta dalam meningkatkan kualitas SDM masyarakat desa, atau pun hibah fasilitas dan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat setempat.
Mengingat besarnya kontribusi sektor wisata di atas, maka sudah selayaknya negara hadir dan memperhatikannya secara serius. Kehadiran negara harus dibuktikan dengan dukungan produk legislasi yang berpihak pada masyarakat lokal, kelestarian alam, sekaligus ekonomi kreatif rakyat kecil. Mengapa? Sebab tanpa adanya dukungan produk legislasi, maka pariwisata yang semula adalah berkah justru akan mengundang bencana akibat salah urus.
Terlebih saat dibandingkan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2024, data-data capaian sektor wisata di atas belum memenuhi. Target RPJMN 2024 adalah nilai devisa pariwisata Indonesia adalah sebesar USD 30 miliar, lalu target peringkat Travel and Tourism Competitiveness Index berada di maksimal peringkat 29.
Produk legislasi adalah kunci untuk memajukan sektor wisata. Tapi, sebuah kunci dapat berfungsi bila memiliki pola dan bentuk yang tepat. Begitu pula dengan UU Kepariwisataan.
Bapak/Ibu Dewan yang Terhormat! Menurut saya ada lima prinsip yang harus ada dalam UU Kepariwisataan supaya membuka “pintu surga” bagi kesejahteraan masyarakat sekaligus bagi kemajuan perekonomian nasional dan kepribadian bangsa. Lima hal tersebut adalah:
UU Pariwisata Harus Mendukung Kelestarian Alam
Alam adalah salah satu objek wisata paling menarik perhatian, terutama bagi kalangan Gen Z dan Milenial. Mereka sering berburu foto-foto menarik di gunung, pantai, air terjun, hutan pinus untuk dipamerkan ke media sosial. Sayangnya, daya tarik alam justru kerap kali mengundang kerusakan seperti sampah dan alih fungsi lahan.
Problem sampah umumnya disebabkan oleh para pengunjung yang masih suka membuang sampah sembarangan. Tak jarang sampah plastik, sisa makanan, botol minuman, dan tisu terlihat berserakan atau menumpuk di satu tempat. Sampah ini menimbulkan bau dan pemandangan yang tak sedap.
Sampah mengotori keasrian bukit, gunung, dan hutan. Mencemari danau, sungai hingga pantai. Sampah juga melukai, bahkan membunuh hewan-hewan yang hidup di alam. Jika dibiarkan, kelak generasi selanjutnya tak akan dapat lagi menikmati keindahan alam.
Lalu, tumpukan sampah yang tercampur antara organik dan anorganik dapat memicu timbulnya limbah air lindi yang merusak tanah, mencemari sungai. Demikian pula limbah sabun (greywater) yang berasal dari kamar mandi dan cucian piring milik restoran dan hotel-hotel di lokasi wisata turut mencemari sungai. Hal ini tentu merugikan masyarakat yang hidup di sepanjang hilir sungai, maupun warga sekitar lokasi wisata. Padahal, mereka berhak akan air bersih.
Tak hanya menimbulkan persoalan sampah dan limbah. Pariwisata juga memicu alih fungsi lahan yang acap kali tidak memperhatikan dampak lingkungan atau menggerus lahan-lahan subur untuk pertanian.
Di gunung, saya melihat banyak kebun sayur-mayur dijadikan hotel, restoran, dan fasilitas bangunan lainnya. Konsekuensinya, terjadi penggundulan, bukit dikeruk, dan lahan subur ditutup semen beton. Tentu hal ini dapat menyebabkan bencana alam, seperti longsor dan banjir, sekaligus memicu krisis pangan karena berkurangnya lahan pertanian.
Mirisnya lagi, kadang kebun warga jadi rusak akibat pengunjung berburu spot foto menarik. Tentu ini merugikan petani.
Sama halnya di laut. Adanya reklamasi dan pembangunan di sekitar pantai dapat merusak eksistem biota laut. Belum lagi udara yang turut tercermar karena polusi kendaraan yang dibawa wisatawan.
Oleh sebab itu, legislasi harus hadir melindungi dan melestarikan alam agar keindahan alam dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. UU Kepariwisataan harus memasukan analisis dampak lingkungan (Amdal) sebagai syarat ketat untuk membangun di wisata alam.
UU Kepariwisataan harus mewajibkan pengusaha atau pengelola untuk menangani sampah dan limbah yang dihasilkan dari proses bisnisnya sampai tuntas, supaya alam tetap lestari dan masyarakat lain mendapatkan haknya atas air bersih dan tanah yang sehat untuk produksi pangan.
Bila perlu, UU Kepariwisataan dapat memberikan insentif pada mereka yang mampu mengubah sampah dan limbah dari sektor wisata menjadi produk baru yang bernilai tambah atau menyuburkan alam. Misalnya pupuk organic dari sampah sisa makanan.
Guna mencegah alih fungsi lahan, UU Kepariwisataan harus berpihak pada model wisata yang selaras dengan kelestarian alam. Misalnya wisata agroforestry, edukasi satwa alam, hingga model wisata tani seperti yang dilakukan oleh Desa Wisata Menari. Model wisata semacam ini harus didukung khusus karena membantu melestarikan alam sekaligus menciptakan tambahan pemasukan tanpa mengubah kondisi sosiologi dan geografis asli lokal setempat. Begitu pula dengan jajanan tradisional yang minim sampah plastik.
UU Kepariwisataan juga harus mendorong sektor wisata untuk melakukan edukasi yang menumbuhkan rasa cinta lingkungan. Lebih jauh lagi, sektor wisata alam harus dimasukan dalam bagian upaya membuka lapangan kerja di bidang lingkungan (greenjobs) untuk kaum muda.
UU Pariwisata Harus Melindungi dan Memajukan Budaya Lokal
Selain menjadi pintu masuk rezeki, pariwisata juga turut membawa masuk budaya luar, terutama budaya urban untuk masuk ke masyarakat lokal. Baik itu dibawa oleh pengunjung maupun pemodal yang umumnya berlatar budaya urban.
Tak jarang, kehadiran budaya urban menimbulkan ketegangan dan konflik karena bertentangan dengan nilai-nilai lokal setempat. Budaya urban lebih berorientasi materialis, cenderung mengeksplorasi hiburan dan kesenangan. Bahkan terkandang, budaya urban membawa dampak buruk seperti prostitusi hingga obat-obatan terlarang. Sayangnya, banyak generasi muda dari masyarakat lokal yang meninggalkan tradisi lokal orang tua mereka karena godaan budaya urban yang sulit dilewatkan.
Lalu, pemodal yang berasal dari kultur urban itu turut menyempurnakan penggerusan produk dan budaya lokal melalui bisnisnya yang berkultur perkotaan. Peralahan-lahan, masyarakat yang berkultur rural-tradisional pun tersingkir.
Pariwisata yang bercorak urban hanya menempatkan budaya lokal sebagai gimmick marketing saja. Budaya tradisional yang tadinya syarat akan makna luhur, bersifat spiritual, pun sekadar menjadi atraksi hiburan semata. Orientasinya pun berubah sekedar untuk menarik dan menghibur wisatawan. Bukan menjadi tuntunan yang syarat akan pesan moral dan bernilai edukasi.
Dampak dari tergerusnya budaya tradisional adalah berubahnya masyarakat lokal yang semula ramah, bersahaja, suka bergotong-royong menjadi konsumtif, materialistic, meniru para turis maupun gaya hidup urban yang ditawarkan oleh bisnis makanan dan hiburan yang berkultur urban.
Bila invansi budaya urban dibiarkan terus-menerus, tanpa adanya proteksi budaya lokal, maka tak mustahil akan menggerus eksistensi keragaman budaya lokal. Kekayaan tradisi nusantara pun menghilang. Masyarakat lokal kehilangan generasi pewaris budayanya. Pada Akhirnya, jati diri karakter bangsa pun terancam hilang.
Oleh sebab itu, UU Kepariwisataan harus hadir untuk melindungi budaya lokal. Bagaimana caranya?
UU Kepariwisataan harus memberikan insentif khusus pada pegiat kesenian lokal supaya budaya tradisional tetap lestari, terpelihara. UU Kepariwisataan juga harus melindungi produk lokal masyarakat setempat agar kreatifitas mereka tidak diambil pemodal besar, serta mendapatkan pangsa pasar. Dukungan aturan ini akan mengembangkan produk lokal semakin bagus mutu kualitasnya.
UU Kepariwisataan harus membatasi masuknya modal atau model bisnis dari luar daerah yang kurang selaras dengan budaya lokal. Jika hendak mengembangkan usaha, pemodal diharuskan turut mendukung kemajuan produk lokal setempat.
UU Kepariwisataan harus melindungi profesi lokal masyarakat setempat. Bila perlu, melindungi pula kultur kehidupan desa yang bersahaja. Bahkan, pariwisata seharusnya memberi nilai tambah atas kehidupan dan budaya lokal sehari-hari masyarakat setempat, tanpa mengubah mereka menjadi urban. Seperti yang dilakukan oleh Desa Wisata Menari.
Dalam upaya memperkuat jati diri bangsa, UU Kepariwisataan harus menempatkan budaya lokal sebagai sumber inspirasi dan edukasi kepada wisatawan yang berkunjung. Budaya lokal tidak boleh berhenti sekadar menjadi aksesoris atau gimmick penarik wisatawan saja.
Sektor wisata harus menjadi sarana untuk memperkuat rasa nasionalis warganya, menjadi media untuk mengangkat citra bangsa di mata internasional sekaligus mempererat persahabatan antar bangsa-bangsa.
Oleh sebab itu, UU Kepariwisataan harus menjamin kelestarian warisan arkeologis dan situs-situs bersejarah nasional. Konsep wisata harus diatur, diarahkan pada model wisata edukasi yang memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia.
Bahkan bila perlu, UU Kepariwisataan dapat membatasi jumlah kunjungan untuk menyelamatkan situs-situs budaya tertentu agar tidak rusak, maupun situs wisata yang disucikan dan dijadikan tempat ibadah oleh golongan masyarakat tertentu.
UU Kepariwisataan Harus Melindungi Hak Tempat Tinggal Masyarakat Lokal dan Mendukung Partisipasi yang Setara
Tak hanya mengancam budaya lokal. Pariwisata juga mengancam tempat tinggal masyarakat lokal. Sering dijumpai penduduk asli sekitar lokasi wisata sudah digantikan oleh pendatang. Masyarakat lokal justru tergusur, pindah semakin pinggir menjauhi lokasi strategis yang membuka peluang besar ekonomi wisata.
Mengapa ini bisa terjadi?
Seringkali hal ini terjadi akibat lemahnya daya saing masyarakat lokal. Baik secara kapital maupun kualitas SDM. Akibatnya, masyarakat lokal tak punya banyak pilihan selain merelakan tanahnya terjual ke pemodal. Bahkan terkadang terjadi pula cara yang kasar mencerabut masyarakat lokal dari tempat tinggalnya dengan cara penggusuran. Tentu hal ini tidak boleh terjadi.
Sebab itu, UU Kepariwisataan harus memastikan masyarakat lokal bisa menjadi tuan atas rumahnya sendiri. Masyarakat lokal harus dilibatkan sebagai pihak yang setara dalam pengembangan wisata.
UU Kepariwisataan harus membatasi monopoli modal dan kepemilikan tanah oleh pihak luar di tempat wisata. Undang-undang harus menempatkan masyarakat lokal atau pemerintah desa menjadi partner bisnis yang setara dengan pihak pemodal. Mereka harus terlibat aktif dalam perencanaan dan pembangunan wisata.
UU Kepariwisataan hendaknya menjamin masyarakat lokal menjadi prioritas pertama dalam penyerapan tenaga kerja sektor wisata. Bila kualitas SDM belum mumpuni, maka pemodal wajib melakukan pelatihan, transfer of knowledge, supaya masyarakat lokal dapat bekerja dan lebih terdidik. Termasuk pula menyediakan lapangan kerja khusus penyandang diffable. “No One Left Behind”. Tidak ada satu pun yang boleh tertinggal!
UU Kepariwisataan harus menjamin pembangunan wisata bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, keadilan dan demokrasi ekonomi. UU Kepariwisataan harus menjamin perluasan dan pemerataan pembangunan kepariwisataan ke seluruh wilayah nasional.
UU Kepariwisataan Harus Meningkatkan Kualitas SDM Masyarakat Lokal
Salah satu penyebab utama tergusurnya warga lokal dari sektor wisata adalah rendahnya kualitas SDM masyarakat setempat. Jadi UU Kepariwisataan harus menjamin peningkatan kualitas SDM masyarakat lokal melalui edukasi dan pelatihan. Selaras dengan amanat dan tujuan negara, yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Biasanya, taraf Pendidikan masyarakat lokal cenderung rendah. Padahal pariwisata memerlukan kualitas SDM yang mumpuni, seperti kemampuan berbahasa asing, memandu turis, digital marketing, manajemen usaha, mengelola home stay, kuliner, dan sebagainya. Sayangnya, segala kemampuan ini umumnya dimiliki oleh pendatang atau pemodal yang berasal kaum urban.
Tak hanya untuk mengembangkan wisata. UU Kepariwisataan harus menjamin peningkatan pendidikan untuk pengembangan ekonomi kreatif (Ekraf). Mereka harus dilatih agar mampu membuat suatu produk kreatif yang diolah dari bahan lokal menjadi sesuatu yang bernilai tambah.
Salah satu cara untuk menjamin taraf pendidikan SDM masyarakat lokal adalah dengan mewajibkan akademisi, perbankan, universitas, NGO, dan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mengadakan pelatihan dan edukasi yang relevan untuk pengembangan pariwisata lokal maupun sektor ekonomi kreatif (ekraf). Mereka harus ditugasi untuk memajukan pariwisata agar mampu berdaya saing, maju, dan mandiri.
UU Kepariwisataan Harus Menjamin Ketersediaan Modal dan Pembangunan Infrastruktur Sektor Wisata
Selain kualitas SDM, keterbatasan modal menjadi kendala bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi wisatanya. Mereka tak bisa membangun infrastruktur maupun fasilitas-fasilitas wisata yang diperlukan.
Masyarakat lokal rata-rata hanyalah kalangan kelas menengah ke bawah. Kekuatan ekonomi mereka hanya cukup untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari. Penghasilannya pas-pasan. Sudah tentu tak mampu membiayai pembangunan infrastruktur pariwisata dari kantong mereka sendiri.
Modal tak hanya diperlukan untuk belanja infrastruktur, melainkan juga untuk belanja tenaga kerja. Mengapa? Sebab masyarakat lokal umumnya sudah terikat waktunya pada pekerjaan. Jadi mereka tak punya cukup waktu luang untuk mengembangkan wisata lokalnya menjadi wirausaha kolektif.
Jika mereka mengerahkan banyak waktu dan tenaga untuk membangun wisata, maka kebutuhan hidup dan harian rumah tangganya akan terganggu. Anak dan keluarga mereka tidak bisa makan. Beda cerita bila mereka digaji selama merintis wisata. Kemungkinan besar dapat berjalan.
Bapak/Ibu Dewan dan para Juri yang Terhormat. Itu tadi “Panca-Cita Pembangunan Wisata Indonesia” yang menurut saya penting untuk menjadi napas UU Kepariwisataan Indonesia. Semoga suara kami ini didengar agar Kepariwisataan Indonesia ke depan sesuai dengan prinsip-prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) dan memastikan tidak ada siapa pun yang tertinggal (No One Left Behind) dalam pengembangan wisata.
Salam Pariwisata Indonesia yang Berkemajuan!