Apa
yang harus ditakuti dari sebuah penderitaan? selama kita masih memiliki kasih
sayang. Itulah kira-kira naluri asali perempuan, ibu manusia sekaligus ibu
kehidupan dan peradaban. Kemampuan alamiah perempuan untuk melahirkan tidaklah
pernah dianggap sebagai musibah dan dipermasalahkan sebaigaimana di beberapa
aliran feminisme. Bahkan, kemampuan perempuan untuk melahirkan mengantarkan
perempuan kepada puncak hirarki sosial pada zaman matriarkat. Kehamilan tidak
membuat perempuan harus ‘merasa’ dipingit. Terbatasnya perempuan untuk bergerak
di luar justru membuatnya kreatif menciptakan sumber kehidupan yang tak akan
tergantikan sampai kapanpun yakni pertanian.
Pertanian
adalah penemuan kreatif perempuan. Jasa perempuan dalam menemukan pertanian
dipuji oleh Soekarno dalam bukunya Sarinah[1].
Soekarno menyebut bahwa perempuan patut mendapat patung penghargaan dalam hati
manusia sebab telah menciptakan sumber kehidupan yang lebih terjamin
dibandingkan dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Dengan ditemukannya
pertanian, perempuan berperan besar mengubah secara radikal perjalanan peradaban
manusia.
Soekarno
menjelaskan proses penemuan pertanian oleh perempuan dengan gaya cerita yang
merakyat. Sebelumnya, nasib perempuan tersia-sia pada periode berburu dan
mengumpulkan makanan. Aktifitas berburu didominasi oleh laki-laki sebab secara fisik,
laki-laki telah dibekali kemampuan tersebut. Perempuan harus berdiam di dalam
gua atau bawah pepohonan sebab harus menjaga anak-anak mereka. Pembagian kerja
tersebut membuat perempuan sangat bergantung kepada laki-laki dan otomatis
membuat hidupnya teraniaya. Perempuan menjadi makhluk kedua serta dianggap
beban komunitas pada zaman berburu.
‘Terpenjaranya’
perempuan di rumah membuatnya tidak menghentikannya untuk memikirkan cara
mendapat makanan untuk anaknya. Biji-biji tumbuhan yang ia kumpulkan tak
sengaja jatuh ke tanah kemudian tumbuh di sekitar tempat ia menyimpan makanan.
Perempuan melihat biji yang tumbuh itu dan mulai berpikir bahwa biji-bijian
tersebut bisa ia sebar di sekitar pekarangan rumah. Naluri perempuan untuk
memelihara yang mendorongnya untuk menjaga anak kemudian ia curahkan kepada
biji-biji tanaman tersebut. Akhirnya, tumbuhan pangan dapat tumbuh dalam
pekarangan kecil rumahnya. Perempuan dengan mudah mendapat makanan sembari
menjaga anak melalui kebun-kebun kecil yang ia rawat. Kebun-kebun itu membuat
perempuan bebas dari ketergantungan ekonomi terhadap laki-laki yang seringkali
hasilnya berburu tidak pasti.
Naluri memelihara yang berasal dari kodrat alamiah perempuan untuk menjaga anak tidak hanya menciptakan revolusi penghidupan berupa pertanian. Perempuan kemudian mulai berpikir menciptakan rumah dari potongan ranting untuk melindungi anak dan dirinya dari hujan dan terik matahari. Perempuan juga membuat periuk, baju, hingga menyusun hukum yang mengatur kehidupan keluarga. Atas penemuan tersebut, perempuan adalah ibu kandung lahirnya peradaban.
Perempuan juga mengubah secara radikal bentuk kehidupan nomaden menjadi ‘menetap’. Kita pun mengenal istilah ‘Ibu Pertiwi’ dan ‘Ibu Kota’ sebagai hasil perjalanan panjang yang bermula dari tindakan sederhana perempuan menyusun ranting pepohonan menjadi rumah. Pertanian dan kebudayaan ‘menetap’ akhirnya menjadi pilar yang terus menyangga kehidupan umat manusia hingga saat ini.
Hancurnya Naluri Memelihara
Perubahan
besar peradaban umat manusia yang dipelopori oleh perempuan tidak lain
bersumber dari cara perempuan memperlakukan alam. Perempuan berhasil
memaksimalkan dorongan naluriahnya untuk memelihara pada alam semesta. Hal ini
berbeda dengan naluri laki-laki yang cenderung berupaya menaklukan alam. Naluri
penaklukan alam terlihat jelas dalam budaya berburu dan mewujud secara
mengerikan dalam bentuk eksploitasi industri atas kekayaan alam.
Lahirnya budaya pertanian menepis anggapan bahwa perempuan hanyalah manusia pasif dan menjadi objek semata. Perempuan kemudian diasosiasikan sebagai bumi sebab pertanian. Alam yang sebelumnya sangat maskulin penuh dengan pertempuran hewan buas menjadi sangat ramah, memberi kelimpahan dan penuh kasih sayang setelah adanya pertanian.
Meski nampak tenang dan tidak mendominasi, perempuan dan alam tak akan pernah bisa sepenuhnya diobjekkan. Manusia tetap takluk terhadap bulir-bulir padi dan seteguk air saat lapar walaupun ia mampu membuat senjata pemusnah terhebat sekalipun. Begitu halnya sendi kehidupan sosial akan hancur jika perempuan dilemahkan.
Budaya kapitalisme yang eksploitatif adalah bentuk budaya sakit sebab memusuhi alam dan mengobjekkan perempuan. Budaya kapitalisme menyebabkan kelaparan, peperangan, bencana alam serta membuat manusia menjadi komoditas. Kehidupan kapitalis membawa manusia kembali pada zaman berburu. Kehidupan pun terasa menjadi liar, buas dan memusuhi.
Kapitalisme menghancurkan perempuan bukan dalam bentuk pingitan ala feodalisme, melainkan dalam bentuk non fisik berupa hancurnya naluri asalinya untuk memelihara kehidupan. Ruang publik menarik perempuan keluar dari peran utamanya sebagai produsen pertanian dengan segala turunannya. Perempuan menjadi objek pasar produk kosmetik, fashion, sosialita dan gaya hidup konsumtif. Naluri perempuan untuk memelihara telah dihancurkan oleh naluri konsumtif yang diabdikan pada sebuah lensa kamera.
Demi sebuah foto menarik, perempuan harus membayar dengan harga yang tidak murah. Fashion terbaru, kosmetik, makanan yang instagramable, tempat selfie yang menarik harus dibayar dengan kerusakan alam. Perempuan jarang menanyakan darimana asal barang-barang sosialita yang mereka beli serta kurang peka mengapa bumi semakin tidak ramah huni.
Perempuan juga tidak kritis atas waktu-waktu berharganya yang dirampas oleh gaya hidup sosialita tersebut. Mereka terjebak dalam ruang publik tanpa mengerti makna emansipasi. Kecantikan, keramahan, dan kasih sayang mereka menjadi komoditas pasar yang menguntungkan indutri. Sementara itu, perceraian meningkat, dan anak terlantar ada dimana-mana. Selain itu, ruang publik juga membuat perempuan rentan menjadi objek kekerasan.
Kamera mencabut perempuan keluar dari pertanian yang pernah mengangkat derajatnya mencapai posisi sentral hirarki sosial. Perempuan meninggalkan pertanian dan masuk dalam dunia industri atas dasar emansipasi. Dengan sendirinya, dunia kapitalisme mengembalikan posisi perempuan kepada periode manusia berburu dimana perempuan hidup tersia-sia dan tersubordinasi.
Kebangkitan Ekologi ; Alternatif Gerakan Perempuan Pasca Emansipasi
Jika
kita menyadari bahwa perempuan di dunia kapitalisme kembali kepada zaman
manusia berburu, maka sudah saatnya perempuan bangkit menggunakan daya kreatifnya
untuk mengubah zaman, sebagaimana saat mereka menemukan pertanian. Sebab itu,
sudah saatnya perempuan kembali memainkan peran sentralnya mengolah dan merawat
alam, bukan memusuhinya.
Selama
dominasi kapitalisme berkuasa, perempuan tidak diam. Mereka bangkit
memperjuangkan haknya sebagai manusia. Gerakan perempuan pertama-tama lahir
untuk memperjuangkan hak politik dan partisipasi perempuan dalam urusan public. Sebut saja gerakan perempuan yang muncul di
Amerika pada pertengahan abad ke-19[1].
Perempuan Amerika menuntut emansipasi persamaan hak serta penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan. Tuntutan gerakan perempuan Amerika tersebut
kini menjadi dasar bagi gerakan perempuan dunia yang kini disebut feminisme.
Gerakan politik perempuan Indonesia juga sangat dinamis pada masa pergerakan kemerdekaan. Pusat penelitian politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merekam kiprah perempuan di ranah politik dari masa ke masa.[1] Emasipasi perempuan yang diawali Kartini untuk memperjuangkan pendidikan perempuan bergulir hingga diperhitungkannya perempuan dalam kancah politik seperti lahirnya Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) pada tahun 1928 dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada tahun 1945. Geliat perempuan dalam pergerakan kebangsaan kemudian hancur saat masa Orde Baru yang sangat mewaspadai gerakan perempuan serta menempatkan kembali perempuan dalam ranah domestic seperti mengurus anak dan mengatur ekonomi rumah tangga.
Era reformasi membuka kembali ruang perempuan untuk berpartisipasi dalam area public. Hak-hak perempuan sebagai manusia telah dijamin dalam perundang-undangan. Perempuan dapat menggeluti karir mereka mulai dari berwirausaha hingga menjadi penulis maupun politisi. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa perilaku diskriminasi terhadap perempuan juga masih terjadi.
Tercapainya
emansipasi memberi pertanyaan besar bagi gerakan perempuan akan eksistensi
mereka. Eksplorasi diskriminasi gender akan menjadi wacana yang membosankan
jika terus di dengungkan di tengah zaman yang sudah mulai berpihak pada
perempuan. Semakin hari semakin bertambah perempuan yang telah berdaya sebab
telah memiliki kesempatan yang sama dalam dunia public. Sebab itu, perempuan
harus lebih memperkuat posisi sosialnya dengan memperjuang persoalan kehidupan
yang lain, bukan hanya memperjuangkan dirinya sendiri terus menerus.
Alternatif
gerakan perempuan pasca emansipasi adalah gerakan ekologi. Perempuan memiliki
dasar historis kuat menjembatani kehidupan alam dan manusia menjadi harmonis
melalui penemuan pertanian. Melalui gerakan ekologi, perempuan akan kembali
menggelorakan naluri untuk merawat sebagai kritik atas kapitalisme yang cenderung
memusuhi alam. Perempuan akan menjadi pantuan umat manusia kembali sebagaimana
yang pernah ia capai setelah mengalahkan zaman berburu : modus penaklukan alam
yang paling kuno. Gerakan ekologi akan turut membebaskan perempuan dari emansipasi
semu yang diciptakan oleh kapitalisme melalui ruang publik yang menjadikan
perempuan sebagai objek pasar, tenaga kerja, serta komoditas yang
menguntungkan.
Gerakan
ekologi yang dilakukan oleh perempuan telah muncul di berbagai daerah Indonesia
mulai dari gerakan sederhana mengolah limbah sampah hingga aksi penolakan
pembangunan pabrik yang merusak lingkungan. Kita bisa meneladani sosok ‘Kartini
Kendeng’ bernama Gunarti yang melakukan aksi protes pembangunan pabrik semen di
wilayah Pegunungan Kendeng di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Gunarti adalah
perempuan pertama yang menggerakan desanya menolak pembangunan pabrik semen. Ia
berkeliling di 7 desa menemui para ibu dan menjelaskan mengapa pabrik semen
harus diprotes.[1]
Gunarti dibantu oleh Patmi yang wafat setelah mengakhiri aksi mengecor kaki
dengan semen di depan Istana Merdeka (21/3/17).
Gunarti
memiliki kesadaran ekologi yang kuat tanpa harus mengikuti kursus-kursus
pergerakan. Ia beranggapan bahwa alam sudah memberikan segalanya untuk
masyarakat kendeng mulai dari pangan, sandang dan papan. Sebab itu, menjaga ibu
bumi atau alam adalah sebuah keharusan. Bagi Gunarti, membiarkan pabrik semen
menambang Kendeng adalah bentuk pengkhianatan terhadap ibu Bumi.
Kesadaran ekologis yang kuat dari 2 Kartini Kendeng diatas datang profesi mereka sebagai petani. Protes pembangunan pabrik semen mungkin tidak akan terjadi jika Gunarti dan Patmi adalah seorang pegawai bank. Sebab itu, gerakan ekologi hanya akan kuat jika banyak perempuan yang mengisi krisis regenerasi petani Indonesia. Selama tidak menjadi petani, gerakan ekologi perempuan mungkin hanyalah sebuah foto manis di instagram dengan caption ‘cintailah alam’ setelah lupa meninggalkan bekas gelas minuman tergeletak sembarangan di alam yang menangis.
[1] Suara.com. (2017, 3 April). Siapa Gunarti, Perempuan Tangguh di Balik Tolak Semen Kendeng. Diakses pada 27 April 2020 dari https://www.suara.com/news/2017/04/03/203240/siapa-gunarti-perempuan-tangguh-di-balik-tolak-semen-kendeng
[1] Politik.lipi.go.id. (2010, 30 Juni). Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa ke Masa. Diakses pada 27 April 2020, dari http://www.politik.lipi.go.id/kolom/296-kiprah-perempuan-di-ranah-politik-dari-masa-ke-masa
[1] Lakilakibaru.or.id.
(2015, 8 Maret). Sejarah Gerakan Perempuan di Dunia. Diakses pada 27 April
2020, dari https://lakilakibaru.or.id/sejarah-gerakan-perempuan-di-dunia/
[1] Sarinah, Ir Soekarno, Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno, Tjetakan Ketiga : 1963.
