“Ambil semua mangganya lif, eman-eman kalau dimakan codot
(kelelawar buah)”
Tiap kali pohon mangga depan rumahku mulai ranum buahnya,
ungkapan di atas pasti terucap. Aku hanya mengiyakan saran mereka, meski ada
cara berpikir yang kurang kusepakati. Rasanya kok ungkapan itu tidak berempati
pada makhluk lain yang sama-sama memiliki hak sama atas rezeki pangan yang
diberikan Tuhan.
Seolah makanan di muka bumi ini hanya bernilai ketika masuk
mulut manusia dan dianggap “mubazir” bila dimakan oleh binatang yang kelaparan.
Padahal budaya nusantara kita telah mengajarkan nilai mulia berbagi makanan
pada hewan dan mikroba melalui tradisi “sesajen”. Pikiran modern justru salah
memahami tradisi ini sebagai perbuatan sia-sia. Padahal, menghidupi hewan dan
mikroba itu juga menghidupi manusia.
Ironisnya, upaya manusia memonopoli seluruh pangan di muka
bumi menyebabkan banyak sekali makanan terbuang sia-sia. Kerakusan manusia terhadap
aneka pangan di muka bumi memicu kerusakan alam melalui food waste dan
krisis energi.
Mari tengok data. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) mencatat sebesar 40,64% dari total sampah nasional sepanjang tahun 2022,
sebanyak 35,92 juta ton, merupakan sampah sisa makanan. Jumlahnya paling banyak
dibandingkan jenis sampah lainnya[1]. Hal ini menempatkan Indonesia
sebagai negara ketiga dunia penghasil sampah pangan terbanyak.
Sampah makanan dibagi menjadi dua bagian, 1. food loss
yakni pangan yang terbuang selama tahap produksi, 2. Food waste yakni
pangan yang terbuang saat distribusi, pemasaran, dan konsumsi.[2] Food waste adalah jenis sampah makanan paling banyak.
Jumlahnya mencapai 19 juta ton per tahun.
80%
food waste berasal dari rumah tangga. Sedangkan sisanya (20%) berasal
dari sektor non-rumah tangga. Ironisnya, 44% food waste masih layak
makan. Ini tak hanya dzolim pada binatang, melainkan juga pada saudara manusia
kita yang hidup kelaparan.
Tak
hanya menyia-nyiakan rezeki Tuhan, food waste juga memicu emisi gas
rumah kaca yang memperparah dampak global warming. Jenis gas yang
dihasilkan adalah metana yang potensinya bahkan 25 kali lebih tinggi
dibandingkan karbon dioksida dalam meningkatkan pemanasan global.
Mendaur Sampah menjadi Pangan Bergizi
Apakah
makanan bisa didaur ulang? Tentu bisa. Tak perlu mesin canggih untuk mendaur
ulang pangan. Cukup dengan ayam kampung. Ya betul, ternak sejuta umat ini
adalah teknologi ajaib pendaur pangan.
Mulanya,
aku memelihara ayam untuk hobi saja. Buat selingan kegiatan saat menulis dan
kuliah online. Setelah ayam kampung yang kubeli itu tumbuh besar,
barulah kurasakan manfaat lainnya. Yakni sisa makanan dari dapur rumah tidak
lagi terbuang sia-sia karena dimakan ayamku sampai habis. Jadi, rumahku bebas
dari lalat dan bau tak sedap.
Bahkan
kemarin saat ada hajatan nikah adikku di rumah, timbulan sisa makanan dari tamu
undangan pun habis dilahab ayam sehingga tak mencemari lingkungan rumah.
Berkat
ayam kampung, aku dapat mencegah “polusi” dan potensi ancaman pemanasan global diolah
menjadi “gizi”. Berkat ayam kampung, aku dapat mengubah sampah menjadi sesuatu
bernilai tambah berupa daging ayam segar dan telur bergizi. Tak hanya itu, ayam
kampung dapat menyuburkan tanah melalui fesesnya.
Lama-kelamaan,
ayam kampungku beranak pinak hingga 40 ekor sekarang. Karena terlalu banyak,
sebagian ayamku itu kujual. Tidak susah menjual ayam kampung sebab
permintaannya cukup tinggi dan stabil harganya. Ayam jantan harganya 70-100
ribu rupiah, sedangkan ayam betina harganya 40-50 ribu rupiah. Aku pun dapat
tambahan uang dari dua hingga empat ekor ayam yang terjual.
Aku
sendiri sudah punya satu pembeli langganan ayam kampung. Ia adalah seorang ibu
pemilik catering dengan menu utama ayam kampung. Biasanya, ia akan datang ke
rumah untuk membeli ayam kampungku. Ia merasa diuntungkan karena punya pemasok
tetap kateringnya.
Selain
uang, aku dan keluarga di rumah juga dapat menikmati telur dan daging ayam
kampung. Jadi tak perlu bingung bila kehabisan lauk. Kebutuhan gizi pun terjaga
berkat mendaur ulang food waste. Coba bayangkan bila semua punya ayam
kampung, pasti bisa mencegah stunting.
Dari
semula membuang sampah, kini aku malah “membutuhkan” sampah sisa makanan untuk
ayam kampungku. Terkadang aku merasa senang saat tetanggaku atau adekku yang
bekerja di warung pulang membawa sisa nasi untuk ayamku. Tapi itu tidak setiap
hari. Jadi, aku pun mencari alternatifnya dengan membeli “sego aking”, alias
nasi sisa yang dikeringkan. Rupanya, food waste menciptakan sharing
ekonomi yang menambah pemasukan masyarakat desa, khususnya kalangan
perempuan.
Tiap
dua pekan sekali, aku selalu membeli “sego aking” dari ibu-ibu pedagang di
pasar. Terkadang juga membeli dari tetangga, saudara, atau teman ibuku. Mereka
biasanya sudah mengumpulkan lebih dari 10kg “sego aking” yang sudah dimasukan
dalam karung dan siap dijual. Harganya berkisar Rp4.500-Rp5.000 per/kg. Bila
tiba musim hujan seperti sekarang, harga “sego aking” naik hingga Rp6.000
per/kg mengingat susahnya proses pengeringan. Kualitasnya juga bagus, putih dan
bersih.
Ayam
kampung menjadi solusi food waste yang saling menguntungkan di
masyarakat. Contohnya di Surakarta, tepatnya dekat kampusku Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS), ada warga yang memelihara ayam kampung. Uniknya,
ia menyediakan kotak untuk menampung sisa makanan dari warga perumahan sekitar.
Warga sekitar pun sudah terbiasa memberikan sisa makanannya ke kotak tersebut. Lalu
di pasar Kleco, dekat UMS, sampah pasar seperti potongan sayuran atau
buah-buahan pun sering dicari-cari orang untuk pakan sapi.
Dengan
demikian, semua diuntungkan. Pemilik ayam kampung dan sapi diuntungkan oleh
pakan gratis, sedangkan warga perumahan dan pedagang pasar mendapat solusi
untuk sampah mereka. Ayam dan sapi pun kenyang.
Sekarang
“teknologi” pendaur food waste lebih beragam. Cara yang cukup popular
belakangan adalah budidaya magot, atau larva lalat BSF. Larva magot itu bisa
digunakan untuk pakan unggas, burung kicau, umpan mancing ikan, bahkan untuk
cemilan. Kotorannya bisa digunakan untuk pupuk tanaman.
Mengolah Food Waste adalah Perilaku Bijak Memanfaatkan Energi untuk Kelestarian Lingkungan
Di
tengah kemajuan peradaban modern rupanya kita justru terbelakang dalam mengelola
sampah dan energi. Salah satu bukti keterbelakangan itu adalah mindset bahwa
sampah adalah barang tak berguna.
Sebetulnya,
sampah adalah “energi” yang tak terkelola. Sejauh ini, pemahaman kita soal
energi masih terbatas pada energi fosil. Padahal food waste juga
memiliki potensi energi kimia di dalamnya. Jadi membiarkan food waste,
menganggap sampah sebagai benda tak berguna, termasuk perilaku membuang-buang
energi. Bijak mengelola energi tidak terbatas pada menghemat konsumsi listrik
dan BBM, melainkan juga mengolah sampah secara bertanggung jawab.
Selain
itu, menumpuk sampah juga merampas hak makanan mikroba tanah dan tumbuhan sebab
kita menghambat sampah organic itu berputar mengikuti siklus dinamika nutrisi.
Membakar
sampah justru tak beradab lagi. Selain menimbulkan polusi, kita juga membakar
hidup-hidup makhluk Tuhan “tak kasat mata” ini (mikroba). Padahal, mereka sudah
berjasa untuk hidup kita memainkan peran penting dalam proses dinamika nutrisi
dan penciptaan pangan.
Kuperoleh
kepekaan pada hak hidup microflora usai bergabung dalam Majelis
Lingkungan Hidup (MLH) Muhammadiyah Jawa Tengah sejak pertengahan tahun 2023.
Pengetahuanku soal nilai food waste pun bertambah dalam. Rupanya,
timbunan sampah tak hanya sedang memicu global warming. Melainkan juga
merampas hak hidup mikroba, makanan pohon, serta menyia-nyiakan energi.
Selain
itu, aku juga menyadari bahwa melestarikan lingkungan tak bisa dilakukan
sendirian. Perlu berkolaborasi dan berorganisasi agar gerakan lingkungan lebih
sistematis dan massif.
Oleh
sebab itulah aku bergabung di MLH Muhammadiyah. Aku pun dapat terhubung dengan banyak
orang yang memiliki visi sama dan berbagi peran. Kami membangun pertemuan,
diskusi, dan merancang putusan dalam kerangka dakwah pelestarian lingkungan.
Pendekatan
teologis sangat diperlukan mengingat mayoritas bangsa kita adalah masyarakat
religius. Harapannya, motivasi religi dapat menarik lebih banyak masyarakat
untuk merawat bumi.
Tentu
ironis bila kita mengalami kelangkaan pupuk di tengah melimpahnya food waste
di Indonesia. Menjadi paradoks pula bila kita khawatir soal krisis energi namun
membiarkan jutaan potensi energi menumpuk di TPA hanya jadi limbah dan polusi. Mengapa
kita tidak mengolahnya?
Berangkat
dari kesadaran ini, kami pun berupaya mengelola food waste, mengubahnya
dari polusi menjadi energi alternatif serta pupuk untuk mendukung kehidupan
mikroba dan tanaman. Caranya dengan menggunakan teknologi biodigester salah
satunya. Tentunya ada banyak cari lain yang diupayakan menjadi satu kesatuan
ekosistem.
Tantangan
gerakan ini adalah terletak pada edukasi masyarakat agar mereka menyadari nilai
sampah sebagai energi sekaligus berempati pada mikroba penyubur tanah layaknya
menyayangi kucing dan burung kicau di rumah. Tentu ini tidak mudah mengingat
hari ini mikroba dicitrakan sebagai makhluk jahat. Padahal kita bisa hidup
berdampingan dengan saling menguntungkan.
Berempati
pada eksistensi mikroba menjadi modal dasar meminimalisir pencemaran limbah kamar
mandi (greywater) ke tanah dan air tawar. Empati melahirkan kemauan untuk
menjaga lingkungan dari limbah domestik. Entah dengan membuat filter, bak
penyaring, maupun tanaman tertentu untuk memurnikan air hingga ramah bagi
kehidupan mikroba maupun biota air tawar.
Langkahku ke Depan
Ini
hanyalah perjalanan kecilku mendaur ulang pangan untuk Menjaga Lingkungan
dari Limbah Domestik sekaligus mendukung energi ramah lingkungan.
Tentunya
masih ada langkah panjang yang akan kulalui ke depan. Diantaranya adalah
menyusun satu ekosistem ekonomi sirkular berbasis teknologi yang mendukung untuk
ketahanan energi, pangan, dan kehidupan makhluk hidup.
Satu
hal yang kutahu sekarang adalah, prilaku bijak mengelola sampah adalah langkah
emas yang membentuk kebiasaan kita dalam memanfaatkan energi dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan.
Jika
tidak peka terhadap sampah, rasanya sulit kita dapat memanfaatkan energi secara
berkelanjutan (Sustainable).