![]() |
sumber gambar: facebook JNE |
Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan hal baru. Entah itu sesuatu yang benar-benar baru maupun hal baru yang diperoleh dengan cara menggabungkan sesuatu yang sudah ada lalu menjadikannya produk baru.
Bila hewan “belajar” dengan adaptasi, maka manusia belajar dengan meniru (imitating). Sebab itu manusia perlu input ke otak untuk belajar, entah itu pengalaman maupun informasi. Begitu pula dalam menciptakan kreatifitas.
Membaca adalah kunci kreatifitas. Keberadaan buku yang mampu menghimpun ribuan pengalaman manusia sangat penting agar seorang bisa belajar efektif, memantik kreatifitas. Sayangnya, aku sudah cukup lama jauh dari buku beberapa akhir tahun ini. Jauh sekali, hingga akhirnya ada paket JNE itu datang ke rumah.
Begini kisahnya …
Tepat akhir bulan April lalu (2024), teman dekat kuliah saya memposting koleksi buku-bukunya di X (Twitter). Buku-buku itu dijual dengan harga murah. Beruntung sekali, saya membaca postingan tersebut. Jiwa baca bukuku kembali menyala usai melihatnya. Langsung saja saya pun membalas postingan tersebut, mumpung belum ada yang booking.
Mata saya tertarik pada buku tebal berwarna hijau Torque dan krem. Judulnya “Monte Cristo” karya Alexander Duman. Novel sastra klasik. Pas sekali, saya suka karya sastra klasik dan memang berniat ingin mengkoleksinya.
Teman saya sangat baik hati. Rupanya, ia menawarkan dua novel sastra klasik lainya yang tidak ia posting, yakni novel karya Voltaire dan Jhon Steinbeck. Ia memberi harga 100rb saja untuk 3 novel tersebut. Langsung saja, saya deal.
Kami berdua tinggal di tempat yang jauh. Saya di Salatiga, teman saya di Bogor. Tapi, jarak bukan masalah di zaman sekarang. Perkembangan jasa logistic sudah pesat, inovatif, dan terjangkau sehingga dapat mengirim barang dari mana saja dengan mudah. Misalnya JNE. Jasa logistik inilah yang dipercaya teman saya untuk mengirimkan bukunya ke saya.
Selang satu-dua hari kemudian, buku itu datang. Kira-kira menjelang siang hari, mas-mas kurir JNE tiba di rumah mengantarkannya. Usai bercakap-cakap sejenak, paket buku itu saya letakkan di atas meja kamar. Saya tidak langsung membuka paket itu karena harus segera berangkat kerja. Saya memotret paket itu dan mengabari teman saya bahwa buku sudah sampai. Barulah pada malam harinya, sepulang kerja, kubuka paket buku itu dengan gembira.
Buku-buku sastra yang dibawa JNE ini tak hanya menghubungkan persahabatan kami berdua, namun juga menyalakan kembali semangat literasiku. Rasanya sudah lama sekali, bahkan setahun lebih, saya tak membaca buku sama sekali. Tak sempat. Sebab setiap hari hanya fokus bekerja, atau membuat konten blog demi cuan. Lalu hampir separuh 2024 ini, saya bekerja sebagai Cook Helper di salah satu resto di Salatiga. Otomatis, semakin jauh dari buku.
Saya akui, jarang membaca membuat kreatifitas saya semakin tumpul. Buktinya, akhir-akhir ini saya jarang sekali bisa menciptakan kualitas tulisan yang bagus. Ada lebih dari belasan tulisan yang gagal tembus meja redaksi atau menarik dewan juri. Saya merasa tulisan sekarang tak sebagus tulisan yang ciptakan di masa muda, khususnya selama kuliah.
Saat kuliah, saya sering baca buku. Punya banyak teman diskusi dan gemar mengunjungi forum-forum bedah buku dan film. Berkunjung ke Taman Pintar Yogyakarta atau toko buku lawas Gladag, Solo hampir dua minggu sekali untuk berburu buku atau sekadar melihat-lihat. Biasanya, hunting buku saya lakukan usai mengambil honor artikel dari koran lokal dan kampus. Sekarang, situasi sudah berbeda.
Kegemaran dan keberhasilan menulis membuat saya bermimpi kelak bisa hidup mapan dari menulis. Faktanya tak mudah. Kurang lebih sudah tujuh tahun mencoba “setia” pada literasi hingga mengorbankan berbagai kesempatan bagus.
Tapi di tahun ini, saya harus meninggalkan meja tulis lalu terjun ke wajan penggorengan karena sudah mentok kebutuhan hidup. Bekerja di dunia F&B adalah plot twice hidup yang tak saya kira. Sebuah dunia yang sangat asing bagi saya. Rasanya, semua yang telah saya kerjakan sebelumnya hanya buang waktu.
Kenyataan hidup membuat saya percaya bahwa hanya segelintir orang saja yang bisa sejahtera dari dunia literasi. Selebihnya akan bernasib serupa, menulis dengan rasa gelisah akan tuntutan kebutuhan hidup.
Menurut saya, terjun ke dunia literasi itu gambling. Mirip atlet olahraga. Pilihannya, antara bersinar sukses besar atau sebaliknya, hidup susah tanpa profesi mapan.
Di sisi lain, rendahnya minat literasi di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk dapat hidup murni dari karyanya. Mungkin bukan karena masyarakat kita tak suka membaca, tapi waktu mereka sudah habis untuk bekerja dan mengurus keluarga. Ditambah dengan terbatasnya toko buku di daerah-daerah, semakin memperpanjang jarak antara masyarakat dengan buku.
JNE, Perusahaan Logistic yang Peduli Literasi Kreatifitas
Untuk memangkas jarak antara masyarakat dan
buku dibutuhkan kehadiran jasa logistic seperti JNE. Contohnya adalah saya.
Saya tetap bisa beli buku sastra klasik, di tengah keterbatasan waktu dan
minimnya toko buku lengkap di Salatiga.
Tak hanya itu, jasa logistic juga membantu
anak-anak muda yang membuka toko buku online, tanpa modal besar. Ada tiga teman
saya yang menggeluti wirausaha ini, menggantungkan bisnisnya pada jasa logistic
seperti JNE. Bahkan, saya sendiri pernah jualan buku online. Waktu itu, saya
rajin mereview buku di blog untuk ngiklan gratis.
Perusahaan yang sudah berdiri puluhan tahun
ini dikenal dengan harga terjangkau serta pelayanannya yang memuaskan. Tapi ada
hal yang membuat saya punya kesan tersendiri pada JNE, yakni program
literasinya. Ini adalah bentuk dukungan JNE untuk kreatifitas anak muda.
![]() |
sumber gambar: radarsolo.jawapos.com |
Misalnya pada 2023, JNE berkolaborasi dengan Rumah Baca Petualang, sebuah perpustakaan keliling yang diiniasi oleh Wahyudi, pegiat literasi asal Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. JNE memberi dukungan melalui CSR-nya berupa kendaraan roda tiga untuk memudahkan pergerakan Wahyudi yang sudah bertahun-tahun berjuang meningkatkan literasi anak-anak di pedesaan.
JNE juga sering terlibat aktif dalam
program pengiriman donasi buku ke taman baca di pelosok desa Indonesia. Bahkan,
JNE pernah memperoleh penghargaan “Program 1 Juta Alqur’an” karena telah
berperan aktif dan konsisten menyebarkan Alqur’an ke pelosok daerah. Dari
Sabang sampai Merauke.
Dengan tagline “Connecting Happiness”,
JNE tak sekadar menyebarkan teks selama menyebarkan literasi ke pelosok negeri,
melainkan juga menebarkan kreatifitas, kebahagiaan, dan pencerahan ke semua
masyarakat. Semangat JNE inilah yang saya teladani, konsisten memasyarakatkan
literasi meski banyak tantangannya.
Dukungan pada kreatifitas sangat diperlukan
sebab ketrampilan itu menjadi kunci memenangkan dunia digital. Sebab di era
digital, ada ribuan konten diproduksi setiap hari. Nah, satu-satunya cara agar
memperoleh spotlight di dunia digital adalah dengan menciptakan konten
yang unik dan orisinal. Diperlukan kreatifitas untuk menciptakan konten seperti
itu.
Dengan SDM kreatif, maka akan lebih banyak
masyarakat yang berdaya.
Kembali Menyala Literasiku
Paket buku dari JNE mengingatkan mimpi saya
dulu ingin punya Coffe-Shop dengan konsep literasi. Tujuannya untuk
mendekatkan buku pada costumer menjadi teman makan. Saya ingin costumer dapat
menikmati hidangan dengan buku. Namun, mimpi itu tak pernah terwujud. Bahkan
saya mulai melupakannya karena merasa mimpi itu sulit dicapai.
Kini, saya baru menyadari mengapa mimpi
saya itu tak bisa terwujud. Takdir yang membawa saya di dunia kitchen
adalah jawabannya. Mungkin ini cara semesta menuntun saya pada mimpi itu.
Mengapa?
Dulu saya hanya fokus pada buku dan
menulis. Padahal untuk memiliki Coffee-Shop, saya harus pandai memasak
dan meracik kopi, bukan menulis saja. Penghasilan utama berasal dari makanan
dan minuman yang kita jual. Buku dan tulisan menjadi strategi branding keunikan
Coffee-Shop sembari berkontribusi pada kreatifitas masyarakat.
Selain itu, saya juga menemukan kesenangan
tersendiri saat cooking.
Berangkat dari hanya seorang anak biasa,
tentu tidak mudah membuka bisnis F&B. Tapi juga tidak mustahil. Caranya
dengan mencicil modal diikuti sabar dan semangat. Setelah beberapa bulan
bekerja, akhirnya saya bisa membeli booth container jualan, lalu sewa lapak,
dan membangun warung kaki lima sederhana. Dari sinilah, mimpi saya dibangun.
Inilah arti kreatifitas bagi saya,
menggabungkan antara literasi, digital marketing, dan ketrampilan masak menjadi
bentuk baru usaha F&B yang unik. Bagai kepingan puzzle takdir yang terpasang
satu demi satu. Semua itu diperoleh melalui perjalanan panjang, dan tekad untuk
menggabungkan pengalaman serta skill apa yang sudah kita miliki di masa lalu,
meski sekilas tak nyambung satu sama lain.
Itulah insight makna kreatifitas
yang saya peroleh usai menerima paket buku teman yang diantar JNE. Tak hanya
menyambung kembali silaturahimku dengan teman lama, JNE juga menghidupkan lagi
mimpi lama yang kandas. Rasanya JNE lebih dari sekadar jasa logistic bagi saya.
Saya jadi teringat pada pidato singkat Steve
Jobs di Standford University pada 2005. Ia mengatakan “You can’t
connect the dots looking forward, you can only connect the dots looking
backwards.” Qoutes inilah yang disebut-sebut menjadi kunci kreatifitas di
balik produk Apple.
Connecting The Dot’s adalah cara Steve Jobs memaknai hidup. Ia
gagal menyelesaikan kuliahnya di Universitas Stanford karena tidak menemukan
hal menarik disana serta rasa bersalah membebani ekonomi orang tuanya. Setelah drop
out, Jobs mengambil kelas kaligrafi di Reed College. Rupanya, seni
tipografi yang diperolehnya dari kelas kaligrafi itu menjadi kunci kelahiran
Macintosh.
Menurut Jobs, kita harus percaya pada
sesuatu entah itu insting, takdir, karma atau sejenisnya. Entah itu pahit maupun
manis. Kita harus percaya bahwa titik-titik kejadian yang kita alami, meski
tampak tak berhubungan dan buang-buang waktu, entah bagaimana semuanya akan
terhubung di masa depan menjadi sesuatu yang inovatif dan baru.
Tak perlu meratapi kegagalan. Semua pasti ada manfaatnya, asalkan kita mampu berpikir kreatif. Apa itu? Yakni kemampuan menghubungkan titik-titik pengalaman di masa lalu menjadi hal baru dan indah di masa depan.
Ah, rasanya saya terbawa cukup dalam merenungi
makna kreatifitas. Ya, semua ini gara-gara paket buku JNE dari sahabat lama,
saya jadi terpantik lagi untuk Gasss Semangat Kreatifnya.
#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya