Table of Content

Sayang Anak itu Sayang Bumi

Seorang anak tak kuasa menolak, memilih, atau meminta dunia macam apa ia dilahirkan. Namun, orang tua bisa menciptakan dunia yang sehat, aman, dan ramah untuk buah hatinya. Pertanyaanya, apakah kita telah mengambil pilihan itu?

Coba tanya pada diri sendiri, berapa kantong plastic dan saset yang kita buang tiap hari? Masih kah kita suka buang sampah ke sungai atau membakarnya, tak bijak menggunakan listrik, tak menghemat air, hingga hal simpel seperti tidak menghapus email yang sudah tidak penting. Padahal semua kebiasaan itu memicu krisis iklim yang akan merampas hak-hak anak kita.

Apa saja hak-hak anak?

Mengacu pada konvensi hak anak UNICEF, seorang anak berhak untuk mendapatkan identitas, pendidikan, bermain, perlindungan, rekreasi, makan, jaminan kesehatan, status kebangsaan, berperan dalam pembangunan, dan memperoleh kesamaan.

Secara harfiah, memang tak disebut “hak atas iklim”. Namun iklim adalah prasyarat mutlak untuk memenuhi 10 hak anak tersebut.

Misalnya hak atas makan dan kesehatan. Bagaimana bisa kita membuat anak sehat dan cukup makan bergizi bila air tercemar, tanah rusak, dan udara berpolusi? Tentu mustahil.

Jika anak tak sehat dan kurang makan, mereka tidak bisa belajar dan bermain. Mereka pun sulit dapat berkontribusi pada pembangunan maupun mendapat kesempatan setara bila hak pendidikan tak terpenuhi. Tak mampu berkompetisi.

Ancaman krisis hak anak karena krisis iklim itu nyata. Penelitian terbaru mengungkap bahwa jutaan anak yang lahir tahun 2020 ke atas akan menghadapi rata-rata 2-7 kali lebih banyak kejadian cuaca ekstrem dibandingkan kakek-nenek mereka (generasi 1960an).

Artinya, anak-anak yang tak berdosa atas kerusakan lingkungan harus menanggung dampak buruk dari ulah orang tuanya. Mereka terpaksa menerima lebih banyak gelombang panas, banjir, kekeringan, gagal panen, dan kebakaran hutan.

Indonesia sendiri masuk dalam kategori negara krisis hak anak akibat krisis iklim. Data Children’s Climate Risk Index-CCRI 2021 mengungkap Indonesia menempati peringkat ke 46 dari 195 negara dengan Indeks Risiko Iklim Anaknya sangat tinggi dengan faktor iklim dan lingkungan yang sangat rentan, yakni 8,1 dan kerentanan anak 4,2. Kondisi ini membuat anak-anak Indonesia mengalami keterpaparan tinggi terhadap penyakit tular vector, pencemaran udara, banjir rob, hingga kekurangan pangan.

Krisis Iklim adalah Krisis Hak Anak

Nusantara adalah bangsa yang sangat menghormati leluhurnya. Hampir di tiap keyakinan tradisional dan budaya Indonesia pasti terdapat ekspresi rasa terimakasih pada nenek moyang karena telah mewariskan hutan, air, dan alam lestari sehingga generasi hari ini dapat hidup cukup pangan dan sehat.

Nah, apakah kelak anak-cucu akan masih melakukan hal yang sama pada kita? Atau justru menyesal terlahir dalam dunia krisis iklim? Maukah kita dikenang buruk sebagai orang tua perusak alam? Tentu tidak.

Sebab itu, mari ambil langkah mencegah kerusakan iklim. Kita bisa mulai dari hal sederhana, seperti mengikuti edukasi pelestarian alam, menanam pohon, bijak menggunakan energi, mengelola sampah dengan benar, hingga mendukung gerakan ekologi.

Berinvestasi untuk kelestarian alam adalah bentuk kasih sayang orang tua paling tepat untuk anaknya. Semua pemberian kita untuk anak akan sia-sia bila alam rusak. Sebab sayang anak itu sayang bumi!

Referensi:

  1. Detik.com https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5507800/10-hak-anak-yang-diamanatkan-pbb-dan-penjelasannya
  2. Unicef.org https://www.unicef.org/indonesia/id/siaran-pers/anak-anak-di-indonesia%C2%A0berisiko-tinggi%C2%A0alami%C2%A0dampak-krisis-iklim%C2%A0-unicef%C2%A0
  3. Savethechildren.net https://www.savethechildren.net/born-climate-crisis

Blogger.

Post a Comment