Keputusan Muhammadiyah menerima izin pengelolaan tambang dari pemerintah mengingatkan saya pada salah satu esai Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia berjudul “Ekonomi Indonesia di Masa Datang”.[1] Hatta menjelaskan ada sektor usaha yang seharusnya dikelola dengan prinsip koperasi, ada yang tak perlu dipaksa berkoperasi.
Sektor usaha yang harus dikoperasikan adalah sektor yang menyerap
banyak tenaga kerja, serta menguasai hajat pokok hidup orang banyak. Misalnya
transportasi, pertambangan, perkebunan, air bersih, dan bahan pokok hidup
lainnya. Tujuannya mencegah semangat kapitalisme dari golongan kecil terdidik
dan bermodal untuk memeras orang banyak yang lemah.
Sedangkan jenis usaha yang dilakukan perorangan, seperti toko
kelontong, bengkel, reparasi, UMKM, industri kecil, tak perlu berkoperasi.
Justru paksaan berkoperasi pada sektor UMKM akan melanggar asas koperasi.
Maka, koperasi seharusnya diterapkan pada sektor industri, seperti
pertambangan. Bukan sektor UMKM. Mengkoperasikan usaha kecil akan mengkerdilkan
visi besar koperasi itu sendiri. Padahal koperasi sangat selaras dengan visi
100 Tahun Indonesia Emas 2045 yang misinya adalah membangun ekonomi berkelanjutan,
pemerataan pembangunan, dan peningkatan SDM.
Sayangnya, pengelolaan sektor ekonomi strategis skala besar masih
mengandalkan investor ketimbang koperasi. Sebaliknya, lingkup koperasi nampaknya
dibatasi hanya di sektor usaha mikro. Koperasi seolah dikerdilkan, dibatasi
untuk mengurusi hal-hal kecil, terbatas di lingkup daerah dan desa. Jauh
berbeda dengan koperasi di luar negeri yang menjangkau internasional.
Tak hanya dikerdilkan, koperasi seolah dilemahkan. Salah satu
buktinya, tak ada upaya sistematis nan serius mengenalkan koperasi di sekolah,
baik di kurikulum atau maupun ekstrakurikuler. Tak ada Prodi Koperasi di
kampus. Diperparah minimnya dukungan riset dan pengembangan koperasi. Tak ada
kaderisasi koperasi.
Akhirnya, tak ada generasi bangsa yang berminat pada koperasi, bercita-cita
menjadi penggerak koperasi. Mereka hanya mengenal kapitalisme sebagai
satu-satunya bentuk bisnis ideal. Anak muda melihat koperasi itu kuno, tak
menarik. Semua putra-putri terbaik bangsa pun diserap oleh industri kapitalis.
Sementara koperasi susah berkembang, selalu bermasalah dengan lemahnya kualitas
anggota. Citra koperasi pun semakin buruk dengan menjamurnya koperasi abal-abal
yang merugikan masyarakat.
Pengkerdilan koperasi memperkuat oligarki, dimana golongan kecil
ini sulit diharapkan membawa Indonesia mencapai 100 Tahun Emasnya. Tujuan
mereka menguntungkan diri sendiri, bukan ekonomi berkelanjutan. Tak heran bila
keuntungan tambang banyak mengalir ke penguasa lokal, mafia, dan infestornya.
Tak cukup itu, oligarki adalah biang mega korupsi, merugikan negara hingga
triliunan rupiah.
Oligarki membuat perputaran ekonomi tidak sehat. Uang hanya
terkonsentrasi, terhenti pada segilintir orang. Bahkan, uang pun mengalir ke
luar negeri karena hobi mewah, membeli barang mahal, berobat, hingga liburan.
Hal ini melemahkan perekonomian nasional.
Tambang milik oligarki cenderung tidak inklusif. Mereka kerap
menggusur masyarakat lokal, merusak lingkungan, minim kontribusinya terhadap
pembangunan daerah maupun peningkatan SDM setempat. Jarang sekali investor
mengembangkan warga lokal menjadi pengusaha besar. Apalagi mendidik mereka
hingga cakap untuk mengolah tambang, menjadi tuan atas tanahnya sendiri. Jauh
sekali dari visi Indonesia Emas 2045.
Sebaliknya, koperasi justru mendorong masyarakat menjadi cakap
secara berjamaah. Koperasi bertujuan melenyapkan mentalitas inferior,
menyalakan kepercayaan rakyat atas kemampuanya sendiri. Karena semakin banyak
anggota cerdas-berintegritas, semakin cepat koperasi maju, semakin untung semua
anggotanya.
Justru industri yang dikelola secara koperasi akan lebih maju
karena seluruh anggotanya berkepentingan memajukan industrinya. Berbeda dengan
buruh yang terpaksa bekerja sebab merasa tak memiliki perusahaan.
Peluang Muhammadiyah Mengkoperasikan Sektor Energi
Keputusan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makasar 2015 mengamanatkan
PP Muhammadiyah untuk meningkatkan dakwah Muhammadiyah di sektor industri.
Momentum ini pun tiba saat negara memberi Ijin Usaha Pertambangan (IUP).
Hasil konsolidasi nasional Muhammadiyah menyatakan bahwa
Muhammadiyah akan mengelola tambang secara ramah lingkungan, hasilnya digunakan
untuk mensejahterakan masyarakat dan mendukung dakwah Persyarikatan.
Muhammadiyah ingin menjadikan tambang yang dikelolanya sebagai tempat praktik
dan pengembangan entrepreunership yang baik di bidang pertambangan.
Menurut saya, koperasi adalah model usaha paling dekat dengan
poin-poin konsolidasi nasional soal pengelolaan IUP tambang. Koperasi lah yang
membedakan Muhammadiyah dengan oligarki tambang. Koperasi lah yang mendidik
manusia untuk menjauhi ketamakan. Mengkoperasikan tambang adalah dakwah ekonomi
yang sangat berkemajuan. Muhammadiyah dapat menjadi pelopor industrialisasi
koperasi Indonesia yang selama ini belum berhasil diwujudkan.
Menghapus citra buruk koperasi dilakukan dengan industrialisasi
koperasi. Bagi saya, industrialisasi koperasi adalah mengambil “peralatan
kapitalisme” lalu menggunakannya untuk kesejahteraan sosial. Jadi, kita
mengadopsi etos kerja, profesionalisme, teknologi, dan manajemen industri
modern yang semula digunakan untuk melayani pemodal, dialihkan untuk
menyejahterakan masyarakat.
Saat ditanya “mungkinkah industry disusun sebagai koperasi?”, Hatta
menjawab bisa. Untuk merealisasikannya dibutuhkan dua hal, yakni (1) pemimpin
yang cakap, bertanggungjawab, dan berminat besar pada koperasi, (2) kapital.
Alhamdulilah, Muhammadiyah memiliki keduanya.
Muhammadiyah punya stok melimpah pemimpin cakap. Kualitas ini tak
lepas dari ideologi Muhammadiyah sebagai Islam Modern. Warga Muhammadiyah punya
semangat pembaharuan, berpikir maju. Salah satu buktinya, Muhammadiyah teruji
professional, berhasil mengelola amal usahanya.
Kampus Muhammadiyah memiliki program studi pertambangan yang
mencetak SDM professional dan kredibel mengelola tambang. Sayangnya, belum ada
program studi khusus koperasi di kampus Muhammadiyah.
Lalu, Muhammadiyah punya majelis-majelis dengan spesialisasinya
masing-masing. Mulai dari hukum, pemberdayaan masyarakat, audit keuangan, hingga
lingkungan hidup. Jadi, sangat siap untuk industrialisasi koperasi mengolah
tambang secara berkelanjutan.
Muhammadiyah juga memiliki sistem perkaderan terbaik di organisasi
otonomnya (Ortom) yang mencetak pemimpin unggul secara intelektual dan anggun
secara moral. Tinggal menambahkan pelatihan berkoperasi di dalamnya.
Ditilik dari budaya organisasinya, Muhammadiyah sebetulnya telah
memiliki semangat koperasi. Contohnya, kepemilikan aset Muhammadiyah tidak
dimiliki individu atau keluarga tertentu, melainkan milik Persyarikatan. Milik
umat. Bahkan pimpinan Muhammadiyah tak digaji. Warga Muhammadiyah senang hati
memajukan Persyarikatannya karena semua merasa memiliki Muhammadiyah.
Mereka yang mengelola amal usaha Muhammadiyah (AUM) digaji atas dasar
profesinya. Statusnya sebagai karyawan Muhammadiyah. Regenerasi kepengurusan
dilakukan sesuai kaidah organisasi, demokratis, dipilih berdasarkan prestasi
anggotanya.
Soal kapital, Muhammadiyah sangat siap. Asetnya mencapai triliunan
rupiah. Jadi sangat mampu memberi modal awal untuk merintis koperasi tambang.
Tak perlu bergantung pada modal pihak luar, sehingga Muhammadiyah lebih bebas
mengelola tambang sesuai dengan nilai-nilai Muhammadiyah.
Menjawab polemik tambang, Muhammadiyah harus berkemajuan. Mengkoperasikan tambang adalah salah satu jawabannya. Sebab koperasi sangat relevan dengan kultur Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern.
Jika langkah ini dilakukan, Muhammadiyah akan mengubah citra dan sejarah koperasi Indonesia sekaligus berperan besar dalam mencapai 100 Tahun Indonesia Emas 2045 melalui industrialisasi koperasi. Koperasi Energi Berkemajuan, itulah koperasi yang berkemajuan!
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Koperasi yang diselenggarakan Lembaga Pengembangan UMKM Muhammadiyah Jawa Tengah
[1] Mohammad Hatta, Politik, Kebangsaan,
Ekonomi (1926-1977), Penerbit Buku Kompas, 2015
