Susukan, tempat tinggalku, adalah desa kecil di ujung selatan kabupaten Semarang. Diapit oleh tiga kota yakni Salatiga, Boyolali, dan Surakarta dengan jarak yang lumayan jauh. Tentu saja, memperoleh akses layanan perbankan menjadi tantangan tersendiri bagi kami yang tinggal di pelosok desa.
***
Syukurlah, kehadiran
agen BRILink menjadi solusi praktis akses pelayanan finansial pedesaan. Di
kecamatan Susukan, tidak susah menemukan agen BRILink. Kira-kira, ada sekitar 2
dari tujuh warung kelontong yang telah menjadi agen BRILink.
Jika tak
percaya, coba saja buka Google Maps atau Google Assistant, lalu
ketik pencarian agen BRILink di kecamatan Susukan. Pasti muncul banyak sekali.
Jadi, anda tak perlu khawatir saat berkunjung ke desa pelosok, seperti Susukan,
yang jauh dari ATM. Cukup cari Agen BRILink terdekat dari ujung jari di layar
gawai.
Sebagai nasabah
BRI, saya dan terutama ibuku, sangat terbantu oleh BRILink. Kami sering
mengandalkan agen BRILink untuk memenuhi beragam kebutuhan transaksi kami,
sewaktu-waktu. Di keluarga kami, ibuku lah yang paling sering memanfaatkan
layanan agen BRILink.
Ibu adalah
seorang penjahit. Setiap hari mengerjakan orderan baju di butik kecilnya yang
terletak samping rumah kami. Mulai dari orderan seragam murid dan guru sekolah,
baju perorangan, maupun memperbaiki baju robek milik tetangga. Ibu juga rutin
memenuhi permintaan relasi-relasinya yang berwirausaha di dunia fashion kota
Salatiga.
Hampir seluruh transaksi orderan baju butik ibu dilakukan secara cashless karena lebih mudah dan aman. Terutama pelanggan ibu yang berada di jauh luar kota, seperti Magelang, Yogyakarta, maupun Jakarta.
Meski sudah
memiliki rekening BRI dan tersedia ATM BRI di desa kami, ibuku merasa takut
untuk menggunakannya karena tidak begitu familiar dengan mesin ATM. Sedangkan
saya sendiri tidak bisa di rumah sepanjang waktu karena bekerja. Daripada salah
pencet, ibu lebih nyaman mempercayakan layanan transaksi usahanya melalui agen
BRILink yang juga tetangga kami sendiri.
Layanan bank
cukup terbatas, terutama jam operasionalnya serta harus mengantre. Biasanya,
kami pergi ke BRI Cabang Susukan untuk mengurus keperluan administrasi dan
hal-hal penting. Sementara transaksi bisnis maupun kebutuhan keluarga sangat
dinamis, bahkan tak mengenal waktu atau kata “nanti”.
Misalnya,
pernah suatu ketika ibu harus belanja kain ke Solo atau membeli benang dan
kancing baju di pasar Karanggede. Dua barang itu harus dibeli saat itu juga,
mengingat deadline pengerjaan pesanan tinggal menghitung hari. Padahal,
hari itu adalah hari Minggu. Tentu saja, solusi termudah adalah pergi ke warung
tetangga kami yang menjadi agen BRILink di pasar Susukan.
Pernah pula
suatu ketika adikku yang menempuh pendidikan di pondok pesantren Kabupaten
Sukoharjo, menelpon minta segera dikirim uang untuk pembayaran buku. Adikku
baru bisa menelpon ke rumah di malam hari, sebab itulah satu-satunya waktu para
santri diperbolehkan meminjam ponsel setelah kegiatan belajar selesai. Tentu siapa
lagi, jika bukan agen BRILink tetangga yang bisa “direpoti” untuk mentransfer
uang di malam hari.
Hal serupa juga
terjadi saat ada saudara atau kakek yang tiba-tiba minta dikirim uang untuk keperluan
tertentu. BRILink tetangga kami lah yang selalu jadi andalan agar mereka tidak
terlalu lama menunggu dan bisa segera membeli keperluannya. Bahkan saat
warungnya sudah tutup, kami bisa menghubungi melalui pesan WhatsApp
untuk meminta tolong tetangga kami mentransfer uang terlebih dulu. Esoknya,
baru kami ganti.
Oleh sebab
tetangga sendiri, interaksi kami dengan agen BRILink bukan lagi antara
pelanggan dan pemberi jasa, melainkan lebih mirip seperti saudara yang saling
membantu. Saling peduli satu sama lain.
Mungkin pembaca
sekalian penasaran, siapa sih agen BRILink yang sedari tadi kami ceritakan di
muka?
Keluarga kami
lebih mengenal dengan sebutan “Warung Pak Darsono”, Agen BRILink andalan kami
itu. Sebetulnya bukan itu nama warungnya, melainkan Toko “AYISHA”. Letaknya
berada di depan persis pintu sebelah barat pasar Susukan. Di muka toko
sepanjang sepuluh meter itu, kita bisa langsung tahu bahwa toko ini adalah agen
BRILink dari MMT panjang yang terpasang di ujung utara muka warung, berbunyi “Agen
BRILink Bank BRI Toko AYISHA”.
BRILink AYISHA tak hanya melayani transfer dan tarik tunai, melainkan juga pembayaran tagihan telepon, listrik, pulsa, cicilan, top up saldo, bahkan hingga layanan kredit mikro dan asuransi mikro (mini ATM). Beragam layanan ini tentu sudah cukup bagi kebutuhan transaksi harian warga Susukan. Terutama bagi warga desa yang kurang familiar dengan teknologi, entah karena umur maupun terbatasnya akses pendidikan, seperti ibuku, maka layanan BRILink sangat membantu sekali. Tinggal bilang apa keperluannya, beres.
Sekarang,
warung Pak Darsono tidak dikelola olehnya, melainkan oleh putra bungsunya yang
biasa dipanggil dengan “Wawan”. Ia adalah temanku sewaktu masih duduk di bangku
sekolah dasar (SD) Negeri 01 Susukan. Mungkin saja, nama “AYISHA” diambil dari
nama anaknya, cucu pak Darsono itu sendiri.
Satu-satunya
momen yang masih teringat bersama Wawan adalah ketika kami memenangkan lomba
pecah balon menggunakan kedua punggung kecil kami. Sekarang ketika kami berdua
beranjak dewasa, BRILink lah yang sering menjadi alasan kami bertemu lagi di
sela kesibukan masing-masing.
Tiap aku pergi
ke toko AYISHA, entah sekadar beli kopi atau disuruh ibuku mengirim uang, Wawan
selalu melayani dengan ramah meski sedang sibuk luar biasa, meladeni
pelanggan-pelanggannya atau supplier logistic yang datang mengirim
barang. Ia langsung menanyai keperluanku, mau transfer atau mengambil uang,
lalu menanyakan nomor rekening serta bank yang dituju. Setelah itu, ia akan
mengambil mesin EDC BRI untuk memproses keperluan kami.
Sambil
menunggu, kami saling mengobrol hal-hal ringan hingga secarik kertas bukti
transaksi keluar dari mesin EDC, lalu diserahkan padaku. Pertemuan kami tak
sekedar antara pelanggan dan penyedia jasa, melainkan antara dua sahabat,
sesama warga desa yang saling tolong-menolong dengan memanfaatkan Layanan
Inklusif & Inklusi Keuangan dari BRILink. Jauh lebih personal lagi.
Tak Hanya Membantu Masyarakat, BRILink juga Memajukan UMKM dan Kaum Perempuan
Bukan hanya
saya, ibu, dan warga Susukan yang dimudahkan oleh BRILink, melainkan juga toko
AYISHA yang memperoleh penghasilan tambahan melalui sharing fee dari
layanan transaksi perbankan yang diberikan secara real time. Ini adalah
cara brilian BRI untuk memperkuat pelaku UMKM yang menjadi pondasi ekonomi
Indonesia.
Selain pelaku
UMKM, Agen BRILink juga kebanyakan adalah ibu rumah tangga. Misalnya agen
BRILink bu Putri. Saya sering mengambil uang dengan memanfaatkan jasa BRILink
miliknya.
Biasanya, bu
Putri stand by di teras Bank BRI Kecamatan Susukan dengan bangku dan
kursi dari pagi hingga siang hari. Berbekal mesin EDC, bu Putri melayani
keperluan transaksi para nasabah. Layanan BRILink jadi pilihan yang diminati
nasabah untuk transfer atau mengambil uang karena menghemat waktu dibandingkan
harus mengantre ke Bank.
Ada juga ibu-ibu rumah tangga yang membuka Agen BRILink di rumah, meski tidak punya toko kelontong. Berbekal mesin EDC, mereka bisa memperoleh penghasilan tambahan untuk menopang kebutuhan rumah tangganya. Bisa bekerja dari rumah sambil mengurus keluarga.
Bagi saya,
BRILink adalah inovasi BRIlian dalam memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan.
Mengapa? Sebab BRI mendidik masyarakat untuk cerdas mengelola keuangan, menjadi
berdaya secara finansial dengan mengadopsi cara kerja perbankan. Seiring waktu,
desa-desa bisa menjadi komunitas cerdas mengelola keuangan secara mandiri,
tanpa pihak ketiga seperti rentenir, melalui BRILink.
Ibarat
restoran, BRI “berani” membagikan resepnya pada rakyat Indonesia agar bisa
memperoleh manfaat dari jasa perbankan. Lebih dari 1 juta Agen BRILink di
Indonesia yang telah menikmati demokratisasi perbankan ala BRI. Tentunya,
BRILink adalah inovasi yang relevan dengan iklim keuangan global yang bergerak
ke arah desentralisasi dan inklusif.
Kiprah BRILink
di pedesaan mengingatkan saya pada kisah pendiri BRI, Raden Bei Aria
Wiraatmadja. Ia sangat prihatin dengan kondisi masyarakat Purwokerto kala itu
yang menderita akibat terjerat hutang ke rentenir yang membebankan bunga
tinggi. Hatinya terketuk, mendorongnya berbuat sesuatu untuk meringankan beban
rakyat.
Bermodalkan
gaji dan kas masjid, Aria Wiraatmadja bersama ketiga temannya Raden Atma
Sapradja, Raden Atma Soebrata, dan Raden Djadja Soemitra mendirikan Bank
Bantuan dan Simpanan Rakyat. Bahkan istri Aria Wiraatmadja, Raden Ayu Kenthi
Wiraatmadja, yang rela menjual perhiasaan miliknya sebagai tambahan modal untuk
mendukung perjuangan suaminya mendirikan bank yang bertujuan menyelamatkan
rakyat dari jerat lintah darat.
Selain memberi
bantuan keuangan, Aria Wiraatmadja juga mendorong kesadaran pengelolaan
keuangan yang baik di masyarakat melalui sistem perbankan. Ia yakin, masyarakat
dapat berkontribusi besar membangun negeri bila kondisinya sejahtera.
Sejak 1895, BRI dilahirkan dengan latar belakang pemberdayaan masyarakat. BRI sudah memiliki geneologi inklusi keuangan sejak awal. Hingga usianya sekarang yang menginjak 129 tahun, BRI tetap konsisten pada tujuannya membantu masyarakat desa, rakyat kecil miskin dan tak berdaya, persis apa yang dilakukan oleh Aria Wiraatmadja.
Sebagai nasabah BRI, saya merasa sangat bangga menjadi bagian BRI karena secara tidak langsung turut mendukung inovasi dan penyediaan layanan keuangan yang berpihak pada masyarakat kecil. Desa-desa Indonesia semakin Cermerlang melalui inklusi keuangan.