“Mimpi kami bahwa, desa ini bisa
menjadi contoh pengelolaan satu limbah pertanian yang bisa menghasilkan nilai
ekonomi masyarakat itu sendiri. Dimulai dengan kemasan ramah lingkungan sampai
kedepannya mungkin alternatif-alternatif produk lain. Pada dasarnya ini sebagai
desa yang punya sudut pandang jauh kedepan terkait sustainability product &
sustainability economy.
Menyenangkan gitu ketika
inisiatif-inisiatif ini bisa muncul dari satu daerah di Indonesia untuk bisa
memberikan gambaran besar bahwa solusi untuk global itu bisa diselesaikan oleh
desa-desa di Indonesia dengan memanfaatkan apa pun yang ada di sekitarnya.”
Rengkuh Banyu Mahandaru
***
Di tengah hijau rimbunnya pepohonan pinang
di Desa Mendis, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, berdiri sebuah rumah produksi
berwarna krem dengan papan persegi bertulis “Plepah” menyapa dari depan.
Aktifitas di rumah produksi itu cukup
sibuk. Beberapa petani terlihat sedang sibuk mencuci lembaran pelepah pinang menggunakan
selang dan kotak box besar berisi air bersih. Mereka membersihkan pelepah
pinang dari kotoran dan sisa-sisa tanah yang menempel.
Lalu di samping rumah tersebut, beberapa
warga lainnya memotong lembaran pelepah kering yang sudah bersih, menggunakan
alat pemotong yang sekilas mirip alat pemotong kertas di fotokopi. Setelah itu,
potongan pelepah pinang itu ditata rapi, disimpan dalam rak-rak terbuka di sudut
ruangan lain siap untuk diproses dalam mesin produksi.
Sebelum dicetak, pelepah pinang yang telah
siap itu dipanaskan terlebih dahulu menggunakan mesin uap agar steril dan lebih
lentur sehingga mudah dibentuk. Barulah kemudian pelepah pinang itu dipress
menggunakan mesin cetak.
Terlihat seorang anak muda sedang
mengoperasikan mesin cetak, meletakkan dua lembar pelepah pinang di dalamnya.
Mesin berderu saat dua logam pencetak menindih pelepah pinang, mengubahnya
menjadi kemasan makanan kekinian.
Selanjutnya, kemasan pelepah pinang
dimasukan ke dalam mesin sterilisasi berteknologi sinar Ultra Violet
(UV). Wadah-wadah tersebut dipacking rapi, disimpan dalam gudang siap
didistribusikan ke pasar.
Di tengah rutinitas rumah produksi Plepah,
seorang pemuda berkacamata mengenakan kaos berwarna hijau nampak sedang
berdiskusi dengan seorang petani. Pemuda itu bernama Rengkuh Banyu Mahandaru. Sedangkan
petani yang ia ajak diskusi adalah bapak Supriyanto, Ketua Kelompok Koperasi
Mendis Maju Bersama.
Selama berdiskusi, keduanya mencermati
mesin produksi dan memeriksa lembar pelepah pinang dengan jari mereka. Pelepah
pinang di tangan mereka itu semula hanyalah limbah pertanian. Keberadaannya
mengganggu pemandangan. Menjadi sarang nyamuk kala musim hujan. Bahkan menjadi
pemicu kebakaran hutan.
Tapi itu adalah cerita lama. Siapa sangka?
Di tangan yang tepat, limbah justru menjadi berkah. Bisa menambah pemasukan
masyarakat, menjaga hutan konservasi dan satwa yang dilindungi, serta menjadi
solusi global atas problem sampah plastik dan styrofoam.
Bagaimana kisah Rengkuh bersama masyarakat mengubah limbah jadi solusi sampah?
Dari Resah, Berbuah Plepah
Rengkuh Banyu Mahandaru (33), Pria
kelahiran Garut 26 Juli 1991, adalah seorang pemuda lulusan S1 jurusan Desain
Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institute Teknologi Bandung (2008-2013).
Usai menamatkan pendidikan, Rengkuh
bekerja di sebuah perusahaan agensi desain hingga tahun 2018, sembari
melanjutkan studi S2 Program Studi Bisnis Manajemen Sekolah Bisnis Manajemen
(SBM) ITB (2015-2017).
Di tahun itu pula, inovasi layanan pesan
makan daring sedang muncul untuk pertama kalinya. Layananan ini sangat disambut
baik oleh masyarakat, salah satunya Rengkuh yang merasa sangat happy karena
bisa memesan makanan dari gawainya. Tapi, di balik itu ada satu hal yang
membuatnya resah dengan maraknya layanan delivery service ini.
Suatu hari, Rengkuh bersama teman-teman
kantornya memesan ayam geprek melalui aplikasi delivery online. Begitu
pesanannya tiba di kantor, Rengkuh pun termenung mendapati ada 3 styrofoam
dalam satu box ayam geprek. Masing-masing styrofoam membungkus nasi, ayam,
sambal, dan sayur secara terpisah. Rengkuh membayangkan, betapa banyak sampah
tak terurai dalam hitungan menit bila semua orang memesan makanan secara online
seperti dirinya.
“Gue pesen makan kok isinya sampah semua?
Padahal gua makan paling 7 menit gitu. Tapi dalam satu keranjang sampah isinya
sudah kemasan yang susah didispose.” Ujar Rengkuh dalam acara Compelling
Social Media Themes to Spark Enviromental Action, IDN Times.
Rengkuh resign dari agensi desain
usai menamatkan pendidikan magisternya. Ia kemudian diterima menjadi staf ahli
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di bidang penguatan kreativitas dan ditempatkan
di Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada tahun 2018. Rengkuh diberi amanah untuk
mengembangkan daerah wisata selam di Wakatobi. Di sana, ia kembali merasa resah
dengan persoalan sampah plastik.
Saat itu, Rengkuh yang punya hobi
traveling mencoba melakukan diving di laut Wakatobi. Bukannya senang
yang didapat, Ia malah jadi semakin resah.
“Pas diving isinya sudah bukan
ikan, tapi sampah plastik dan styrofoam.” Ujarnya.
Rengkuh pun tergerak untuk mengatasi persoalan
sampah di Wakatobi dengan mengajak masyarakat untuk tidak membuang plastik di
laut. Dari sinilah, timbul keinginan Rengkuh untuk mengembangkan upaya menjaga
kelestarian lingkungan berbasis komunitas.
Kejadian di Wakatobi semakin mendorong Rengkuh
untuk me-recreate bungkus tradisional menjadi produk kemasan makanan
yang lebih fungsional untuk kebutuhan industri food & bavarage hari
ini. Dampak nyata limbah plastik & styrofoam mendorong Rengkuh untuk
mengambil inisiatif ini meski tak memiliki latar belakang sustainable
aktifis atau enviromentalis.
Keresahan Rengkuh adalah keresahan kita
bersama. Siapa pun pasti pernah mengeluh sungai kotor atau tumpukan sampah
pinggir jalan yang bau dan tak sedap dipandang. Kita semua juga merasakan
bagaimana bumi semakin panas. Selain itu, penggunaan kemasan styrofoam bisa memicu
beragam problem kesehatan serius, seperti kanker, karena mengandung zat
berbahaya seperti benzene dan styrene.
Indonesia dinobatkan menjadi negara ke 2
terbanyak yang membuang sampah ke laut. Di kota-kota besar saja, setiap orang
berkontribusi hingga 20 juta kemasan makanan bekas sekali pakai terbuang ke
laut setiap harinya. Menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) di 18 kota utama Indonesia, menemukan sebanyak 270.000 hingga
590.000 ton sampah yang masuk ke laut Indonesia didominasi sampah styrofoam
selama 2018.
Hasil penelitian LIPI di atas memperkuat
temuan data Rengkuh saat memetakan kebutuhan packaging makanan di platform delivery
online saat memulai projectnya.
“Platform-platform penyedia makanan online,
menjual makanan dalam kemasan itu berapa lalu kita buka datanya ternyata hampir
18 juta piece per hari. Dan itu data yang kami dapatkan tahun 2018 saat kami
baru memulai,” ujar Rengkuh dalam Obsesi Talks S2E04.
Namun siapa sangka? Kemasan plastik &
styrofoam dulu diciptakan oleh ilmuwan untuk tujuan yang sangat ekologis, yakni
mencegah deforestasi akibat kemasan kertas sekali pakai. Material kertas yang
tidak tahan lama mempercepat penggundulan hutan. Berbeda dengan plastik dan
styrofoam yang memiliki material lebih kuat, anti air, bisa membungkus makanan
berkuah atau minuman. Plastik bersifat fleksibel bisa dibentuk ke beragam jenis
wadah menarik dan fungsional.
Tujuan kemasan berbahan dasar minyak bumi
diciptakan agar bisa dipakai berulang kali. Mencegah penggunaan kemasan sekali
pakai. Sayangnya, kebiasaan sekali pakai masyarakat tidak berhenti setelah
munculnya plastik. Akibatnya, keunggalan material plastik justru menjadi akar
problem kerusakan lingkungan. Mulai dari pencemaran sungai, laut, merusak
kesuburan tanah, hingga global warming. Kondisi ini diperparah dengan
tidak memadainya fasilitas daur ulang dan pengolahan sampah di Indonesia.
Selain material, ada kesenangan tersendiri
menggunakan plastik. Misalnya seperti yang diungkap oleh Historia.id dalam
artikel berjudul Awal Mula Barang Plastik di Indonesia.
Historia.id mengungkap, lebih dari 60
tahun lalu masyarakat Indonesia telah mengenal plastik sejak pabrik plastik
berdiri di Jawa pada tahun 1950-an. Tak susah bagi produk plastik bisa diterima
masyarakat Indonesia. Mereka bangga menggunakan kantong plastic seolah sedang
menggunakan tren fashion terbaru. Salah satu buktinya adalah iklan pabrik
plastik yang didokumentasikan harian “Djaja” pada tahun 1963. Anak-anak sekolah
pada waktu itu senang membungkus buku-bukunya dengan plastik beraneka warna.
Hari ini, perkembangan media sosial dan
teknologi digital printing membuat desain kemasan plastik semakin
menarik. Kemasan plastik memiliki beragam bentuk unik, warna, serta desain
grafis yang memikat konsumen. Banyak anak muda yang gemar memamerkan jajanannya
di postingan media sosial. Dengan demikian, plastik sangat mendukung ekosistem
pemasaran digital. Desain produk berperan penting dalam meningkatkan minat penggunaan
kemasan plastik dan styrofoam dalam ekosistem F&B.
Tak heran bila bungkus makanan tradisional
lekas ditinggalkan oleh masyarakat, karena dianggap kuno, mudah rusak dan tidak
praktis. Tidak bisa digunakan untuk membungkus makanan berkuah. Selain itu,
kemasan tradisional juga tidak bisa dipasarkan secara luas karena tidak bisa
disimpan lama dalam gudang atau mudah rusak dalam perjalanan. Namun di mata
Rengkuh, bungkus tradisional inilah yang justru dilihat sebagai masa depan
kemasan ramah lingkungan.
Rengkuh ingat, bahwa sebetulnya masyarakat
Indonesia sendiri sudah memiliki kearifan lokalnya menggunakan bahan natural untuk
membungkus makanan, misalnya daun pisang untuk membungkus bubur, arem-arem,
nasi kucing, atau daun jati untuk membungkus nasi Jamblang di Cirebon. Kearifan
lokal masyarakat ini sudah berjalan jauh-jauh hari sebelum semua orang hari ini
mempertanyakan apa alternatif pengganti plastik dan styrofoam.
Di tahun yang sama, yakni 2018, Rengkuh
mendapat tawaran untuk bekerja di NGO yang fokus bergerak untuk pengembangan
masyarakat pinggir hutan. Ia ditempatkan di wilayah Jambi dan Sumatera Selatan.
Misinya adalah bagaimana membuat masyarakat produktif sehingga tidak merambah
hutan dan mencegah konflik dengan harimau. Rengkuh menerima tawaran tersebut,
sebab NGO adalah jalan efektif untuk menyalurkan keresahaanya.
Saat bekerja di NGO, Rengkuh mendapat
kesempatan untuk berkeliling ke berbagai kota di Inggris dan India untuk
melakukan riset kemasan ramah lingkungan. Salah satu tempat yang menginspirasi
Rengkuh adalah Jaipur, India.
Rengkuh menemukan masyarakat India punya
kebiasaan sama dengan masyarakat Indonesia. Mereka membungkus makanannya dengan
menggunakan bahan alami. Bahkan, India telah mengembangkan pembungkus alami
dengan menjahit dedaunan. Hebatnya lagi, tersedia fasilitas dekomposter di
pinggir jalan sehingga sampah bungkus makanan alami bisa langsung terproses menjadi
pupuk.
“India negaranya mirip dengan Indonesia.
Yang menarik perhatian saya adalah mereka (warga India) itu sudah menggunakan
daun-daunan dalam peralatan makanan, mau itu dimakan langsung atau pun makanan
yang take away. Kita juga dulu kan membungkus makanan dengan
daun-daunan.” Ujar Rengkuh kepada media SWA Online.
Sepulang dari India, Rengkuh mendalami
problem apa yang sebetulnya dialami oleh masyarakat di Jambi dan Sumatera
Selatan. Ia menemukan fakta bahwa masyarakat mengalami keterbatasan gerak yang
menyebabkan mereka tidak produktif. Akibat desakan ekonomi, masyarakat pun
berani membakar hutan, membuka lahan baru, membalak hutan, dan berkonflik
dengan satwa yang dilindungi.
Untuk memecahkan persoalan masyarakat
tersebut, Rengkuh menggunakan pedoman cara berpikir desain untuk mengatasinya,
yakni dengan melihat potensi sumber daya lokal yang dapat diolah bersama menjadi
produk bernilai tambah, meningkatkan penghasilan masyarakat.
Saat mengeksplore raw material yang
cocok, Rengkuh melihat pelepah pinang punya potensi besar mengatasi problem
masyarakat. Mengapa?
Pertama, ketersediaan pelepah pinang cukup
melimpah di Jambi dan Sumatera Selatan. Hal ini penting guna memenuhi kebutuhan
pasar produk kemasan yang sangat besar mencapai hampir jutaan piece per hari.
Kedua, mengolah pelepah pinang bisa mengatasi
problem limbah agriculture yang selama belum tertangani dengan baik. Di
mata masyarakat, pelepah pinang hanya mengganggu pemandangan. Tak memiliki
nilai. Petani hanya mengumpulkan dan menumpuk pelepah pinang di sekitar pohon lalu
dibiarkan membusuk di tanah menjadi pupuk.
Kala musim hujan, tumpukan pelepah pinang
itu menjadi sarang nyamuk. Jika terlalu banyak, masyarakat akan membakarnya.
Kebiasaan ini memicu kebakaran hutan karena lahannya berjenis gambut.
“Dari pagi hingga sore itu yang dilihat
bukan langit biru, tapi kuning.” Ujar Rengkuh saat menceritakan pengalamannya
saat tinggal selama 11 hari di area kebakaran hutan sentra pohon pinang pada
podcast #obsesitalks S2E04.
Pelepah pinang memiliki material material
yang rigit, kuat, sehingga mudah diolah menjadi kemasan modern. Tidak
memerlukan teknologi yang rumit. Cukup memodifikasi mesin press, dibentuk
seperti mesin cetak styrofoam.
Pelepah pinang adalah material yang
bersifat compostable, bukan sekadar biodegradable. Keduanya
berbeda. Biodegradable mengacu pada material yang hanya bisa
terdegradasi menjadi benda mikro sehingga masih memerlukan alat lagi untuk
menghilangkannya secara total. Contohnya mikroplastik. Sedangkan material yang compostable
bisa terurai dan hilang terdaur oleh proses alam. Jadi, pelepah pinang bisa
memecahkan problem sampah plastik dan styrofoam.
Ide Rengkuh mengolah pelepah pinang direspon baik oleh NGO tempat ia bekerja. Mengolah pelepah pinang memberi dampak luas dan berkelanjutan. Rengkuh pun memutuskan untuk mendirikan perusahaan rintisan yang diberi nama “Plepah”. Latar belakang Rengkuh sebagai produk desainer mengantarkannya ke dunia industri sosial.
Bersama Mengubah Limbah menjadi Solusi Sampah
Plepah dibangun atas dasar konsep
pemberdayaan masyarakat. Oleh sebab itu, Plepah bekerjasama dengan masyarakat
setempat. Plepah mengembangkan industri yang bersifat terdesentralisasi di
daerah-daerah yang memilki raw material supaya dapat mengurangi jejak
karbon sekaligus menghemat konsumsi energi selama proses produksi.
Plepah mengawali projek industri
pengolahan pelepah pinang pada Desember 2018 di dua tempat, yakni di Desa Teluk
Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung barat, Jambi dan di Desa Mendis, Kabupaten Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan.
Di desa Mendis, Plepah bergerak bersama
bapak Supriyanto, Ketua Kelompok Koperasi Mendis Maju Bersama. Sebelumnya,
koperasi ini didirikan bertujuan untuk membuat masyarakat setempat produktif sehingga
dapat meminimalisir perambahan hutan konservasi serta meminimalisir konflik
dengan satwa yang dilindungi.
Setelah berdiskusi dengan tim Plepah, pak Supri pun tersadar ternyata limbah pelepah pinang punya nilai ekonomi jika diolah. Ia pun mengajak masyarakat desanya untuk bersama-sama mengolah pelepah pinang. Tapi tak mudah menyadarkan masyarakat untuk mengolah potensi limbah pelepah pinang.
“Dilihat orang seperti pemulung” ujar pak
Supri. Ketika ditanya untuk apa? Ia menjawab bahwa pelepah pinang itu akan
digunakan menjadi kerajinan.
Tantangan yang dihadapi pak Supri diamini
oleh tim Plepah. Saat memulai projeknya, Plepah berusaha meyakinkan masyarakat
setempat bahwa pelepah pinang bisa dijual. Salah satu caranya adalah dengan
menjemput dan membeli langsung pelepah pinang begitu sudah dikumpulkan oleh
petani. Dengan demikian, petani pun menjadi yakin karena menerima uang hasil
penjualan secara langsung.
Kerjasama antara Plepah dengan masyarakat
desa Mendis terus terjalin sejak 2018 hingga sekarang. Kini, mereka bisa
menghasilkan 50.000 piece kemasan pelepah pinang setiap bulan selama
musim panas. Mereka melewati tahun-tahun itu dengan beragam tantangan.
Misalnya saat Covid 19 melanda Indonesia.
Tim Plepah dan masyarakat desa Mendis sempat berhenti produksi di tahun
2020-2021. Pak Supri bercerita, mereka sempat mengalami kebingungan mengingat
modal yang masuk sudah banyak, produksi sudah berjalan, namun barang tidak bisa
dipasarkan. Akibatnya, produk mereka banyak yang rusak.
Rasa bimbang sempat menghantui, apakah
bisnis kemasan pelepah pinang masih bisa dilanjutkan? Namun seiring berjalannya
waktu, sembari terus belajar pemasaran produk, Pelpah dan masyarakat desa
Mendis bisa bangkit lagi hingga sekarang.
Menurut Rengkuh, kini sudah ada sekitar
30-40 kepala keluarga desa Mendis yang telah memperoleh manfaat ekonomi mengolah
pelepah pinang dengan peningkatan pendapatan bulanan mencapai Rp 750 hingga Rp
1,5 juta.
Jika di desa Mendis ada pak Supri, maka di desa Teluk Kulbi ada pak Jangcik, petani setempat yang menjadi mitra penting tim Plepah dalam menjaga suplay pasokan pelepah pinang. Ia sudah memiliki 30 tim pengumpul pelepah pinang.
Pak Jangcik sangat diandalkan tim Plepah
dalam menjaga kualitas bahan baku pelepah pinang yang sesuai dengan kriteria
produksi, yakni lebar, kering, dan tidak berjamur. Bahkan, pak Jangcik tidak
segan untuk menolak hasil pelepah pinang para petani jika tidak sesuai dengan
kriteria. Tentunya, hal ini sangat membantu tim Plepah dalam memaksimalkan quality
control produk pada tahap pertama.
Jika tidak hujan, pak Jangcik mengambil
satu per satu pelepah pinang yang rontok di tanah setiap hari. Ia memungut pelepah pinang
yang sesuai kriteria lalu mengangkutnya dengan gerobak angkong. Sedangkan
pelepah pinang yang tidak sesuai kriteria akan dibawa pulang untuk pakan
kambing peliharaannya.
Pelepah pinang yang telah terkumpul akan
disortir lagi dan dipotong selebar 40 cm. Setelah itu, istri pak Jangcik akan
menjemurnya hingga benar-benar kering di bawah terik matahari. Pelepah pinang
kering akan disatukan lagi oleh pak Jangcik, diikat, lalu disimpan dalam gudang
agar pelepah pinang tetap dalam kondisi bagus dan tidak berjamur saat akan
dijual.
Dalam tiga bulan, pak Jangcik mampu
mengumpulkan 2-3 ton limbah pelepah pinang. Menurut Rengkuh, petani bisa
menghasilkan 5-10 kilogram pelepah pinang dari 2-3 hektar kebunnya setiap hari.
Pak Jangcik bisa menjual pelepah pinang
dengan harga Rp. 1.000 hingga Rp. 1.200 per/kg. Menurut pak Jangcik, jumlah ini
sudah cukup baginya saat harga pinang jatuh, pernah mencapai Rp. 800 per/kg.
Harga pelepah pinang juga meningkat, menyesuaikan permintaan pasar.
“Kami beli pelepah-pelepah petani saat ini
dengan Rp. 2.000 per-kilogram. Dengan luasan kebun pinang 2-3 hektar, petani
bisa mendapatkan tambahan penghasilan sekitar Rp. 3 juta. Jumlah itu naik dua
kali lipat dari awal program pada 2018-2019.” Ujar Rengkuh.
Pelepah pinang dari petani diproses dalam
pabrik, salah satunya di Cibinong, Bogor. Pelepah pinang dicetak menggunakan
mesin khusus, tanpa ada tambahan bahan lainnya. Per satu lembar pelepah pinang
bisa dicetak menjadi 3-4 piring beserta tutupnya. Bila dicetak jadi container
makanan, bisa menjadi 2-3 biji.
Di awal produksi, Plepah hanya mencetak
piring dari pelepah pinang. Tujuannya agar diterima oleh masyarakat karena
belum terbiasa menggunakan kemasan styrofoam berbahan pelepah pinang.
Mulanya, Plepah hanya memproduksi 500 pcs per bulan. Di tahun 2024, Plepah punya kapasitas produksi mencapai 20.000-30.000 pcs per bulan dan memperoleh omset mencapai miliaran rupiah.
Dalam memasarkan produknya, Plepah bekerjasama
dengan berbagai pihak, mengandalkan pendekatan B to B, sebab penyerapannya
lebih tinggi. Salah satunya dengan platform layanan deliveri makanan online.
Bentuk partnership yang dibangun adalah dengan menyediakan opsi untuk
costumer yang ingin menggunakan kemasan ramah lingkungan di pesanan makanannya.
Selain membangun partnership dengan
platform delivery online, Plepah juga membangun kemitraan dengan semua
pihak dalam ekosistem Food and Beverage (F&B) seperti hotel dan
restoran, untuk membiasakan penggunaan kemasan ramah lingkungan. Plepah juga
rutin mengekspor ribuan produknya ke Jepang dan Australia untuk memenuhi
permintaan pasar di sana.
Salah satu warung makan yang telah
menggunakan produk Plepah adalah Warung Nasi “Peda Pelangi” milik Nadya Pertiwi
yang terletak di daerah perkantoran Jl. Sudirman, Jakarta. Nadya dan Rengkuh
punya visi sama untuk mengurangi problem sampah sampah plastik.
“Tapi ketika konsumen tahu kenapa adanya
Plepah, Rumah Makan Nasi Peda Pelangi pakai Plepah, mereka bisa kok diajak
mengkhayal jangka panjang kok bahwa keputusan-keputusan kita dalam konsumsi itu
bisa mengakibatkan banyak hal kayak bikin sampah dan lain-lain. Jadi dengan
pakai pelepah hal itu (sampah plastik) bisa gak ada” ujar Nadya.
Respon pembeli pun beragam. Ada yang
bilang terlalu mahal, ada yang merasa experience makannya kurang nyaman
karena belum terbiasa, namun ada yang merasa sangat senang sebab Plepah bisa
menjawab keresahan sampah-sampah makanan mereka yang setiap hari selalu jajan. Nadya
yakin kelak masyarakat sadar bahwa mengeluarkan harga lebih untuk membeli wadah
ramah lingkungan akan memberi manfaat lebih banyak bagi mereka.
Rengkuh menyadari bahwa harga kemasan
Plepah masih menjadi tantangan. Satu kemasan pelepah pinang dijual dengan harga
Rp 2.000-4.000, sekitar 10 kali lipat dari harga styrofoam yang hanya Rp 300.
Untuk mengatasi hal ini, Plepah berupaya meningkatkan kapasitas produksi agar
harga kemasan ramah lingkungan dapat bersaing di pasar. Sembari terus
mengedukasi masyarakat bahwa membeli kemasan ramah lingkungan bukanlah
pengeluaran, melainkan investasi penting untuk menjaga kelestarian alam dan
masa depan anak cucu mereka.
Kualitas Produk Plepah tak diragukan,
dibuktikan oleh beragam apresiasi yang telah diterima seperti Top 20 Good
Design Award untuk kategori desain produk kemasan ramah lingkungan pada tahun
2020 oleh Kementrian Perindustrian, serta penghargaan inovasi desain kemasan
ramah lingkungan dari Bali Creative Industry Center, Fashion and Craft Award
tahun 2019 kategori Inkubasi Bisnis Sosial.
Rengkuh sendiri meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 kategori kelompok atas inisiatifnya membangun industry sosial dengan produk yang berdampak luas.
Rengkuh berharap, produk kemasan ramah
lingkungan seperti Plepah dapat menjadi barang sehari-hari, tanpa perlu menjadi
satu segmentasi produk khusus. Seperti plastik yang digunakan orang sehari-hari
tanpa perlu tahu mereknya apa. Hal ini sesuai dengan apa yang dicita-citakan saat
Rengkuh mengenyam di bangku kuliah, yakni ingin membuat desain suatu produk
yang bisa diterima semua kalangan, bisa digunakan oleh semua orang.
Rengkuh
tak ingin berhenti pada pelepah pinang semata. Ia ingin mengolah limbah
agriculture lainnya seperti tandan sawit, ampas tebu, kulit beras, dll menjadi
energi biomassa untuk mewujudkan mimpinya membangun industri yang berkelanjutan.
Dunia
hari ini membutuhkan industri dan konsumsi yang bertanggungjawab. Membawa
dampak luas bagi masyarakat dan kelestarian lingkungan. Aksi ini bisa dilakukan
dengan mengolah potensi lokal yang mudah ditemui. Memanfaatkan hal-hal
sederhana di sekitar kita.
Plepah
telah membuktikannya, bahwa solusi persoalan global bisa diupayakan dari lokal,
desa-desa Indonesia. Kita bisa bertindak besar dari hal-hal kecil, menghargai hal-hal sederhana, bahkan yang tak
bernilai seperti limbah pelepah pinang.
Referensi:
- Podcast Raditya Dika, “Video Ini Isinya Sampah?”, https://youtu.be/-kVrL6O9cWY?si=-1xXUvGSGfE7YMTd
- CNN Indonesia, “Peluang Berkah dari Limbah Pelepah”, https://youtu.be/LWSfxHUgec4?si=npIx2qG2Tr4b-GU7
- Podcast Jimmy Oentoro Channel, “Krisis Lingkungan: Pertarungan Melawan Plastik, Satu Cerita untuk Indonesia”, https://youtu.be/FwBc4KZ2Z-M?si=qi26ScT3ejvid161
- IDN TIMES, “IMGS 2023 – Compelling Social Media Themes to Spark Enviromental Action”, https://youtu.be/1UhLsoZFtmo?si=7BSsm_vECIBuiqEO
- Kompas.id, “Rengkuh Banyu Mahandaru dan Analogi Tusuk Gigi”, https://www.kompas.id/baca/tokoh/2024/04/11/rengkuh-banyu-mahandaru-dan-analogi-tusuk-gigi
- Historia.id, “Awal Mula Barang Plastik di Indonesia”, https://historia.id/kultur/articles/awal-mula-barang-plastik-di-indonesia-vqm1J/page/1
- CitarumHarum, “Salah Satu Sampah Abadi, Hindarilah Penggunaan Styrofoam”, https://citarumharum.jabarprov.go.id/salah-satu-sampah-abadi-hindarilah-penggunaan-styrofoam/
- Podcast ObsesiTalks, “Dari Sampah Menjadi Pengganti Styrofoam/Plepah Indonesia”, https://youtu.be/m0G5zLcnOMs?si=laJ6A1WuTouNTM0P