Table of Content

Paradoks Pendidikan

 

Saya merupakan salah satu mahasiswa FKIP yang diharuskan untuk mengikuti program PPL selama dua bulan. Selama rentang waktu itu, saya “menjadi” guru dan berhadapan langsung dengan peserta didik di sebuah sekolah menengah pertama. Selama berbaur dengan dunia anak-anak, banyak problematika pendidikan yang saya temui.

Pernah suatu ketika saya berbincang dengan dengan salah satu murid selepas kegiatan pelajaran. Ia mengeluhkan tentang beberapa nilai mata pelajaranya yang jelek. Ketika saya tanya mengapa, ia menjawab ia tidak suka dengan beberapa mata pelajaran tersebut. Ketika saya motivasi agar menyukai pelajaran tersebut, ia memilih untuk membiarkan mata pelajaran tersebut memiliki nilai yang rendah. Ia memilih menekuni mata pelajaran yang ia suka.

Saya mendukung pilihan murid SMP tersebut, namun hal itu tidak mudah dilakukan di sistem pendidikan yang “memaksa” murid untuk menguasai hal yang tidak ia sukai. Guru dan Orang tua yang “memaksa” anak-anak menjadi “manusia super serba bisa”, mempunyai nilai sempurna di setiap mata pelajaran semakin menyudutkan posisi anak untuk tumbuh sesuai “kodratnya”.

Pengalaman tersebut mendorong saya untuk menaggapi tulisan Mutimmatun Nadhifah yang menyoalkan tentang paradoks KKN Transformatif (Mimbar Mahasiswa, Solopos, 25 Agustus 2015). Saya katakan bahwa permasalahan KKNT hanya puncak dari “gunung es” permasalahan pendidikan. 

Fenomena mahasiswa yang mengalami “keterjarakan sosial” dengan masyarakat karena tersekat oleh “almamater” merupakan akibat dari sistem pendidikan yang salah termasuk KKNT itu sendiri. Saya melihat Mutimmatun tidak memaparkan akar permasalahan KKNT dalam tulisanya tersebut. Dalam hal ini Mutimmatun membahas masalah KKNT secara pragmatis dan parsial.

Sistem pendidikan “membunuh” Pendidikan.

Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan: “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”. Petuah Bapak Pendidikan Indonesia tersebut menegaskan bahwa tugas pendidik, sekolah dan sistem pendidikan hanyalah hanya sebatas merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat peserta didik. Ibarat Socrates, Pendidikan hanya wajib membantu ”persalinan kelahiran” jati diri peserta didik, bukan membentuk manusia yang seragam.

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan dunia pendidikan saat ini.  Pengalaman saya saat PPL merupakan satu contoh kecil paradoks pendidikan tersebut. Kita tentu masih ingat, bagaimana suasana menjelang UN yang selalu diwarnai dengan ketegangan, doa bersama, bahkan aksi bunuh diri. Fenomena tersebut mengambarkan, seakan-akan UN dan sertfikat kelulusan merupakan “dewa” penentu kehidupan.  Hal ini menunjukan sistem pendidikan menyalahi arti pendidikan. Pendidikan semakin tidak ramah bagi anak-anak.

Model pendidikan seperti itu merupakan model pendidikan bergaya “bank”. Filosofi pendidikan model itu seperti “menuangkan air“. Peserta didik ibarat geras kosong yang harus di isi oleh ilmu pengetahuan para guru. Guru dalam hal ini merupakan dewa yang tidaak dapat di salahkan. Sehingga soe hok Gie, dalam catatan harianya, memberontak pada model pengajaran yang tidak adil ini.

Fenomena “keterasingan” mahasiswa KKNT tersebut, juga merupakan akibat dari sistem pendidikan yang menyalahi kodrat manusia. Manusia merupakan manusia makhluk sosial yang hidup dan tumbuh dengan lingkungan sosialnya. Ia berinteraksi dengan sesama manusia, dan alam sekitarnya. Maka, keterjarakan merupakan hambatan yang tidak boleh muncul dalam interaksi manusia.

Sistem pendidikan hadir dengan sekat-sekat ruang sekolah yang memisahkan realitas hidup manusia. Sistem pendidikan menggantikan kehidupan sebenarnya dengan “miniatur kehidupan” di ruang-ruang kelas. Oleh karena itu, tidak heran ketika mahasiswa terlihat gagap ketika berhadapan dengan masyarakat selama kegiatan KKNT. Mahasiswa telah terbiasa hidup nyaman di ruang kelas daripada di ruang sosial. Mahasiswa lebih nyaman berinteraksi dengan buku di ruang pendingin daripada berinteraksi dengan masyarakat di ruang-ruang terbuka.

Pendidikan seharusnya hidup dan tumbuh bersama kehidupan manusia. Pendidikan bukan hanya soal kurikulum, mata pelajaran, dan angka. Pendidikan adalah soal kehidupan dan manusia. Keberadaan KKNT membuktikan sistem pendidikan mengkungkung manusia dalam “miniatur kehidupan”. Keberadaan KKNT seharusnya tidak diperlukan lagi, jika sistem pendidikan sudah menyatu dengan kehidupan manusia itu sendiri.

Memikirkan Kembali

Permasalahan KKNT yang tidak tranfromatif dan permasalahan paradigma pendidikan yang tidak mencerahkan merupakan permasalahan klasik yang harus di jawab oleh seluruh tokoh pendidikan. Tokoh-tokoh pendidikan, Baik di Institut Agama Islam Negeri Surakarta, tempat KKNT dirimuskan, atau di tempat lain wajib berkumpul dan menjelaskan konsepsinya pada mahasiswa dan masyarakat secara luas. Para tokoh pendidikan yang terkumpul di berbagai perguruan tinggi harus berpikir optimis dan kritis seperti tokoh-tokoh pendidikan kita di massa lalu.

Jika tokoh-tokoh pendidikan kita mau berkumpul dan mau merumuskan kembali paradigma pendidikan yang sesuai dengan nilai kemanusiaan, saya yakin problematika KKNT yang tidak transformatif akan sangat gampang diselesaikan. Saya yakin, jika tokoh-tokoh pendidikan kita mampu berkumpul dan menteladani sikap Tan Malaka, Sjahrir, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, permasalahan paradigma pendidikan pun akan dapat diselesaikan. Pertanyaanya adalah, apakah tokoh-tokoh pendidikan kita saat ini punya waktu untuk berkumpul dan meruuskan permasalahan pendidikan bangsa ini? Hanya tokoh-tokoh pendidikan itulah yang tahu jawabanya. Wallahu a’lam bis showab


Blogger.

Post a Comment