Abstrak: Demokrasi dibangun atas keyakinan pada potensi kebajikan alamiah manusia melalui akal fikirannya. Keyakinan ini memiliki kesalahan sebab tidak mewaspadai kodrat alamiah manusia sebagai makhluk egois penuh persaingan. Padahal, agama telah mengingatkan batas manusia dengan memberi etika. Esai ini mencoba menggagas nilai Islam guna mengatasi kekecewaan yang dibawa demokrasi Liberal. Islam Wasathiyah dan pendidikan memiliki kemampuan paling besar dalam mengemban tugas tersebut. Khususnya Muhammadiyah, gerakan pendidikan yang sudah sejak awal dirintis adalah seruan pada “Ijtihad” guna menggantikan seruan “jihad”. Pendidikan adalah perjuangan Islam paling relevan di era demokrasi. Relasi Islam dengan negara adalah saling menguatkan, dimana Islam menyediakan negarawan unggul dan negara pun merasa butuh melindungi Islam sebab ia membutuhkan pemipin yang cakap.
Kata Kunci: Demokrasi, Pendidikan, Humanisme, Kekecewaan Peradaban, Muhammadiyah.
Pendahuluan
Jika
berbicara Islam dan politik, kita akan menemukan dua varian utama, yakni pertama kelompok Islam yang menghendaki
kehadiran agama secara formal dalam lembaga negara, kedua kelompok yang melihat kekuatan Islam ada dalam ranah
peradaban, bukan politik. Pergumulan antara Islam formalistik-politik dengan
Islam peradaban nampak belum selesai, saling gencar menguatkan pandangannya
masing-masing dalam menghadapi realitas bernegara. Sejauh ini, demokrasi adalah
sistem politik yang dipilih oleh Indonesia, terlepas dari berbagai kekurangan
yang masih ada. Menangnya demokrasi di Indonesia telah memberi kekalahan telak
bagi kelompok Islam politik, yang menuntut kehadiran Islam secara formal dalam
kehidupan bernegara.
Sejak
runtuhnya kerajaan Islam pada era Nusantara (pra-Indonesia) maupun kekhalifahan
Islam di belahan dunia Timur Tengah hingga hari ini, impian Islam politik untuk
menegakkan Negara Islam semakin sulit direalisasikan. Dunia kini menaruh
kepercayaan pada demokrasi dan sistem negara kebangsaan (nasionalism state). Satu per satu negara Islam mulai mengadopsi sistem
sekuler tersebut. Akibatnya, arah gerak zaman semakin melebarkan kesenjangan
antara tuntutan teologis Islam berdasarkan tafsir konservatif dengan realitas
sosial-politik yang kini ia hadapi. Tak ayal, tantangan ini menimbulkan
ketegangan tersendiri.
Bagi
kaum konservatif, realita sosial-politik yang tak memihak tuntutan teologis
mereka, dipersepsikan sebagai ancaman. Sebab itu, mereka merespon perkembangan
zaman dengan penolakan, membentengi diri, mempertebal identitas, hingga
menyerang. Akhirnya, permusuhan hingga kekerasan diambil sebagai model gerakan
yang paling pas untuk mewujudkan cita-cita mereka. Pemahaman Jihad sering digunakan sebagai landasan teologis
untuk menyokong dan mempropagandakan gerakan mereka. Gerakan mereka terus
bereinkarnasi sejak penaklukan Brawijaya V, lalu era kolonialisme, hingga
berdirinya Indonesia. Islam politik pernah menjadi kerajaan penakluk agama
lain, kemudian melawan penjajah di nusantara, hingga pernah menjadi pemberontak
negara. Kini, Islam politik memiliki wujud dalam aksi terorisme, maupun
tindakan intoleransi.
Segala
keyakinan memang memiliki potensi revolusioner, bersifat cenderung menolak
kenyataan, sebab keyakinan berbicara tentang apa yang seharusnya, bukan apa yang sedang
terjadi. Sebab itu, Islam politik cenderung sulit berdamai dengan kenyataan
yang sedang terjadi, yakni tidak relevannya gagasan menghidupkan kembali Negara
Islam. Padahal, jika mengacu pada sejarah bangsa kita, hanya falsafah Bhineka Tunggal Ika yang telah teruji
mampu menghadirkan kestabilan sosial-politik yang menjadi landasan penting dalam
membangun negara. Menurut Buya Syafii Maarif, fakta historis kebhinekaan dalam
kehidupan Indonesia adalah fakta keras (solid) yang sangat sulit dibantah.
Persenyawaan
Siwa Budha pernah menjadi pondasi kokoh kebesaran Majapahit. Mpu Tantular
memiliki jasa besar dalam menghadirkan persenyawaan
budaya pada era itu. Tekad tersebut kemudian diwarisi oleh Soekarno dengan
Pancasila, yang merupakan saripati, persenyawaan aneka ragam budaya dan
falsafah yang hidup di Indonesia, berhasil menjadi pondasi berdirinya
Indonesia. Keadaan tersebut seolah sudah final, menutup rapat kemungkinan
gagasan Negara Islam. Namun tetap saja, kaum konservatif akan sulit berdamai
dengan kenyataan historis tersebut.
Teguhnya
keyakinan terkadang dapat berisiko dikorbankannya daya nalar rasional. Melihat kengototan kaum konservatif, maka
muncullah antitesanya, yakni seringkali disebut Islam Liberal. Varian Islam ini
memiliki pandangan bagaimana menyelaraskan Islam dengan modernitas dan
rasionalitas. Kemunculan kelompok liberal berawal dari para sarjana dan
cendikiawan Islam pada era Orde Baru.[1]
Mereka berkeyakinan bahwa kekuatan Islam bukan terletak pada politik melainkan
dalam ranah ruh peradaban. Sebab itu, kelompok ini memiliki pendirian yang
sekuler dalam politik. Mereka membela demokrasi, serta menerima pluralitas dan
toleransi dalam kehidupan beragama. Tentu saja, kelompok ini mendapat ruang sebab
sesuai dengan alam demokrasi dan kenyataan masyarakat kita yang majemuk.
Kehadiran
Islam Liberal tentu saja langsung berhadapan, head to head, pada Islam konservatif yang masih hidup walau sudah
amat dilemahkan di era demokrasi. Keduanya saling melemparkan label, seperti
“kolot” dan “sesat.” Ketika Orde Baru tumbang dan digantikan oleh Era
Reformasi, propaganda Islam Liberal pun semakin provokatif. Beberapa pemikiran
yang dilontarkan pernah membuat sebagian besar kaum Islam meradang, terutama
kalangan konservatif. Diantara gagasan tersebut adalah menyamakan agama-agama
non-Islam dengan Islam melalui narasi “Satu Tuhan, beda jalan”, menafsirkan
Alquran dengan metode hermeunitika, serta gagasan feminisme. Hal semacam ini
semakin menyulut emosi pihak konservatif.
Seiring
dengan perkembangan zaman, isu-isu yang diproduksi oleh Barat terus masuk ke
Indonesia. Sebab berpandangan positif pada rasionalitas, varian Islam Liberal
terus memberi dukungan terhadap gagasan Barat. Persoalan pun menjadi semakin
pelik ketika kesenjangan antara gagasan Barat dan tuntutan Islam semakin
melebar. Misalnya perihal isu legalitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender (LGBT). Selain varian liberal, ada pula kelompok yang suka
membungkus produk Barat dengan label Islam guna kepentingan pasar. seperti
mendirikan Bank Syariah, Ekonomi Syariah dan sejenisnya.
Pemihakan
terhadap gagasan Barat memang membuat kita nampak maju dan beradab. Namun,
tidak ada salahnya jika kita waspada dan mengajukan pertanyaan kritis adakah
peradaban Barat yang sekuler itu adalah peradaban paripurna yang tak memiliki
kelemahan? Apakah gagasan Barat adalah kebenaran, dimana Islam dituntut harus
terus menerus menyesuaikan diri dengan Barat? Jangan sampai kekaguman pada
Barat membuat kita tidak waspada. Pada titik ini, kita pun bisa memahami
perasaan kalangan konservatif yang amat sangat menginginkan Islam sebagai
penuntun zaman namun sayangnya mereka tidak mengerti jalan yang benar.
Peradaban Barat dan Kekecewaannya
Peradaban
Barat bertumpu pada semangat penghargaan tinggi pada potensi manusia
(antroposentris). Sejak manusia sadar akan potensi akal fikirannya, ia semakin
percaya diri akan kemampuannya sendiri untuk mengatasi hidup. Kepercayaan diri
itu memicu rasa optimis yang amat tinggi yang diwujudkan dalam gagasan tentang
kebebasan individu. Bertolak pada ide kebebasan dan penghargaan individu, maka
manusia kemudian merasa memiliki hak untuk membebaskan diri dari segala ikatan
yang mengekang potensinya. Melalui hak semacam itu, manusia mengobarkan
perlawanan terhadap ikatan-ikatan tradisional dari hidupnya. Ketika itu,
sasaran perlawanan gerakan ini adalah struktur pemerintahan feodalistik serta
dominasi agama di Eropa. Produk dari emansipasi gerakan humanis ini, dalam
bidang politik, adalah demokrasi dan konsep negara nasional (nationalism state) yang bersifat sekuler.
Kita
bisa membuka kembali kisah Revolusi Prancis sebagai contoh emansipasi paham
humanisme di bidang politik, yang melahirkan konsep demokrasi modern dan negara
kebangsaan sebagaimana yang kita anut hari ini. Demokrasi, selain memiliki akar
pemikirannya di Yunani, juga dapat dirujuk pada gagasan “kontrak sosial” milik
Jean Jacques Rousseau. Gagasan Rousseau inilah yang memicu Revolusi Prancis
1789-1799. Rousseau berkeyakinan bahwa manusia dilahirkan sebagai orang baik,
namun yang membuatnya jahat adalah peradaban. Pemikiran ini menunjukan
keyakinan positif akan potensi dan kemampuan manusia untuk mencapai hal baik.
Itu sebabnya, manusia perlu diberi kebebasan.
Bertolak
pada optimisme Rousseau, maka kita dapat mengajukan pertanyaan kritis; apakah
benar manusia akan selalu cenderung berbuat hal baik jika memiliki kebebasan
sebab ia secara natural sudah diberikan kebajikan melalui akal pikirnya? Adakah
potensi akal pikiran manusia itu tak terbatas sehingga mampu mengatasi
persoalannya cukup dengan mengandalkan kemampuan nalar?
Jika
kita membaca kritik peradaban modern, demokrasi, dan kapitalisme maka kita bisa
menyimpulkan bahwa keyakinan Rousseau atas potensi positif manusia itu tidak
absolut. Buktinya, kebebasan tak lantas membuat potensi kebajikan dalam diri
manusia muncul. Malah sebaliknya, kebebasan justru menjadi sebuah momok
menakutkan, membuat manusia tidak bahagia, menjadi jahat, tidak sehat,
bermusuhan, bahkan hingga menghancurkan diri. Kenyataan ini menunjukan bahwa
manusia itu, tepatnya individu, adalah makhluk yang terbatas. Hal ini tidak
sesuai dengan pandangan pendukung humanis.
Upaya
penyadaran keterbatasan manusia ini seiring jalan muncul mewarnai dimanika
demokrasi sejak era Yunani. Kita tentu tahu figur Socrates yang hidup pada era
keemasan demokrasi Yunani. Misi Socrates bermula dari suara Oracle Delphi, dimana
ia disebut oleh “suara ghaib” itu sebagai orang paling bijak di Yunani.
Alih-alih membuatnya senang, Socrates justru ragu dan ingin membuktikan apakah dia memang benar orang yang bijak? Ia
pun mendatangi orang-orang yang dikenal bijak di Yunani, mengajak mereka
menguji pengetahuan dan kemahirannya masing-masing. Melalui metode dialektika,
Socrates mampu menyadarkan orang-orang Yunani tentang satu pengetahuan yaitu; tahu bahwa ia tidak tahu. Socrates
menyadari ketidaktahuannya dan keterbatasannya. Sebab itulah ia disebut orang
bijak. Namun, menyadarkan keterbatasan manusia bukanlah hal mudah. Akhirnya,
Socrates pun harus mati dibunuh oleh demokrasi.
Tak lama setelah itu, Yunani pun hancur sebab tak mengindahkan kebajikan
Socrates, yakni agar setiap orang memeriksa dan mengakui kebodohannya sendiri.
Perjalanan
demokrasi di Indonesia itu sendiri juga tak luput dari kritik. Kekacauan yang
ditimbulkan oleh demokrasi liberal, membuat Soekarno menyusun konsep Demokrasi
Terpimpin. Upaya kritik demokrasi
terus berlanjut pada era Soeharto melalui konsep Demokrasi Pancasila. Namun
sayangnya, upaya mengatasi keterbatasan demokrasi dan kebebasan individu selalu
terjebak pada otoriterisme. Akhirnya, kita pun masuk ke era Reformasi, dimana
narasi kebebasan dan penolakan terhadap otoriterisme sangat gencar
dipropagandakan. Kini, demokrasi dan humanism liberal seolah tak lagi memiliki
penghalang. Padahal, ada kritik tajam yang diarahkan pada peradaban Barat yang
antroposentris tersebut oleh sebab ia gagal mengantisipasi kehancuran.
Salah
satu kritik atas peradaban Barat modern datang dari Erich Fromm, seorang
pemikir psikonalisa humanistik. Berpijak pada pemikiran Fromm dalam karyanya Masyarakat Sehat, kita mendapati
setidaknya dua hal yang tidak dipertimbangkan oleh gagasan kebebasan dan humanism
liberal, yakni; 1)adanya kenyataan bahwa manusia memiliki potensi alamiah pada
kejahatan, 2)serta kemungkinan tidak berfungsinya akal dan hati nurani sebab dikondisikan oleh sistem sosial sehingga
individu tidak bisa membuat keputusan etis yang tepat. Kedua hal itu membuat kebebasan
menjadi bertentangan pada tujuan baiknya.
Menyangkut
hal yang pertama, Rousseau nampaknya
tidak mempertimbangkan potensi jahat manusia. Tidak sedikit pemikir Eropa
sendiri berpendapat bahwa kodrat alami manusia itu jahat. Sebut saja pemikiran
Thomas Hobbes. Ia menyebut bahwa secara alamiah, manusia itu makhluk egois dan
penuh persaingan. Homo Hominy Lupus. Sebab
itu, diperlukan sebuah aturan hukum dan institusi negara untuk membatasi
kebebasan individu. Selain Hobbes, masih ada pemikir lain yang memandang kodrat
alamiah manusia adalah tidak baik, seperti Darwin melalui gagasan “struggle for
survival” yang kemudian mengilhami David Ricardo perihal ekonomi kapitalis
maupun Karl Marx perihal gagasan perjuangan kelas. Adapula Sigmund Freud,
melalui psikoanalisanya menemukan bahwa kodrat manusia terdorong oleh hasrat
pemuasan seksualitas secara tak terbatas. Adanya potensi kejahatan alamiah
manusia membuat kita ragu atas kemampuan mutlak manusia sendiri dalam
menyelenggarakan kehidupan yang baik. Jika demikian, bukankah potensi manusia
itu terbatas?
Fromm
berpendapat bahwa demokrasi dan kapitalisme dianggap sebagai sistem sosial yang
sesuai dengan kodrat manusia. Sebab itu, hal ini berarti mendekatkan manusia
pada kecenderungan jahatnya.
Selain
itu, gagasan kebebasan juga tak mempertimbangkan kesetaraan kemampuan individu
yang masuk dalam kompetisi ekonomi maupun menggunakan hak kebebasannya dalam
demokrasi. Ada orang yang secara alamiah terbatas, seperti kaum difabel, baik
secara mental, intelektual, dan fisik, tak memiliki syarat kemampuan berkompetisi
bebas. Tak hanya itu, kesenjangan ekonomi dan pendidikan juga membuat kompetisi
bebas menjadi ajang penindasan.
Menyangkut
persoalan kedua, Erich Fromm berbicara
perihal alienasi atau keterasingan sebagai problem utama masyarakat kapitalis
abad 20. Persoalan alienasi ini menyangkut diantaranya dua hal, yakni kemampuan
akal budi, dan demokrasi. Dalam masyarakat yang teraleniasi, fungsi akal budi,
yakni kemampuan menemukan makna dan kedalaman realitas, sangat lemah lemah
sekali. Lemahnya akal budi tentu berdampak pada kelumpuhan daya pertimbangan
etis seorang manusia. Arena kompetisi bebas cenderung hanya merangsang dan
memacu kecerdasan semata, yakni kemampuan memanipulasi realitas guna bertahan
hidup dan memenangkan persaingan. Etika dianggap tak menguntungkan di alam
kompetisi, bahkan menjadi penghambat yang mengecilkan potensi kemenangan dalam
kompetisi. Maka tidak heran, semakin banyak dijumpai orang yang tuna moral.
Bagaimana kita bisa menang jika kita berkorban demi kepentingan orang lain?
Lemahnya
kemampuan etis pada individu tentu berdampak buruk pada demokrasi. Individu
yang lemah daya etisnya tidak akan mampu membuat keputusan tepat dan
menggunakan hak politiknya dengan benar. Mereka tidak memiliki empati terhadap
urusan public sebab akal budinya tak bekerja guna mendalami realitas berbangsa
dan bernegara. Dangkalnya pemahaman akan persoalan nasional maupun
kesejahteraan umum menyebabkan kurangnya rasa tanggungjawab dan rendahnya
kemauan efektif individu dalam demokrasi. Baik pemimpin dan masyarakatnya tidak
mampu menghayati kehidupan bernegara dan berbangsa. Akhirnya, demokrasi
hanyalah aktifitas yang teraleniasi, terasa asing dan tak menggairahkan.
Fromm
menggarisbawahi bahwa persoalan demokrasi dewasa ini bukan lagi soal pembatasan
siapa yang berhak memberikan suara, melainkan bagaimana cara hak suara itu
dijalankan. Memang benar, kita telah memiliki kebebasan politik. Namun,
kebebasan tidak berarti banyak jika kehendak individu sudah dimanipulasi,
dikondisikan, sehingga ia tidak memiliki kehendak otentik atas pikiran dan
tindakannya. Hal semacam ini terjadi baik bagi para pemimpin politik maupun
masyarakat. Sebab terdorong oleh alam kompetisi, elit politik cenderung hanya
berpikir tentang propaganda dari pada kerja politik dengan sebenarnya.
Masing-masing politisi berlomba-lomba mencitrakan diri, menyusun bujuk rayu
agar memenangkan hati pemilihnya. Sebaliknya, masyarakat akan memilih politisi
berdasarkan siapa yang menarik hati mereka, bukan berdasarkan atas pengujian
kemampuan para kandidat. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum jika banyak rakyat
yang memilih siapa yang membayarnya. Cara kerja politik yang demikian tak
banyak berbeda cara kerja iklan produk. Demokrasi yang manipulatif semacam ini
bukan dihasilkan oleh pergumulan akal budi, melainkan pengkondisian kehendak.
Demokrasi semacam ini akan lebih berbahaya jika menyangkut perumusan kebijakan
publik. Masyarakat dapat celaka jika urusan negara tidak dibahas dengan
menggunakan akal budi yang sehat.
Selain
kritik Fromm, Sigmund Freud juga memandang bahwa peradaban Barat akan membawa
rasa frustrasi dan kekecewaan pada manusia. Beranjak dari asumsi ini, maka kita
dapat meramalkan bahwa kedepan demokrasi liberal di bawah kapitalisme akan
menghasilkan manusia-manusia yang sakit jiwa. Bukankah ini adalah prediksi
menyeramkan jika kita akan hidup dengan keadaan gila secara massal?
Kembali ke Etika
Demokrasi
modern tidak luput oleh bayang-bayang kehancuran pendahulunya, yakni demokrasi
Athena, akibat diabaikannya peringatan Socrates atas penggunaan seni persuasi
tanpa etika. Bukan tak mungkin, demokrasi modern akan jatuh oleh skenario
serupa. Sebab itu, demokrasi harus mengupayakan etika, mendorong warganya
menjadi makhluk etis sebagai tebusan atas kebebasan yang telah ia peroleh.
Pertanyaannya, siapakah yang mampu mengemban tugas untuk membuat manusia
beretika? Sejauh ini, satu-satunya jalan efektif mewujudkan hal itu adalah
agama. Rasio tak cukup mampu mengatasi hal-hal irasional semacam berbuatlah baik pada kerabatmu yang jahat kepadamu
demi menghapus rantai dendam dan kebencian. Kerelaan untuk melakukan hal semacam
itu lebih dimungkinkan jika ada keyakinan bahwa Allah senantiasa menolongmu dibandingkan dengan nalar rasio. Akal pikiran
akan menjawab bahwa orang yang jahat harus dibalas dan dihukum, bukan diberi
kebaikan. Itulah yang disebut keadilan.
Secara
prinsip, agama adalah lawan dari antroposentrisme. Dasar-dasar agama berasal
dari kekuatan di luar kemampuan manusia. Hal itu adalah isyarat, bahwa manusia
itu terbatas. Sebab itu, manusia harus belajar mengenal batas agar tidak
hancur. Itulah misi kehadiran agama. Ajaran agama berupaya menyadarkan
kelemahan manusia demi keselamatan mereka sendiri. Misi semacam itu ada pada
kisah dakwah nabi-nabi pada kaumnya dalam Alquran. Persoalan pokok yang terjadi
pada kaum para nabi itu adalah kelalaian akibat terlalu percaya pada kemampuan
dirinya. Mereka terlena dan menolak menerima kebenaran, bahwa mereka hanyalah
makhluk Allah yang lemah, terbatas, dan sangat mungkin salah dan bodoh. Sebab menolak
batas itu, kaum nabi pun binasa. Coba saja renungkah kisah Fir’aun, kaum Nuh, kaum
Luth, kaum Saba’ dan lainnya. Itulah kritik antroposentrisme. Kritik itu hadir
bukan untuk melemahkan manusia, namun guna menyelamatkan manusia dengan cara
menyadarkan batas-batasnya.
Dalam
dunia modern, wujud pemujaan diri sebagaimana yang dilakukan kaum nabi dahulu
berwujud pada gagasan antroposentris humanisme liberal. Kesadaran akan potensi
akal pikiran, kebebasan, dan penemuan teknologi telah menghasilkan kekuatan
luar biasa untuk menguasai alam. Hal-hal itu sangat mungkin menimbulkan rasa
kagum manusia pada kualitas dirinya. Hal itu berisiko membuat manusia mabuk,
terlena, sombong, dan lupa pada batasnya. Jika demikian halnya, apakah berbagai
kehancuran dan malapetaka sebab peradaban kita hari ini adalah azab Tuhan sebab
mengabaikan etika sebagaimana yang terjadi pada umat terdahulu?
Immanuel
Kant, penggagas filsafat kritis pada abad Pencerahan, menegaskan dalam
pemikiran etikanya bahwa etika tak bisa berjalan tanpa pengandaian tentang
adanya Tuhan. Tanpa adanya keyakinan pada akhirat, adanya surga dan neraka,
serta Tuhan yang kelak mengadili perbuatan manusia, maka manusia tak memiliki
alasan kuat yang mendorongnya berbuat baik. Tanpa gagasan hukum karma, maka orang
tidak akan takut berbuat buruk. Beranjak pada argument Kant, maka dapat
disimpulkan bahwa rasio tak cukup kuat memberi dorongan tindakan moral. Hal
disebabkan oleh secara alamiah, manusia akan selalu didorong untuk bertindak
pada apa yang mendukungnya bertahan hidup, bukan terdorong untuk mengorbankan
diri demi sesuatu di luar dirinya.
Optimisme
pada agama juga ditunjukan oleh pemikir budaya Arnold Toynbee dan Daisaku
Ikeda, dalam buku Perjuangkan Hidup. Keduanya
sepakat bahwa agama adalah sumber vitalitas suatu bangsa yang telah menyebabkan
kehadiran peradaban di dunia dan mempertahankan kehadirannya. Ikeda menyebut
bahwa agama mengilhami kekuatan yang memberi kemampuan pada bangsa-bangsa untuk
menciptakan peradaban.
Toynbee
menyebut bahwa agama adalah suatu sikap hidup yang membuat orang mampu
mengatasi kesulitannya sebagai manusia, memberi kepuasan spiritual mendasar
perihal teka-teki alam semesta dan eksistensinya, serta memberi ajaran praktis
perihal apa yang harus dilakukan dalam hidup. Agama mengajarkan keimanan,
sebuah kekuatan psikis yang mampu membuat orang sukarela bahkan hingga mau
berkorban untuk berkontribusi pada pekerjaan sosial yang amat besar dan
menguntungkan bagi masyarakat. Sebab itu, Toynbee menyebut bahwa setiap kali
suatu bangsa kehilangan keimanan pada agamanya, peradabannya pasti runtuh oleh
sebab perpecahan sosial domestik dan serangan militer asing.
Erich
From memandang bahwa norma-norma agama yang dituntut oleh guru-guru spiritual
yang agung sangat sesuai dengan gagasan kesehatan mental. Fromm juga menyebut
bahwa psikologi modern telah membuktikan bahwa premis-premis psikologi bukanlah
bersifat “ilmiah”, melainkan lebih merupakan “gagasan-gagasan” filosofis atau
religius. Dalam berbagai periode sejarah, “Zaman Kebangkitan” telah mengajarkan
norma-norma yang sama dari berbagai tokoh spiritual dengan hanya sedikit
perbedaan yang kurang berarti. Fakta historis ini menunjukan bahwa norma-norma
spiritual adalah kekuatan yang lebih besar dan hadir guna mengatasi
keterbatasan akal pikiran.
Mengacu
pada kesimpulan para pemikir diatas, maka kita sebagai muslim harus merasa
terpanggil untuk menyelamatkan kehidupan bangsa dari kekecewaan peradaban
Barat. Islam harus menjadi kekuatan etis, mengatasi demokrasi liberal dan
kapitalisme yang mabuk antroposentris dan mengkondisikan manusia pada kodrat
alaminya yang jahat. Tentu saja, gerakan moral
force dari Islam tidak bisa dilakukan dengan narasi konservatisme dan
kekerasan. Kita harus menghidupkan ijtihad pemikiran Islam dalam bidang etika.
Ijtihad
pemikiran di bidang etika adalah upaya mencegah kejatuhan manusia pada kondisi
alamiahnya sebab gagasan antroposentris yang terlalu meromantisir bakat alami
manusia pada kebajikan. Ijtihad pemikiran di bidang etika harus diarahkan untuk
memberi penguatan individu agar berkemampuan untuk melakukan tindakan moral dan
kebajikan sebagai bayaran atas kebebasan yang telah diperolehnya. Ijtihad etika
berbeda dengan ijtihad fiqh, yang hanya menggunakan pendekatan hukum. Disamping
belum memungkinkan, pendekatan hukum cenderung membuat orang takut dan jera
dibandingkan menumbuhkan kesadaran untuk mencintai kebaijkan. Selain itu,
pendekatan hukum dalam sejarahnya selalu berubah menjadi sistem otoriter.
Akhirnya, orang-orang akan susah membedakan manakah keadilan dan mana balas
dendam atau penindasan. Kondisi semacam itu terjadi pada rezim teror yang
didirikan oleh Robespierre pada masa Revolusi Prancis. Para penjajah bangsa
Indonesia pun menggunakan “hukuman” dalam misi peradaban mereka. Akhirnya, misi
itu berubah menjadi sistem penindasan. Hal ini tentu tak sesuai dengan esensi
etika, yakni guna mengatasi kodrat alamiah manusia sebagai makhluk yang suka
menindas.
Ijtihad
etika bertumpu pada dua hal, yakni pertama,
upaya pendalaman pemikiran nilai-nilai Islam, kedua, upaya penguatan kemampuan dan kemauan individu untuk berjuang
menjadikan dirinya bermoral dan beradab. Ijtihad etika lebih bersifat internal,
mengarah ke dalam jiwa manusia, bukan bersifat eksternal. Sebab itu, metodenya bukan
melalui hukum, melainkan melalui pendidikan etika. Pendidikan dibutuhkan sebab
tindakan tak bermoral bersumber dari kebodohan. Fromm telah menyebut sebelumnya
bahwa demokrasi teraleniasi dicirikan oleh pendangkalan fenomena,
ketidakmampuan orang untuk mendalami realitas bernegara. Ijtihad etika
dilakukan demi mengantisipasi pendangkalan tersebut dengan internalisasi
nilai-nilai keislaman. Selanjutnya, pendidikan juga dapat bekerja untuk
memperkuat keimanan sebagai cara untuk memupuk kemampuan individu dalam
melaksanakan tuntutan moral. Nampaknya, keimanan tak bisa dilakukan oleh pendekatan
hukum sebab ia hanya melahirkan ketakutan. Inilah yang membuat
ideologi-ideologi sekuler merosot pada sistem otoriter saat melakukan
emansipasi sosialnya sebab ia bertumpu pada rasio dan hukum, bukan keimanan.
Perjuangan
etika lebih mengarah pada internal diri manusia. Keberhasilanya diukur ketika
ia telah tercerahkan. Pribadi yang tercerahkan akan menjadi manusia besar,
disegani dan dicintai sehingga kebajikan yang ia anut tidak harus diwujudkan
dengan sistem besi, kediktatoran, dan haus untuk mengadili. Itulah semangat
etika profetis.
Para
nabi tidak menjadikan diri mereka seorang diktator. Mereka berjuang menjadikan
diri mereka tercerahkan yang kemudian membuat orang suka rela menerima ajaran
mereka. Perjuangan semacam ini lebih relevan dilakukan dalam alam demokrasi
saat ini yang menolak kekerasan. Semangat semacam ini tidak mustahil dilakukan.
Sebut saja sosok Mahatma Gandhi, pencetus gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Gandhi adalah contoh semangat perjuangan mengubah diri menjadi tercerahkan.
Moralnya pun diikuti oleh banyak orang. Gandhi tak perlu berubah menjadi diktator,
memerintah dengan sistem besi dan hukuman keras demi berlakunya ajaran moral
miliknya.
Keberhasilan
menegakkan etika tanpa kekerasan hanya bisa dilakukan melalui kekuatan iman
pada Tuhan. Inilah wujud iman praktis (terapan), yang berorientasi pada amal perbuatan,
bukan iman spekulatif. Iman semacam ini banyak kita jumpai dalam perjuangan
para sahabat nabi dalam menjadikan pribadi dirinya bermoral. Mereka berhasil
melakukannya sebab yakin akan ridho Allah SWT di akhirat kelak. Kemampuan
semacam ini tidak bisa dilakukan oleh rasio. Bisa kita bayangkan, keberhasilan
satu orang mengubah dirinya saja dapat menciptakan kebajikan besar dalam
kehidupan, bagaimana jika hal semacam itu kita lakukan secara berjamaah?
Islam Wasathiyah dan Pendidikan
Ikeda
menyebut bahwa sumber cacat utama demokrasi modern adalah tiadanya suatu rasa
moralitas yang mapan dan mantap di kalangan rakyat. Guna mengatasi kecacatan
itu, Ikeda menyebut bahwa pendidikan sangat penting guna meningkatkan moralitas
dan kemampuan intelektual rakyat sampai ke tingkat yang memungkinkan mereka
memikul beban sistem demokrasi. Tanpa pendidikan, semua hanya menjadi petaka.
Rakyat yang takterdidik tak memiliki kecakapan berpikir dan menilai guna
melakukan kontrol pemerintahan dan memilih pemimpin mereka. Celakanya, kondisi
ini rentan dimanfaatkan oleh elit politik. Terkadang, demi perolehan suara,
para politisi mengikuti kemauan pemilihnya yang tak mengerti apa yang baik bagi
bangsa dan nasibnya. Akhirnya, antara yang dipimpin dan yang memimpin terjalin
hubungan patron klien yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan berbangsa dan
bernegara. Hal semacam ini hanya akan menciptakan raja-raja kecil dan fanatisme
kelompok di era demokrasi.
Tak
ada kebebasan dalam kebodohan sebab mereka tidak bisa berpikir apa yang baik
bagi dirinya. Dengan adanya mayoritas yang tak terdidik, maka akan selalu
membuat kecenderungan jatuhnya demokrasi pada kekuasaan elit, sebab ketidak
setaraan pengetahuan.
Jika
merujuk semua analisa yang sudah kita diskusikan sejak di muka, maka elemen
sosial yang paling memungkinkan untuk mengatasi problem demokrasi modern di
Indonesia adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)
Secara
kuantitas, Muhammadiyah dan NU adalah organisasi mayoritas umat Islam yang
telah berdiri dan teruji di alam kehidupan Indonesia. Keduanya adalah Islam
yang moderat dan toleran, meyakini kekuatan Islam ada pada peradaban, bukan
dalam bentuk formal politik. Dalam memperjuangkan pandangan moralnya,
Muhammadiyah dan NU menempuh jalan yang beradab, yakni melalui pendidikan,
bukan melalui jalan kekerasan atau gerakan yang bersiat revolusioner.
Melalui
nilai-nilai Islam, Muhammadiyah dan NU telah dibekali dengan kekuatan etis
untuk menghadapi bahaya demokrasi sekuler yang mabuk pemujaan manusia
(antroposentris). Pandangan Islam yang moderat membuat perjuangan Muhammadiyah
dan NU lebih relevan di alam demokrasi dibanding dengan jalan kekerasan dan
terorisme. Hal ini dapat menyelamatkan ajaran Islam dari bahaya disalahgunakan
oleh rezim teror dan diktator. Melalui instansi pendidikan yang dimiliki,
Muhammadiyah dan NU memiliki fasilitas dan sarana guna mengadakan ijtihad
pemikiran dalam bidang etika. Melalui organisasi, Muhammadiyah dan NU memiliki
saranan untuk menguatkan iman untuk berjuang menjadi pribadi yang bermoral.
Banyak sekali tokoh intelektual yang lahir dari kedua organisasi ini,
diantaranya Buya Hamka, Ahmad Syafii Maarif, Kuntowijoyo, Abdurrohman Wahid
(Gus Dur), Haedar Nasir dan masih banyak lainnya yang tidak bisa disebut. Sosok
pemikir Islam semacam itulah yang harus terus dilahirkan oleh Muhammadiyah dan
NU untuk mencegah bahaya demokrasi menjadi anarkis, dan konservatisme agama
menjadi rezim teror.
Perihal
pendidikan, Muhammadiyah memiliki banyak sekali peran sejak berdirinya dalam
mengawal modernisasi di Indonesia agar seiring jalan dengan nilai-nilai Islam.
Tak terhitung berapa banyak hasil didikan sekolah Muhammadiyah yang telah
menjadi bagian dalam menghidupi demokrasi Indonesia dengan semangat Islam, baik
mereka yang bergerak di pemerintahan maupun di masyarakat.
Muhammadiyah telah berjuang dalam garis pendidikan modernisasi Islam sudah selama satu abad. Ini menunjukan bahwa perjuangan Islam melalui pendidikan dan moderat teruji dapat bertahan dibanding dengan menggunakan cara kekerasan dan gerakan politik. Melalui konsistensi gerakan dalam jalan pendidikan, Muhammadiyah telah berupaya mengatasi kecacatan demokrasi, sebagaimana yang disebut Ikeda, sejak awal berdirinya Indonesia.
Sejak awal, KH Ahmad Dahlan telah memilih sekolah sebagai jalan perjuangannya, bukan partai politik. Ia memandang bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah nasib pribumi yang kala itu amat terbelakang dan tidak sejahtera hidupnya. Langkah KH Ahmad Dahlan tidak mudah dalam mengenalkan gagasan pendidikan Islam modern. Tak sedikit pihak yang menentangnya. Namun, KH Ahmad Dahlan tetap memperjuangkan gagasannya. Pilihannya pada pendidikan Islam modern adalah buah renungan mendalam atas zaman. KH Ahmad Dahlan memilih lebih berijtihad dibandingkan jihad perang melawan Belanda dengan senjata. Pendidikan adalah sarana untuk memungkinkan muslim mampu berijtihad dalam batas tertentu. Jika Islam tidak mampu berijtihad, ia hanya mengerti jihad dalam arti sempit. Itulah buah dari konservatisme atau kemandekan berpikir. Pilihan metode dakwah KH Ahmad Dahlan tidak hanya akan berumur satu abad, mungkin sepanjang hayat, sebab manusia yang memiliki kemampuan etis dalam nalar dan perbuatan akan selalu dibutuhkan oleh demokrasi dan negara Indonesia.
Referensi:
Ahmad
Syafii Maarif. 2009. Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung. PT Mizan Pustaka.
Daisaku
Ikeda, Arnold Toynbee. 1987. Perjuangkan
Hidup, Sebuah Dialog. Indonesia. P.T. Indira.
Erich
Fromm. 1995. Masyarakat yang Sehat. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia.
Jean
Jacques Rousseau. 1986. Kontrak Sosial. Jakarta.
Erlangga.
Muhammadiyah.or.id.
“Sejarah Berdirinya Muhammadiyah” (online), (https://muhammadiyah.or.id/sejarah-berdirinya-muhammadiyah/,
diakses pada 13 November 2021).
T.M.
Soerjanto Poespowardojo, Alexander Seran. 2015. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Indonesia. Kompas.
[1] Tirto.id