Kasus korupsi mengingatkan saya pada salah satu surat Kartini pada sahabat penanya, Stella Zahendelaar, yang terkumpul dalam buku Emansipasi (2014, Yogyakarta. Jalasutra). Surat itu membahas perihal penerimaan hadiah oleh pembesar pribumi, atau kini dikenal dengan istilah penyuapan. Kartini menilai bahwa penyuapan adalah kejahatan yang keterlaluan dan merusak. Namun, Kartini malah meminta sahabatnya itu untuk tidak terlalu menghukum keras perilaku pembesar bangsanya itu. Mengapa? Kartini memahami seluk beluk mengapa praktik penyuapan itu terjadi.
Dahulu, praktik penyuapan terjadi sebab kesulitan-kesulitan yang dialami oleh bangsawan selama mengemban tugas. Fakta ini cukup mengejutkan bagi saya sebab umumnya kaum bangsawan sering digambarkan kaya raya dari harta rakyat. Kartini menyaksikan sendiri banyak para bangsawan pribumi memiliki gaji yang sangat sedikit. Dengan penghasilan itu, mereka harus menghidupi keluarganya, menyewa rumah, memelihara bendi, sado, serta kuda tunggangan untuk melakukan turne di hutan-hutan. Ketika terjadi kasus pencurian atau pembunuhan di suatu onderdistrik, seorang asisten wedono harus merogoh sakunya dalam-dalam untuk mengusut perkara dan mengejar pelaku kejahatan. Seringkali, mereka sampai menggadaikan perhiasan istri atau anaknya guna membiayai pengusutan perkara. Akibatnya, pengeluaran semacam ini banyak menyebabkan bangsawan bangkrut dan menjadi pengemis.
Kartini menyebut bahwa adalah suatu keajaiban para bangsawan bisa bertahan hidup, mengingat besarnya jumlah pengeluaran yang ditanggung tak sebanding dengan gajinya yang sangat “meremah”. Di tengah kondisi sulit itu, rakyat selalu datang dengan membawakan persembahan yang oleh budaya dianggap sebagai bentuk takzim dan penghormatan. Mulanya, para bangsawan menolak satu dan dua kali setandan pisang yang dipersembahkan rakyat padanya. Namun pada tawaran yang ketiga dan keempat, mereka mulai menerimanya dengan ragu-ragu, terlebih ketika melihat anak dan istrinya sendiri berpakaian robek-robek.
Kondisi hidup bangsawan zaman Kartini tentu sudah berbeda dengan keadaan pejabat pemerintahan saat ini. Rakyat kini telah rutin membayar pajak. Pejabat pemerintah telah dijamin hidupnya dengan gaji bulanan yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Pejabat pemerintahan juga tak perlu lagi mengeluarkan biaya ekstra dalam menjalankan tugas negara karena sudah disediakan uang perjalanan dinas, fasilitas, sarana dan prasarana. Sebab itu, adanya praktik korupsi dan penyuapan pada pemerintahan modern tentu menjadi hal yang tidak bisa dimaklumi.
Tindakan pemberian setandan pisang oleh rakyat kepada bangsawannya kala itu dapat dimaklumi mengingat kondisi mereka yang melarat. Malah tindakan itu bisa berdampak positif sebab bangsawan akan merasa dihargai oleh rakyatnya dan kemudian meningkatkan hubungan emosional mereka kepada rakyat.
Persembahan setandan pisang tentu berbeda efeknya dengan uang suap dalam jumlah fantastis yang diberikan oleh konglomerat hingga pelaku kriminal yang merugikan negara. Tak ayal, hal ini membuat ikatan emosional pejabat jadi melekat pada para kiminal, bukan pada rakyat. Padahal kedekatan pejabat dengan pelaku kriminal tidak membuatnya terhormat. Menerima uang suap berarti menjual jiwa dan harga diri. Hal ini berbeda dengan menerima setandan pisang yang berarti pengakuan dan penghormatan.
Korupsi dan Masalah Kejiwaan
Penyebab korupsi di dunia modern sudah tentu tidak disebabkan oleh kemiskinan, melainkan kerakusan. Sebab itu, problem korupsi modern cenderung masuk dalam masalah kejiwaan daripada sosial. Memang, secara kodrati, manusia adalah makhluk yang rakus dan bertindak untuk mencari kesenangan. Celakanya, sifat alamiah yang buruk tersebut justru mendapat rangsangan secara sistematis untuk tumbuh pesat di era peradaban kapitalis. Asumsi ini mengacu pada analisa Toynbee dalam buku Perjuangkan Hidup (1987, P.T. Indira) yang menyebut bahwa industri sengaja merangsang konsumsi melalui iklan dan mengkondisikan masyarakat agar memberikan prioritas pada pemuasan keserakahan sebesar mungkin di atas tujuan hidup lainnya. Industri terpaksa mengkondisikan masyarakat menjadi konsumtif agar produknya dapat terus terjual, sehingga ia memperoleh keuntungan.
Ketika sifat konsumtif telah menjangkiti seseorang, maka secara naluri ia akan selalu terdeterminasi untuk berpikir, mencari ragam cara guna memenuhi ekspektasi konsumsinya. Sifat konsumtif akan menciptakan pola berulang dan bersifat kompulsif, irasional, lalu semakin tak terkendali. Habit ini menyebabkan pengeluaran akan selalu lebih besar dari pendapatan. Seseorang akan terus menerus merasa gajinya tidak cukup. Keadaan semacam ini menjadi penyebab pemerintah jatuh pada korupsi.
Satu dan dua kali, seorang pejabat mungkin bisa menahan napsu dan keserakahannya dengan moral dan rasio yang ia miliki. Namun, ketika ada kesempatan dan tawaran yang datang, maka ia tak mampu mengendalikan diri. Terlebih jika istri dan anaknya di rumah juga turut terjebak pada gaya hidup tinggi dan menuntut agar dipenuhi.
Awalnya, mereka mungkin akan merasa bersalah dan menyesal sebab melakukan korupsi. Namun, tawaran dan kesempatan yang datang terus menerus membuatnya mewajari, terbiasa, hingga ketagihan. Yang semula hanya memanfaatkan kesempatan semata kemudian berubah agresif menjadi pemerasan.
Sikap konsumtif dan serakah menjadi semakin berbahaya jika ia tak hanya menjangkiti satu orang, melainkan mayoritas pejabat pemerintah. Infeksi mental semacam ini akan menimbulkan budaya korupsi di sebuah instansi. Individu yang mulanya tidak korupsi akan sangat rentan tertular penyakit mental ini jika terus menerus bergaul dalam lingkungan korup. Nalarnya akan terdistorsi perlahan-lahan. Penilaian etisnya pun lama-lama melemah. Akhirnya, ia akan menganggap wajar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lingkungannya.
Ketika korupsi berasal dari kodrat alami manusia yang rakus, maka penyakit ini tidak bisa dilenyapkan secara total dari diri manusia, melainkan hanya bisa dikendalikan. Kecenderungan alamiah manusia dapat dikendalikan oleh sesuatu yang tidak berasal dari kodrat alaminya, yakni nilai ajaran agama. Sebab itu, langkah pertama untuk melawan korupsi adalah membekali diri dengan nilai-nilai agama atau ajaran spiritualitas guna mengendalikan kecenderungan alamiah dalam diri kita sendiri.
Pemuda Melawan Korupsi
Rasanya, tidak ada yang dapat menghentikan manusia dari adiksi pada kenikmatan kecuali hal yang amat menyakitkan, seperti hukuman keras. Kita tentu masih berharap hukum di Indonesia dapat berjalan secara adil sebab mengenyahkan korupsi melalui jalan kekerasan revolusioner bukanlah hal baik. Gerakan emosional semacam itu tidak terukur dan banyak memakan korban. Selain itu, kekerasan tak memberi kepastian dan jaminan masalah itu selesai dan tuntas. Maka jalan perubahan yang baik adalah melalui regenerasi dan kaderisasi anak muda yang kelak akan memimpin bangsa. Adalah hal sulit untuk mengubah orang yang sudah tua. Orang tua umumnya susah melawan pola kebiasaan korupsi yang telah membentuknya.
Kaderisasi adalah jalan pemberantasan korupsi yang paling masuk akal. Sebab itu, harapan Indonesia ada pada kita semua, anak muda. Pemuda harus membekali diri dengan disiplin moral serta ketangguhan karakter. Melalui kualitas pribadi, pemuda akan mengisi pemerintahan Indonesia dengan pola dan habit kerja yang lebih berintegritas. Pemuda harus membangun identitas yang berbeda dengan generasi tua.
Langkah pertama yang harus diambil adalah memperkuat hati dan membekali pikiran dengan wawasan anti korupsi. Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah menghayati nilai-nilai kebangsaan dan ajaran agama secara mendalam. Pentingnya penghayatan agama ini sesuai dengan apa yang disebut oleh Immanuel Kant, filsuf pencerahan Eropa, yang menyebut bahwa etika hanya bisa bekerja jika ada keyakinan kuat pada Tuhan yang akan membalas perbuatan manusia kelak di akhirat. Sebab itu, pemuda harus memiliki landasan spiritualitas yang kuat. Keimanan yang kuat jika dipadukan dengan pemahaman wawasan kebangsaan yang mendalam maka akan menciptakan sosok negarawan yang unggul.
Ketika pemuda memahami apa itu hidup berbangsa dan bernegara, maka ia akan mengerti tugas dan kewajibannya sebagai warga negara. Salah satunya adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Penghayatan akan nilai-nilai kebangsaan akan membuat pemuda tidak hanya sekadar bekerja dan mencari penghidupan semata di instansi pemerintah, melainkan juga terpanggil untuk mengabdikan diri pada bangsa. Adanya semangat mengabdi di dalam jiwa tentu akan menghindarkan dirinya dari korupsi sebab ia tak mau merusak bangsa yang telah dicintainya.
Selain membekali diri dengan nilai kebangsaan dan spiritualitas, pemuda perlu berjejaring guna menjaga nilai-nilai baik yang sudah diinternalisasi ke dalam hatinya. Kita harus sadar bahwa tak ada manusia yang super kuat. Seseorang tidak perlu berdelusi menjamin dirinya tidak akan tertular perilaku korup ketika memasuki pemerintahan. Kesadaran akan keterbatasan mengharuskan kita bergerak bersama agar dapat saling menguatkan. Melalui gerakan bersama dari masing-masing pemuda yang telah tercerahkan maka probabilitas keberhasilan perlawanan korupsi akan jauh lebih besar.