Table of Content

A Brief Essay on Economy


Kesalahan yang harus dikoreksi dalam memahami ekonomi hari ini adalah menjadikan ekonomi sebagai bagian yang terpisah dari aspek kehidupan sosial lainnya. Pendekatan positivistik terhadap ekonomi menjadikannya tidak bisa dikontrol oleh masyarakat karena ekonomi menjadi hal otonom yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, persoalan ekonomi harus dipertimbangkan secara multidimensi.

Secara bahasa, ekonomi berasal dari bahasa yunani “eikos” dan “nomos” yang berarti persoalan rumah tangga. Arrendt mengkatagorikan ekonomi sebagai sektor privat yang berbeda dengan ruang publik. Persoalan pemenuhan “kebutuhan perut” memang perlu diatur agar memenuhi “rasa keadilan”. Namun seringkali usaha mengatur ekonomi selalu tercampuri oleh kepentingan yang berkuasa. Di sisi lain, usaha untuk menerjemahkan keadilan seringkali menemui kebuntuan dalam menyepakati apa yang dapat “dianggap adil” oleh semua pihak.

Pemahaman apa yang dianggap adil dalam ekonomi telah melahirkan perbedaan besar dalam paham ekonomi dewasa ini yaitu Kapitalisme dan Sosialisme. Paham kapitalis melihat bahwa persoalan ekonomi harus diberikan pada otoritas individu. Hal ini bisa dimengerti bahwa kapitalis terilhami oleh spirit individualisme barat. Semangat itu lahir sebagai respon atas belenggu otoritas gereja dan feodalisme abad kegelapan yang mengatur ketat kehidupan ekonomi.

Pemberontakan terhadap otoritas gereja dan feodalisme digambarkan oleh Weber dalam karyanya Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Pemberontakan agama disambut dengan pemberontakan norma, nilai, struktur kekuasaan, serta ekonomi. Dalam keagamaan, pemberontakan melahir gerakan Lutherian, dan Calvinisme. Dalam ekonomi muncul tokoh seperti Adam Smith. Abad Eropa berada dalam semangat pembebasan Individu. Eropa telah mencapai titik muak terhadap segala hal yang diatur secara otoriter. Eropa menghendaki supremasi individu karena kebahagian dan keadilan berada dalam individu.

Sosialisme lahir beberapa abad setelah berkembangnya Kapitalisme. Supremasi individu dan kebebasan sebagai wujud keadilan dan kebahagiaan menjadi awan mengerikan bagi buruh-buruh industri di kemudian hari. Kebebasan yang dulu diperjuangkan bersama para pekerja beserta kaum borjuis saat melawan feodalis dan otoriter gereja ternyata membawa petaka ; para pekerja dikhianati.

Marx tampil dengan segudang kritik terhadap Kapitalisme. Ia mengkritik cara produksi kapitalis yang mendominasi kepemilikan alat produksi dan modal. Kepemilikan alat produksi menjadi legitimasi kontrol dan penindasan terhadap kelas pekerja. Penindasan dijelaskan Marx dalam “teori nilai lebih” yang menyingkap penghisapan oleh kaum pemilik modal. Pemikiran Marx diikuti gelombang revolusi di berbagai belahan dunia, karena pemikirannya telah memercikan kesadaran kelas melalui teori Materialisme Dialektika Historis. Tuntutan yang mereka ajukan dalam setiap program perjuangannya adalah penghapusan pemilikan atas alat produksi dari struktur masyarakat kapitalis maupun feodal.

Dialektika kapitalisme dan sosialisme melahirkan berbagai varian gerakan revolusioner maupun reaksioner. Persoalan yang belum dapat disepakati oleh berbagai pihak adalah bagaimana menyikapi masalah kepemilikan sehingga rasa keadilan dapat tercapai. Apakah kepemilikan merupakan sumber penindasan sehingga harus dihapuskan namun bagaimanakah dengan kebutuhan khusus individu yang beragam serta perlindungan individu dapat terjamin di bawah payung “sama rata sama rasa?” diperlukan sebuah telaah kritis terhadap persoalan mengatur dan menyikapi kepemilikan.

Ekonomi Satu Dimensi

Di luar pertentangan kepemilikan, Herbert Marcuse menyibukan diri terhadap bahaya masyarakat industri beserta rasionalitas teknologisnya. Revolusi industri telah menimbulkan kebudayaan baru yaitu budaya massa. Dari segi ekonomi, industri telah menciptakan corak produksi massa. Corak produksi seperti ini menciptakan komoditas yang banyak dan seragam karena mesin sudah menciptakan ukuran-ukurannya sendiri. Corak produksi satu dimensi melahirkan dominasi produksi, mengahncurkan kreatifitas lokal serta mengharuskan budaya konsumtif dalam suatu masyarakat.

Cara mesin bekerja yang seragam telah menghancurkan kekayaan manusia yang agung yaitu kreativitas tangan dan imajinasi. Kreatifitas lokal, dan produk kebudayaan lokal hancur dengan serbuan komiditi pabrik yang seragam serta cara produksi satu dimensi. kita bisa melihat bagaimana revolusi hijau pada zaman Orde Baru menghancurkan kearifan lokal masyarakat dalam memproduksi kebutuhan pangannya.

Serbuan komoditas yang seragam juga menghancurkan kebudayaan lokal masyarakat. Seperti halnya hancurnya pakaian adat lokal karena serbuan pakaian yang disebut “modern” begitu tampak jelas didepan mata kita. Semua menuju mode pakaian satu dimensi. Dalam hal ini, yang diuntungkan adalah para penguasa media yang dimenangkan kapitalis untuk merenggut kesadaran masyarakat bahwa “inilah pakaian yang modern, pakaian yang diproduksi oleh pabrik saya”. Kapitalis mengeruk keuntungan diatas hancurnya kreatifitas lokal masyarakat.

Produksi massa menciptakan komoditi yang seragam, sehingga masyarakat dipaksa memakai, dan mengkonsumsi komoditi yang tidak jauh berbeda. Konsumsi satu dimensi kemduian mempengaruhi corak hidup, norma perilaku, serta budaya satu dimensi. Hal inilah yang kemudian melahirkan masyarakat satu dimensi.

Corak masyarakat satu dimensi mengharuskan produksi kesadaran satu dimensi pula guna mendukung struktur yang diuntukan. Dalam hal Gender, Ivan Illich memberikan komentarnya bahwa ekonomi kapitalis menciptakan “mitos kesetaraan gender” untuk menghancurkan gender kedaerahan dan menggantikannya dengan mode gender baru (cara bekerja) yang mendukung sistem kapitalisme. Kesetaraan tersebut didukung dengan mitos tentang “netralitas gender”.

Pendidikan memainkan peran penting dalam pembentukan kesadaran satu dimensi. Pendidikan bercorak massa menciptakan moralitas sama, “pengetahuan objektif” dan motif hidup yang sama yang mendukung kapitalisme. Semua hal tersebut dibalut dengan mitos “netralitas pengetahuan” dan “rasionalitas objektif ilmiah” sehingga seringkali tidak dicurigai dengan kritis karena dianggap kebenaran umum. Kita harus ingat bahwa tidak ada sesuatu yang netral dan nir-kepentingan dalam pendidikan.

Mencari Realitas Ekonomi Indonesia

Persoalan ekonomi bangsa kita tidak bisa dilepaskan dengan dinamika perekonomian internasional. Sejak zaman pra-kolonial hingga saat ini (Pasca Reformasi) bangsa kita turut serta dipengaruhi atau mempengaruhi perokonomian global. Imperialisme dan kolonialisme yang masuk bangsa Indonesia pada abad 17 telah menyebabkan ketimpangan besar terhadap tata ekonomi bangsa kita. Penetrasi kapitalisme menjadikan masyarakat Indonesia serba kekurang. Keadaan ini menggerakkan para tokoh kemerdekaan untuk mencari penyebab kesengsaraan rakyat yang kemudian mereka ekpresikan dalam gagasan dan gerakan.

Pengaruh paham sosialisme di berbagai belahan bangsa terjajah menginjakan kakinya di Indonesia sebagai respon atas kapitalisme imperialis di nusantara. Paham ini kemudian bertransformasi dalam tiga bentuk yaitu Nasionalisme Marheinis, Sosialisme Islam dan Komunisme. Ketiga bentuk gerakan ini menempatkan buruh, tani serta orang miskin sebagai tujuan perjuangannya. Namun masing-masing memiliki gerakan yang berbeda-beda. Pada umumnya, tokoh kemerdekaan sepakat dengan analisa Materialisme Historis dan Sosialisme. Hatta dalam berbagai pidatonya menekankan pentingnya ekonomi berdasarkan sosialisme. Aktifis Perhimpunan Indonesia (PI) ini memilih Koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia.

Pemberontakan komunisme mengalami berbagai jalan buntu karena persoalan teoritis analisa kelas yang belum diterjemahkan secara tepat dan kritis dalam konteks sosio keindonesiaan. Kemudian Soekarno merumuskan marheinisme sebagai bentuk kontekstualisasi marxisme di Indonesia. Soekarno mengatakan bahwa kelas proletar tidak ditemukan dalam Indonesia.

Kebanyakan kaum miskin di Indonesia memiliki alat produksi sendiri namun tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya karena terhisap oleh kapitalisme penjajah. Oleh karena itu Soekarno melihat bahwa untuk membebaskan kesengsaraan “kaum kromo” perlu sebuah perjuangan nasional baru kemudian memperbaiki kehidupan bangsa yang lebih adil. Konsepsi perjuangan Soekarno kemudian dibagi menjadi dua tahap, Revolusi Nasional yang berarti mempersatukan seluruh elemen bangsa dan meredam dulu antagonisme kelas untuk melawan kolonialisme, kemudian Revolusi Sosial untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Usaha untuk emansipasi ekonomi mengalami berbagai kebuntuan. Koperasi Hatta tidak berhasil menjadi model perokonomian yang dipakai oleh bangsa secara menyeluruh. Koperasi gagal karena orentasi ekonomi masyarakat masih terpacu pada model cari keuntungan. Padahal Hatta menjelaskan bahwa prinsip kooperasi adalah kesejahteraan bukan berorentasi pada profit.

Pemogokan dan pemberontakan oleh Komunis sebagai upaya emansipasi ekonomi malah menimbulkan konflik horizontal bukan sebuah revolusi sosial. Komunisme gagal menerjemahkan teori-teori revolusinya dalam masyarakat indonesia. Upaya konsolidasi nasional Soekarno hancur bersama dengan peristiwa 65. Revolusi nasional yang gagal tentu tidak akan melahirkan revolusi sosial. Kegagalan emansipasi ekonomi diatas mengembalikan Indonesia pada kondisi kapitalisme Neo-Liberal.

Kegagalan emansipasi diatas memperlihatkan pada kita bahwa cara dan pendakatan yang dilakukan para tokoh kemerdekaan perlu untuk dikritisi serta didialektikakan kembali dengan kondisi kekinian. Namun, semangat mereka tidak boleh dilepaskan dalam jiwa kita yaitu semangat untuk membela rakyat. Oleh karena itu, prinsip ekonomi nasional harus mengambil bentuk kerakyatan ; ekonomi kerakyatan.

Secara prinsip, ekonomi kerakyatan bedasar atas semangat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ekonomi harus berasal dari kebutuhan nyata rakyat. Oleh karena itu, komoditi impor harus dikritisi agar tidak menghancurkan perekonomian serta keragaman lokal karya anak bangsa. Distribusi komoditi model satu arah dan tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat harus ditolak. Begitu pula dalam penyelenggaraan ekonomi harus dikelola oleh rakyat. Hal ini mengharuskan pemilikan alat produksi dikelola secara bergotong-royong. Prinsip koperasi haruslah diteguhkan kembali sebagai model perokonomian nasional. Keberagaman cara produksi dan produk lokal harus dilindungi agar tidak menjadi ekonomi satu dimensi yang represif. Hasil kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi bangsa haruslah diberikan untuk rakyat. Produksi yang berorentasi ekspor seperti model pabrik pada zaman kolonial belanda harus ditolak. Kita semua tahu perkebunan, dan sistem tanam paksa telah menghasilkan komoditi pangan yang sangat luar biasa. Namun hamparan padi dan kekayaan alam lainnya tidak dinikmati oleh rakyat yang menggarap dan terhisap tenaganya karena kekayaan alam diperuntukan pada negara penjajah dan dikirim ke luar negeri. Oleh karena itu lahir peribahasa “ayam mati kelaparan di atas tumpukan padi”.

Semangat ekonomi kerakyatan tidak akan lahir jika rakyat Indonesia masih bermental kapitalis, rendah kreatifitas serta lemah kemauan. Revolusi nasional akan gagal menciptakan sebuah keadilan dan kesejahteraan jika bangsa ini masih suka menghisap sesama bangsanya sendiri. Revolusi sosial akan gagal pula jika kelas yang ditumbangkan digantikan manusia-manusia yang bermental sama ; pemalas, penghisap atau bodoh. Koperasi hanya akan menjadi “koorporasi” jika dikelola oleh orang yang sama menindas. 

Soekarno menegaskan bahwa revolusi kita belum selesai. Oleh sebab itu, maka sebuah keharusan bagi anak-anak bangsa untuk melanjutkan semangat mulia itu dengan menerjemahkannya dalam bentuk yang sesuai dengan zamannya. 

Revolusi mental bangsa tidak akan bisa terwujud jika tidak didahului oleh Revolusi Intelektual. Di berbagai belahan bangsa yang maju, pasti diawali dengan kebangkitan intelektualitas. Sebut saja kemajuan Eropa saat ini dipicu oleh Revolusi Intelektual masyarakat Eropa yang dikenal dengan nama Renesains. Bangsa kita mutlak perlunya Renesains di tengah kemrosotan multidimensi. Oleh karena itu rakyat harus dididik dengan kritis sebelum merevolusi perekonomian Indonesia yang berkeadilan.

Blogger.

Post a Comment