Table of Content

Corak Gerakan Santri dan Ulama dalam Kancah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia pada 1912 dan 1945 - 1948

Abstrak: Mengacu pada tipologi Geerzt, kaum santri bisa digolongkan menjadi dua yakni santri modern dan tradisional. Kedua kelompok ini memiliki peran besar dalam jalan panjang kemerdekaan Indonesia. Keduanya memiliki corak perjuangan masing-masing, yakni santri modern bergerak dalam reformasi sosial politik pembentukan identitas Indonesia pada 1912, kemudian santri tradisional banyak berperan dalam revolusi bersenjata melawan penjajahan pada 1945 – 1948. Artikel ini akan mengulas dua bentuk peran dua golongan santri tersebut.

Kata-kata kunci: kaum santri, Islam tradisonal, Islam modern, reformasi sosial-politik, revolusi kemerdekaan Indonesia.

Siapakah santri itu?

Umumnya sebutan santri disematkan kepada mereka yang belajar pada seorang kiai di pondok pesantren. Para santri tinggal bersama bersama kiai di pondok pesantren dalam waktu yang cukup lama untuk menimba ilmu. Dahulu kala, hubungan timbal balik yang dilakukan santri kepada kiai dalam bentuk pengabdian. Ben Anderson mencatat para santri mengolah ladang pertanian milik seorang kiai dimana hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama-sama untuk santri dan kiai.[1] Hubungan timbal balik semacam itu telah banyak digantikan dengan sistem pembayaran bulanan seiring penyesuaian pesantren dengan zaman modern.

Sepanjang litertatur yang saya temui, ditemukan beragam pemaknaan istilah santri. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan santri dalam dua hal yakni pertama adalah orang yang mendalami agama Islam, kedua adalah orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.

C.C. Berg menyebut kata santri berasal dari bahasa sansekerta “shastri” yang bermakna “kitab suci”, “ilmu pengetahuan”, serta juga diartikan dengan “melek huruf” atau “seorang yang bisa membaca”.[2] Sedangkan Nurcholis Madjid menyebut bahwa santri berasal dari kata dalam bahasa Jawa “cantrik” yang berarti “orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya”.[3] Wikipedia menyebut bahwa cantrik memiliki arti pembantu begawan atau resi yang mengupahinya dengan ilmu pengetahuan.[4] Jika ditinjau dari segi kata, istilah santri berkaitan erat dengan tradisi Hindu-Budha yang telah masuk lebih dahulu ke nusantara sebelum Islam. Kedua agama asal India tersebut telah menggunakan metode pesantren sebagai sistem pendidikannya. Model pesantren kemudian diadopsi oleh Islam dan terus digunakan hingga saat ini, terutama oleh Nahdlatul Ulama (NU). Akhirnya, identitas santri dan sistem pendidikan pesantren menjadi ciri khas mereka.

Ma’ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia (RI), mendefinisikan santri sebagai orang-orang yang ikut kepada kiai. Baik seseorang itu belajar di pesantren atau tidak asal mereka manut (patuh) kepada kiai maka ia disebut santri. Walaupun seorang tersebut tidak bisa membaca kitab tapi ia mengikuti perjuangan para santri.[5] Definisi Ma’ruf Amin setidaknya berbeda dalam akar kata shastri yang berarti “yang bisa membaca” dan menekankan kepatuhan pada kiai sebagai ciri utama.

Said Agil Siroj, tokoh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mendefinisikan santri secara lebih khusus, yakni mereka yang melanjutkan dakwah Islam melalui budaya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Wali Songo. Said Agil menggarisbawahi bahwa santri harus belajar kepada kiai sebab para kiai memperoleh ilmu agama Islam melalui ulama yang sanad ilmunya runtut tersambung kepada Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan definisi ini, mereka yang tak belajar kepada kiai tak dapat disebut santri. Istilah kiai itu sendiri sangat identik dengan ulama NU yang beraliran Suni dan mengakui empat madhab Islam yakni Imam Syafii, Hanafi, Hambali, dan Maliki.

Istilah santri juga dibahas oleh Clifford Geerzt dalam bukunya berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.[6] Jika merujuk pada Geerzt, definisi santri tak hanya ditujukan pada mereka yang berguru di pondok pesantren atau seorang yang mengikuti kiai. Geerzt menekankan ketaatan pada doktrin agama Islam sebagai ciri utama santri. Sebab itu, Geerzt memasukan kaum muslim modernis-ortodoks yang hidup di perkotaan sebagai pedagang dalam kategori santri. Geerzt pun membedakan dua tipe santri, yakni kaum muslim modern di perkotaan yang cenderung puritan namun terbuka pada Barat, serta kaum muslim tradisional yang memegang mazhab pertengahan namun terbuka pada budaya lokal. Corak puritan dan penentangannya terhadap heterodoksi budaya lokal terkesan membuat muslim modern lebih ‘santri’ daripada muslim tradisional yang dekat dengan budaya abangan. Meski demikian, santri tradisional tetap melihat doktrin agama sebagai hal pokok yang melandasi upacara-upacara slametan.

Kaum Islam ortodoks muncul sebagai akibat dari pecahnya isolasi Islam Indonesia dari pusat pancarannya di Timur Tengah menjelang pertengahan abad ke sembilan belas. Sebelumnya, kedatangan Islam ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India. Cita rasa Islam Timur Tengah pada keadaan kehidupan bagian luar (aspek sosial) telah dibelokkan, ditumpulkan ke bagian dalam oleh mistik India sehingga menimbulkan kontras minimum terhadap campuran Hinduisme, Budisme, dan Animisme. Islam rasa ‘India’ tersebut telah mempesona orang Indonesia selama hampir lima belas abad.[7] Dominasi Islam-mistik perlahan berkurang saat semakin bertambahnya pedagang Arab yang menetap di Indonesia dan mulai menyebarkan ortodoksinya di nusantara. Selain itu, perkembangan pelayaran nusantara yang membawa Jemaah haji Indonesia ke Mekkah juga membawa pengaruh ortodoksi kuat ke Indonesia. Para Jemaah haji yang pulang ke Indonesia membawa ajaran ortodoksi, mengajak lingkungannya pada pemurnian Islam dan meninggalkan praktik heterodoks (bid’ah). Pada perkembangan berikutnya, para muslim pembaharu juga mengajarkan organisasi sosial politik modern dan mengupayakan pendidikan modern bagi kaum pribumi sebagai jalan untuk memperbaiki nasib.

Tipologi yang digunakan Geerzt memang bukan patokan baku di zaman sekarang. NU telah terbuka terhadap modernitas, mengadopsi sistem pendidikan modern dalam pengajaran agama dan Muhammadiyah juga memiliki pondok pesantren. Sebab itu, istilah santri ala Geerzt dalam artikel ini digunakan untuk menelaah kaum santri pada masa itu. Istilah santri yang lebih umum, mencakup semua golongan muslim yang taat terasa lebih tepat untuk melihat kontribusi Islam secara lebih luas. Baik mereka yang berasal dari kalangan tradisional atau modern memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia. Artikel ini akan membatasi pada peran santri di tahun 1912 yang sering disebut abad pergerakan serta tahun 1945-1948 yang disebut masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Perjuangan Reformasi Sosial-Politik 1912

Awal abad ke-20 adalah permulaan abad pergerakan. Segala lini kehidupan nusantara, baik persoalan politik, budaya, dan agama sedang menempuh jalan baru. Kelas-kelas sosial di nusantara sedang mengalami peremajaan. Pada tiga dasawarsa abad 19, kaum santri perkotaan berjasa besar mengenalkan pendidikan dan organisasi sosial politik modern yang sebelumnya tidak dikenal oleh pribumi.

Faktor penting yang menyulut abad ini adalah kebangkitan Islam timur tengah yang mengusung pemurnian Islam serta adanya kebijakan politik etis Belanda yang menyebarkan pengaruh modernisasi. Belanda memilih kelas priyayi sebagai pewaris kultur modern Barat sebab mereka adalah partner dalam membangun kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Gagasan pembebasan bangsa Indonesia melalui pendidikan kaum priyayi didorong sejak awal oleh jurnal Bintang Hindia yang pertama kali diterbitkan di Belanda pada tahun 1902.[8]

Pendidikan Barat berhasil melahirkan bentuk kelas sosial baru yang celakanya malah menjadi tuas awal pergerakan kebangsaan. Hal itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo pada Mei 1908 yang tak lepas dari peran Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Ia mencetuskan ide untuk mencerdaskan bangsa melalui ‘studiefonds’ atau dana pendidikan sendiri agar tak mudah diadu oleh penjajah. Budi Utomo sejak awal memegang prinsip mencerdaskan bangsa, hanya bergerak dalam bidang sosial dan budaya, tidak menyentuh politik.[9]

Selain Budi Utomo, pendidikan Barat juga melahirkan sosok Tirtoadisujo yang banyak dikisahkan dalam novel Sang Pemula karangan Pramoedya Ananta Toer. Tirtoadisurjo adalah pendiri Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) yang menjadi cikal bakal organisasi besar Sarekat Islam (SI) dan mengusik pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Tirto mendirikan SDI dengan tujuan untuk memajukan kelompok pedagang pribumi. Para pedagang pribumi kala itu banyak dilakukan orang Islam. Hal ini sesuai dengan definisi Geerzt. Kelompok muslim ini hidup berkelompok di kota yang kemudian disebut kauman.

Tirto adalah seorang lulusan OSVIA. Selain SDI, Tirto juga membuat surat kabar Medan Prijaji di Batavia. Tirto pun dikenang sebagai bapak jurnalis Indonesia sebab ia mendirikan pers pertama yang dikelola oleh bangsa pribumi. Seiring waktu kemudian, Tirto mendorong berdirinya SDI di Surakarta yang diketuai oleh Haji Samanhudi, seorang pedagang batik, serta SDI di Surabaya yang kemudian dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto yang juga seorang lulusan OSVIA.

Pembentukan SDI di Surakarta bermula dari perkumpulan ronda bernama Rekso Roemekso. Perkumpulan ini bergerak untuk mengamankan daerah pedagang kain batik di Laweyan dari para pencuri dan perusuh. Namun, suatu ketika Rekso Roemekso mengalami bentrokan serius dengan organisasi serupa bernama Ko Sing. Insiden ini membuat pihak kepolisian kolonial memeriksa status hukum Rekso Roemekso. Pada masa itu, perkumpulan tanpa status hukum akan dibubarkan oleh pemerintah kolonial. Persoalan status hukum inilah yang menjadi sebab bertemunya Samanhudi dengan Tirtoadisurjo melalui Marthodharsono. Tirto kemudian membuatkan anggaran dasar organisasi dan mengubah Rekso Roemekso menjadi cabang SDI Bogor di Surakarta.[10] Perkumpulan ronda itu kemudian berubah menjadi organiasi koperasi pedagang batik.

Pada tahun 1912, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Tjokroaminoto pemimpin yang sangat kharismatik. Di bawah kepemimpinannya, SI berubah menjadi organisasi yang besar. Keanggotaanya mencapai 2 juta orang hingga menjangkau ke pelosok desa. Sifat organisasi yang semula berkaitan dengan perdagangan berubah menjadi lambang solidaritas rakyat Indonesia. Rakyat pedesaan memandang SI sebagai alat bela diri terhadap struktur kekuasaan yang selama ini menindas mereka. Hal ini sangat menarik hati rakyat. Perkembangan fantastis itu membuat Belanda tak tenang dan terus mengawasi SI.

Ciri pergerakan SI adalah adanya vergadering, pembentukan cabang organisasi, dan surat kabar. Kala itu, vergadering yang sangat menggairahkan bagi rakyat sebab perkumpulan semacam itu dengan menghadirkan propagandis adalah hal yang sama sekali baru. Mereka pun mengeluarkan unek-unek dan gagasan tentang persoalan hidup dalam perkumpulan itu. Lama-kelamaan, SI menjadi radikal, sering terlibat dalam mengorganisir pemogokan buruh dan petani perkebunan sehingga menjadi ancaman Belanda.

Seiring berjalannya waktu, SI mengalami kemunduran. SI mengalami pertentangan internal yang hebat, antara faksi radikal dan moderat. Pertentangan itu memunculkan dua faksi yakni SI Putih yang memegang semangat Pan Islamisme yang dibawa Haji Agus Salim dan SI Merah yang dipengaruhi komunis yang dibawa Semaun. Pemimpin-pemimpin SI yang terkemuka ditangkap, seperti Abdul Muis pada tahun 1919 serta Tjokroaminoto pada tahun 1921. Basis rakyat di pedesaan pun mulai rontok sebab rakyat melihat organisasinya bisa membawa kesulitan padanya. Meski demikian, SI telah berjasa membangkitkan solidaritas dan identitas kebangsaan pada masa paling awal. SI juga mengenalkan cara berorganisasi, berpolitik secara modern dan jurnalistik sebagai alat pergerakan kemerdekaan.

Jika SI mengambil dunia politik, maka berbeda halnya dengan Muhammadiyah. Organisasi Islam yang kini sudah berusia satu abad ini mengambil semangat Budi Utomo untuk mencerdaskan pribumi melalui pendidikan modern. Muhammadiyah didirikan pada tahun yang sama SI berdiri, yakni tahun 1912, oleh KH Ahmad Dahlan. Ia adalah elit agama kesultanan Yogyakarta dan tinggal di daerah perkauman. Selain menjadi ulama, KH Ahmad Dahlan adalah seorang pedagang.[11]

Setelah melakukan ibadah haji, KH Ahmad Dahlan bertekad membawa ide-ide pembaharuan Islam yang ketika itu banyak diwartakan oleh Jamal ad-Din al-Afghani, Muhammad Rasyid Rida, dan Muhammad Abduh. Ketiga pemikir Islam itu menganjurkan Pan Islamisme guna menolak penjajahan Barat serta memerangi praktik bid’ah, takhayul, kurofat yang dianggap sebagai penyebab perpecahan umat Islam. KH. Ahmad Dahlan melihat isu yang dibawa oleh tiga pemikir Islam itu sangat sesuai dengan kondisi rakyat nusantara yang sedang mabuk mistik, bersikap taqlid sehingga menyebabkan stagnasi, kejumudan yang menghambat kemajuan Islam sebagai mayoritas penduduk Jawa nusantara.

KH. Ahmad Dahlan bergabung dalam Budi Utomo dan mengenalkan ajaran Islam organisasi tersebut. KH Ahmad Dahlan juga menjalin hubungan dengan SI dan Jamiat Khoir. Pergaulannya dengan Budi Utomo membuat KH Ahmad Dahlan memperoleh kesempatan mengajar siswa di Kweekschool Jetis yang diajar oleh R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, anggota Budi Utomo. Pengalaman mengajar tersebut memberi inspirasi kepada KH Ahmad Dahlan untuk membentuk sekolah modern yang memadukan pengajaran Islam dan pengetahuan Barat.

Sekolah KH Ahmad Dahlan lambat laun kian diminati dan berkembang. Melihat kemajuan sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, Budi Utomo menyarankannya untuk membentuk sebuah organisasi yang akan membantu Ahmad Dahlan dalam mengelola sekolah-sekolah tersebut. Perkumpulan inilah yang kemudian dinamakan Muhammadiyah yang berarti jalan Muhammad.[12]

Perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah tak hanya mendirikan sekolah, melainkan juga mendirikan rumah sakit serta perkumpulan perempuan. Adopsi cerdas antara Islam dan modernitas membuat Muhammadiyah menjadi organisasi Islam besar di Indonesia dan masih eksis sampai sekarang dengan usia satu abad. Muhammadiyah juga melahirkan tokoh penting seperti Soekarno dan Jenderal Soedirman.

Perjuangan Revolusi Bersenjata 1945-1948

Kaum muslim atau santri tradisional banyak mengambil peran perjuangan kemerdekaan melalui revolusi bersenjata atau peperangan. Corak semacam ini pernah muncul dalam pemberontakan petani yang dipimpin kiai-ulama yang ditulis oleh Sartono Kartodirjo. Namun, momentum yang paling pas adalah ketika Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) K.H Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Jepang berpengaruh besar dalam mengenalkan metode perang gerilya dan mesin politik kepada jaringan kiai dan santri di pedesaan yang umumnya dipimpin oleh NU.

Jepang sangat gencar mendekati Islam. Jepang menggunakan politik mobilisasi atau penyatuan (fusi) atas kaum santri tradisional dan modern dalam satu wadah bernama Masyumi. Jepang menyatukan Muhammadiyah, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan NU.[13] Laskar Hizbullah terbentuk seiring berdirinya Masyumi. Salah satu penggagasnya adalah KH Wahid Hasyim yang menjabat sebagai Ketua Muda Masyumi.[14] Ide pembentukan Laskar Hizbullah muncul saat Jepang mengubah stategi setelah terdesak oleh pasukan sekutu. Jepang menggunakan propaganda kemakmuran Asia Timur dan kemerdekaan Indonesia untuk menarik hati pribumi secara umum. Meski demikian, mereka sadar namun mencoba mengambil manfaat mempelajari berbagai teknik perang dan politik Jepang dan membuang ajaran fasisnya.[15]

Resolusi Jihad muncul saat Presiden Soekarno mengirimkan utusan ke KH Hasyim Asyari guna meminta pandangan mengenai hukum Islam membela tanah air dari ancaman kekuatan asing.[16] Permintaan Bung Karno direspon oleh KH Hasyim Asyari dengan memanggil Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, dan para kiai se-Jawa dan Madura serta panglima Laskar Hizbullah Zainul Arifin untuk bermusyawarah pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Rapat tersebut dipimpin oleh KH Abdul Wahab Hasbullah. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan Resolusi Jihad Fii Sabilillah, yakni pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam Jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan oleh Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari.[17]

Isi Resolusi Jihad Fii Sabilillah adalah sebagai berikut: “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)”[18]

Seruan jihad menjalar ke seluruh penduduk Surabaya melaui masjid-masjid dan musholla dan disambut dengan sukacita. Bung Tomo terus membakar semangat rakyat Surabaya sejak tanggal 24 Oktober 1945 dengan pekikan takbir Allahu Akbar. Saat Resolusi Jihad diserukan, Perang Dunia II sudah selesai dengan kekalahan Jepang pada 15 Agustus 1945. Tentara Sekutu lalu tiba di Indonesia hendak menyelesaikan masalah interniran serta tawanan perang Jepang. Bersamaan dengan hal itu, berhembus kabar kembalinya pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia dengan membonceng pasukan Inggris yang mendarat di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Sontak, Arek-Arek Suroboyo yang masih bergelora mengusir Jepang pun menolak kedatangan Inggris di tanah mereka.

Perang kota di Surabaya terjadi selama empat hari, yakni pada tanggal 26, 27, 28, 29 Oktober 1945, antara Brigade ke-49 Maharatta yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby dengan Arek-arek Suroboyo. Perang itu dipicu oleh pelanggaran kesepakatan pihak Sekutu yang membangun pos pertahanan di Surabaya selama masa penyelesaian persoalan interniran. Pada 28 Oktober 1945, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang sebelumnya tak memerangi Sekutu sebab harus tunduk pada perintah Bung Karno akhirnya ikut perang setelah melihat banyak korban santri dan rakyat berjatuhan. Perang baru berakhir saat Bung Karno, Hatta, dan Sjahrir datang ke Surabaya pada 29 Oktober 1945. Perang pun berhenti. namun naas pada esok harinya, Jenderal Mallaby tewas selama upaya sosialisasi gencatan senjata pada sore hari 30 Oktober 1945. Ia ditembak oleh pemuda milisi saat keduanya berpapasan di Jembatan Merah. Mobilnya pun digranat dan terbakar.

Tewasnya Mallaby di tangan inlander menyulut kemarahan Inggris. Pada 31 Oktober 1945 Mayor Jenderal E.C.Mansergh kemudian melontakan ultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan pembunuh Mallaby dan menyerahkan semua senjata kepada pasukan Inggris. Jika ultimatum tak dilaksanakan, maka Inggris akan mengebombardir kota Surabaya pada 10 November 1945 pukul 10.00 WIB. Ultimatum Inggris membuat Surabaya marah. Mereka menolak tunduk pada Inggris. Perang Surabaya pun pecah. Ribuan rakyat dan santri gugur dalam pertempuran 10 November yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia.[19] Secara militer, perang Surabaya dimenangkan oleh Inggris yang unggul dalam persenjataan modern, namun secara politis, kemenangan ada di pihak Arek-Arek Suroboyo dengan mundurnya pasukan Sekutu.

Pasukan Inggris akhirnya berhenti membantu Belanda mendirikan koloninya lagi di Indonesia. Pertempuran Surabaya membuat Inggris sadar bahwa milisi Republik bukanlah sekumpulan pengacau yang tidak didukung rakyat. Inggris pun mengambil sikap netral dalam revolusi nasional Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Inggris mendukung kemerdekaan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[20]

Laskar Hizbullah dari Dekat : Agresi Militer Belanda 1947-1948 di Salatiga

Secara personal, kisah Laskar Hizbullah cukup dekat dengan saya sebab almarhum kakek saya adalah seorang veteran eks gerilyawan milisi Hizbullah. Kakek menceritakan masa-masa perjuangannya sebagai milisi gerilya pada usia muda, maupun masa pelarian jadi buronan Londo Ireng dan mata-mata Belanda, hingga akhirnya ditangkap saat Agresi Militer ke II 1949 dan baru bebas ketika Indonesia telah berhasil mengusir pasukan Belanda. Melalui kisahnya, saya pun tahu adanya gua-gua buatan Jepang di tebing gunung Madu, kecamatan Simo yang digunakan untuk bersembunyi Jepang.

Kisah almarhum kakek yang masih saya ingat adalah ketika desa kami, Petak, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang menjadi target serangan Belanda yang kemudian saya tahu sebagai Agresi Militer Belanda I di Salatiga. Masjid Pondok Pesantren Al Huda Petak menjadi saksi gempuran meriam kanon Belanda yang dilontarkan dari wilayah Suruh. Rumah kakek hanya berjarak sekitar tiga rumah dari masjid. Pohon kelapa hancur sesaat suara keras terdengar dari Suruh oleh penduduk Petak. Itu tandanya, peluru besi sebesar buah kelapa baru saja ditembakan. Penduduk banyak yang berkumpul di Masjid itu sambil terus merapalkan doa-doa yang diberikan dari kiai. Untunglah, Masjid Petak hanya mengalami keretakan saja, tidak roboh. Hingga sekarang, banyak yang menganggap hal itu sebagai keajaiban dan bukti perlindungan Allah SWT.

Masjid Petak menjadi sasaran Belanda sebab masjid itu digunakan sebagai perkumpulan para pejuang. Masjid tersebut juga selalu digunakan sebagai salah satu pusat pengajian Tariqah Naqsabandiyah Kholidiyah. Para kiai membekali para pejuang semangat jihad fi sabilillah, amalan dzikir, hingga pelatihan kekebalan di masjid tersebut.

Desa kami tak hanya digempur kanon, namun juga diberondong oleh pesawat tempur Mustang p-51 yang terkenal dengan sebutan “Cocor Merah”. Menurut kakek, pesawat itu menembaki rimbunan deretan bambu yang tumbuh di tebing-tebing desa sebab Belanda mengira pasukan gerilya sedang bersembunyi di rumpunan bambu tersebut. Padahal, tidak ada orang sama sekali disana. Justru pasukan gerilya banyak bersembunyi di rumah penduduk dusun Petak.

Kakek menyebut bahwa serangan kanon dan pesawat Cocor Merah dilakukan sebab Belanda tak bisa memasukan tank melewati tebing curam sepanjang sungai Serang. Literatur yang mencatat bahwa serangan itu dilakukan untuk membuka jalan bagi pasukan infanteri dan kalvaleri yang akan menduduki wilayah Susukan.

Serangan Belanda ke desa kami adalah kelanjutan dari pertempuran Indonesia dengan Sekutu di Ambarawa. Selain di Surabaya, Pasukan Inggris juga bertempur di Ambarawa melawan TKR yang dipimpin Jenderal Soedirman. Laskar Hizbullah tergabung dalam TKR berada di bawah komando Soedirman melakukan Teknik Supit Urang berhasil mematahkan serangan Inggris. Ambarawa pun berhasil direbut kembali pada Desember 1945.

Ketika tentara Sekutu meninggalkan Indonesia pada 30 November 1946, tentara Belanda masih berada di Indonesia. Belanda melakukan agresi militer guna merebut sumberdaya ekonomi serta dalam rangka menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan dengan mendirikan Pemerintahan Hindia Belanda Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah perintah Letnan Jenderal Gubernur Dr. HJ. Van Mook. Belanda mengelabui internasional dengan menamai aksi mereka sebagai aksi polisionil Operasi Produk dan Operasi Gagak.[21]

Saat tentara Sekutu mundur, Pasukan Belanda sudah kuat di Semarang dan tak mau mengakui kedaulatan RI di Semarang dan menyerang kota tersebut. Tepat pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan besar-besaran Agresi Militer I dari markas induk Semarang bergerak ke Selatan, yakni Ungaran, dan Ambarawa. Dari Ungaran Pasukan Belanda bergerak menuju Bringin, Salatiga, dan Tengaran.[22] Rencananya, Belanda hendak menuju Surakarta. Petak-Susukan adalah salah satu wilayah strategis yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta. Kota Salatiga kemudian jatuh ke Belanda pada 23 Juli 1947. Namun, pergerakan Belanda dihadang di area Getasan, Tengaran dan Susukan oleh TLRI yang dibantu Barisan Sabilillah, Pasukan Clurut yang dibentuk dari kelaskaran Hizbullah, Barisan Pendem, Barisan Maling, hingga Barisan Tahan Udji (Batu) yang terdiri dari para garong.

Dewan Keamanan PBB mengeluarkan gencatan senjata mulai tanggal 1 Agustus 1947. Masa damai digunakan oleh Belanda untuk menyuplai pasukan dari Semarang ke Salatiga. Belanda menduduki desa Tegalwaton. Belanda mendirikan markas di dekat sumber air Senjoyo dan Kebonjeruk.

Pada tanggal 13 Oktober 1947, pasukan infanteri Belanda bergerak dari Kebonjeruk ke Suruh dengan kekuatan dua kompi pasukan, dibantu oleh sebuah tank dan dilindungi tiga buah pesawat Cocor Merah. Saat itulah desa kami diserang habis-habisan. Sebanyak 89 orang warga Petak-Susukan dibantai oleh pasukan Belanda, bahkan dua diantaranya masih bayi.[23] Satu di antara yang tewas itu adalah saudara kandung nenek kami. Ia tewas saat kepalanya dipukul dengan menggunakan popor senapan Belanda. Kakek kami selamat, tidak tertangkap saat bersembunyi di rumah.

Markas Belanda di Kebonjeruk mendapatkan tambahan personel yang diangkut menggunakan truck dan sepucuk kanon. Pada tanggal 25 Oktober, Belanda menghujani daerah Ampel dengan kanon dari Kebonjeruk. Masjid-masjid menjadi sasaran utama peluru-peluru Belanda, termasuk Masjid Petak. Penduduk diminta menggali lubang-lubang di bawah amben maupun di sekitar rumah mereka untuk bersembunyi dari serangan kanon. Perang berakhir saat perjanjian Renville ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin pada 17 Januari 1948.

Masa damai Renville digunakan oleh Belanda untuk memusatkan kekuatan. Mereka tak hanya menambahkan pasukan dari bangsa Belanda asli bernama Gadjah Merah, melainkan juga satu kompi pasukan campuran orang-orang Ambon, Manado, dan Jawa yang terkenal paling kejam. Belanda juga memiliki satu kompi pasukan Tjap Padi yang terdiri dari orang Jawa. Belanda juga merekrut etnis Cina untuk bekerja sebagai pasukan bersenjata mereka bernama Po An Tui. Kakek menyebut pasukan Pribumi yang bekerja pada Belanda dengan sebutan Londo Ireng. Seringkali dalam satu regu, hanya terdapat satu orang Belanda saja sedangkan yang lainnya adalah bangsa pribumi. Belanda juga menyebar mata-mata di bawah Intelichtingen Veiligheids Grouep (IVG) di kampung-kampung. Mereka tak kalah sadis dengan Kenpetai.

Selama masa ini, kakek menjadi buronan Londo Ireng maupun mata-mata Belanda sehingga pernah harus kabur hingga ke daerah Sragen. Ia juga bercerita hanya bisa menjenguk ibunya pada malam hari dan harus pergi menjelang subuh agar tidak tertangkap Belanda. Masa itu mereka lalui penuh rasa haru dan sedih sebab tiada bisa diduga kapan kematian datang dan itu adalah pertemuan antara ibu dan anak untuk terakhir kalinya.

Selama masa perdamaian Renvile, hanya pasukan gerilya saja yang bisa bergerak bebas sebab tentara terikat dengan perjanjian. Pasukan gerilya bertugas sebagai komunikator atau kurir, menebar teror kepada Belanda, mengintai musuh, menyabotase, memasang ranjau, hingga mencuri senjata Belanda.

Agresi Militer II pecah pada 18 Desember 1948. Belanda melakukan serangan umum kepada RI di Yogyakarta. Konsentrasi pasukan Belanda di kumpulkan di Salatiga, bergerak merangsek ke arah Surakarta. Belanda melumpuhkan Tengaran. TNI ditarik mundur ke arah Selatan dan Barat. Saat Tengaran diduduki. Letkol Slamet Riyadi memerintahkan anggotanya untuk merobohkan jembatan Ampel.

Pertempuran doorstoot ke Tengaran membuat gugur lima orang kiai yang dihormati di Tengaran. Mereka adalah Kiai Mawardi (Ketua NU Tengaran), kiai Zahrodji, kiai Badruji, kiai Amri, kiai Dulbari.[24] Sebetulnya, para kiai tersebut dapat meloloskan diri ketika pertahanan RI di Tengaran tertembus mereka bersembunyi di Masjid Kaliwaru. Namun agar tidak melunturkan semangat moril juang anak asuhnya, kiai Mawardi dengan gagah berani melawan kepungan Belanda dengan sebilah samurai peninggalan Jepang. Meski diberondong peluru, kiai Mawardi belum roboh. Bahkan, dari pihak Belanda yang jatuh terkena sabetan samurai. Hal ini cukup membuat moril tentara Belanda muda turun. Kiai Mawardi baru roboh ketika sebilah samurainya direbut oleh tentara Belanda dan dihunuskan pada tubuh sang kiai, dan gugur di pintu rumah haji Bakri.[25]

Kakek saya, dan pasukan gerilya lainnya banyak yang tertangkap ketika Tengaran jatuh. Belanda akhirnya menduduki Solo. Meski demikian, Belanda hanya bisa menguasai wilayah perkotaan saja. Agresi Militer II baru berakhir ketika terbitnya Resolusi DK PBB tanggal 28 Januari 1949. Namun, Belanda baru resmi menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia secara penuh pada 27 Desember 1949. Keberhasilan kemerdekaan adalah upaya seluruh rakyat Indonesia. Desa kami adalah saksi atas pengorbanan ulama dan kaum santri untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Daftar Pustaka

A.  H. Nasution. 1994. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid Lima: Agresi

Militer Belanda I. Bandung: Angkasa.

Ben Anderson. 1998. Revolusi Pemuda. Pustaka Sinar Harapan.

Clifford Geerzt. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

CNN Indonesia. 2021. “Sejarah Agresi Militer Belanda” (online), (https://www.cnnindonesia.com/tag/agresi-militer-belanda, diakses pada 3 Oktober 2021).

M. C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

M. Habib Mustopo. 2001. Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan. Yogyakarta: Jendela.

Muhammadiyah.or.id. “Sejarah Berdirinya Muhammadiyah” (online), (https://muhammadiyah.or.id/sejarah-berdirinya-muhammadiyah/, diakses pada 3 Oktober 2021).

Portal Sejarah. “Revolusi Fisik di Kecamatan Tengaran 1947-1949, (Awal Mula Pendudukan Belanda di Kecamatan Tengaran)” (online), http://tengaranindah.blogspot.com/2014/06/revolusi-fisik-di-kecamatan-tengaran.html, diakses pada 3 Oktober 2021).

Nuonline. 2016. “Resolusi Jihad NU dan Perang Empat Hari di Surabaya” (online), (https://www.nu.or.id/post/read/72250/resolusi-jihad-nu-dan-perang-empat-hari-di-surabaya-, diakses pada 3 Oktober 2021).

Nurcholish Madjid. 2010. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Dian Rakyat dan Paramadina.

Takashi Shiraishi. 1997. Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Tirto.id. 2019. “Sejarah Asal Usul Kata Santri Berawal dari Bahasa Sansekerta?” (online), (https://tirto.id/sejarah-asal-usul-kata-santri-berasal-dari-bahasa-sanskerta-ej72, diakses pada 3 Oktober 2021).

Wikipedia. 2021. “Santri” (online), (https://id.wikipedia.org/wiki/Santri, diakses pada 3 Oktober 2021).



[1] Revolusi Pemuda, Pustaka Sinar Harapan: 1988.

[2] M. Habib Mustopo dalam buku Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan (2001).

[3] Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999).

[6] Judul aslinya The Religion of Java, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin, diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Jakarta, 1989.

[7] Abangan, Santri, Priyayi, Halaman: 170

[8] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, halaman: 342.

[10] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926

[13] Abangan, Santri, Priyayi

[14] Uninus.ac.id

[15] Abangan, Santri, Priyayi halaman: 197.

[16] Jurnal Resolusi Jihad: Nasionalisme Kaum Santri Menuju Indonesia Merdeka karya Inggar Saputra (2019: 224) yang dikutip oleh situs m.kumparan.com.

[22] (Ani Oliviani, 2005: 56)

[23] A.H Nasution, VI, 1978: 169

[24] (Chusnul Hajati, dkk., 1997: 139)

Blogger.

Post a Comment