Table of Content

Nilai dan Siasat; Resensi Demitologi Novel Arok Dedes Pramoedya

Arok, yang dikenal luas dengan nama Ken Arok, hadir dengan wajah berbeda di dalam roman sejarah berjudul Arok Dedes, karya Pramoedya Ananta Toer. Arok di tangan Pram menjadi tokoh yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Tumapel dan menjadi tumpuan harapan para brahmana. Arok versi Pram sangat berbeda dengan Arok versi Parathon dan Negarakertagama. Label perampok dan pemerkosa hilang sama sekali.

Ken Arok umumnya banyak dikaitkan dengan citra dan budaya politik yang penuh muslihat, intrik, kelicikan, dan berbagai label negatif lainnya. Kehadiran Arok Dedes di tengah citra negatif Ken Arok dalam pandangan masyarakat umum mengundang pertanyaan : apa maksud penulis menghadirkan Arok Dedes kepada kita? Apakah kita sedang salah memandang sosok Ken Arok hingga hari ini? mengapa Pram menceritakan Arok secara berbeda dengan Parathon dan Negarakertagama?

Parathon dan Negarakertagama memiliki fungsi fiksi yang sama dengan Arok Dedes. Sebagai karya fiksi, tentu bukan kebenaran fakta sejarah yang akan kita tekankan darinya, melainkan makna yang mampu menginspirasi kehidupan. Makna dan nilai itu bersifat universal. Nilai universal itulah yang akan membuat karya abadi, sebab ia akan selalu relevan pada setiap perubahan zaman dengan permasalahannya yang beragam dan unik. Nilai universal itulah yang perlu kita serap dari sebuah karya sastra agar kita memiliki bintang penuntun saat mengarungi perubahan zaman maupun hingga wolak walik ing zaman.

Indonesia kini memiliki tiga versi kisah Ken Arok yakni versi Parathon, Negarakertagama dan roman Arok Dedes. Dua versi pertama ditulis oleh pujangga nusantara zaman kerajaan. Parathon tidak diketahui penulisnya, sedangkan Negarakertagama ditulis oleh Mpu Prapanca. Versi terakhir ditulis oleh Pram, seorang anak zaman modern dan sastrawan terbaik Indonesia yang ditahan di pulau Buru selama belasan tahun. Karya-karya ini tak henti mendapatkan pembaca di setiap zamannya dan dibahas di berbagai pertemuan. Hal ini membuktikan bahwa kedua karya tersebut memiliki bobot nilai unviversalitasnya yang butuh digali.

Kehadiran roman Arok Dedes menciptakan dialog dengan dua karya kuno yang ditulis ratusan tahun silam. Melalui dialog literasi lintas zaman ini, kita dapat mempelajari persamaan dan perbedaan antara karya sastra kuno yang hampir jarang sekali diajarkan secara masif di bangku pendidikan dibandingkan dengan sastra pop yang banyak diminati anak-anak milenial. Kehadiran Arok Dedes membuat kita tersentak, merasakan perbedaan rasa dan pengalaman membaca riwayat Ken Arok yang jauh dari unsur mitos dan hal supranatural. Pram menyuguhkan kisah Ken Arok yang lebih dekat dengan dunia kita melalui konstruksi sosial historisnya. Tulisan ini akan mengkhususkan diri pada ulasan mengenai krisis budaya politik dalam Arok Dedes karya Pram. Krisis politik itu berupa hancurnya sistem politik kelas di Tumapel.

Kehancuran tata sosial politik di Tumapel memainkan peran penting dalam setiap konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh Arok Dedes. Kepribadian tokoh banyak yang tidak sesuai dengan sifat-sifat yang seharusnya melekat pada dirinya menurut kelas sosialnya masing-masing. Krisis triwangsa menguji keteguhan masing-masing tokoh atas nilai dan posisi kelasnya. Mencairnya sekat pembagian kelas sosial menyebabkan dua hal ; pertama kelas brahmana dan satria jatuh sengsara, kedua membuka kesempatan bagi kelas sudra naik kelas berikut efek-efeknya. Kehancuran triwangsa menyeret para tokoh dalam konflik batin maupun sosial yang begitu kaya sehingga mampu membuat pembaca turut merenungkan nasib-nasib mereka.

Pudarnya Kuasa Darah

Roman Arok Dedes mengambil latar belakang sejarah cikal bakal berdirinya kerajaan Singhasari. Pembaca Arok Dedes tidak akan disambut dengan kisah dewata yang jamak mengawali karya sastra kuno. Pada prakata roman, pembaca Arok Dedes akan disambut dengan situasi dunia yang bahkan tidak dijumpai dalam riwayat Parathon dan Negarakertagama. Situasi dunia yang disoroti oleh Pram adalah gejolak politik di belahan bumi Eropa. Tepatnya pada pada tahun 1215 M di Inggris, Raja Jhon mengumumkan maklumat bersejarah Magna Charta. Maklumat itu berisi tentang kebebasan politik individu warga Inggris yang sayangnya masih sebatas kabar baik dan kenyataannya masih jauh di angan selama puluhan tahun.

Jika di Inggris penduduknya masih hanya bisa berangan-angan tentang kebebasan politik, maka di Jawa, Magna Charta sudah berlaku luas sejak raja Sri Erlangga naik tahta pada tahun 1020-1042 M di Kahuripan. Keputusan Erlangga tersebut mengawali pudarnya kuasa darah yang berjalan dari generasi ke generasi hingga ke Tumapel. Erlangga menetapkan hanya ada triwangsa yang berlaku yakni brahmana, satria dan sudra. Erlangga menghapus kelas paria (budak) dalam pembagian kelas sosial. Bahkan lebih jauh lagi, Erlangga pernah menjatuhkan titah bahwa kelas seseorang tidak lagi dilihat dari garis keturunannya melainkan melalui dharmanya.

“Mulialah Sri Erlangga Bathara Wisynu, dengan titahnya semua orang bisa jadi satria atau brahmana demi dharmanya”. (hal : 84).

Seorang sudra bisa menjadi satria dan brahmana, begitu juga sebaliknya. Perpindahan kelas tersebut diamini oleh guru pertama Arok yang ia sebut Bapa Tantripala. Ia sendiri menjadi brahmana bukan karena keturunan, melainkan pengetahuan. (hal. 65). Sejak itu, triwangsa sudah benar-benar tidak murni garis darahnya.

Berlakunya titah Erlangga tidak lantas berjalan mulus tanpa adanya pihak yang dirugikan. Korban pertama dari titah Erlangga adalah kelas brahmana. Kuasa brahmana luruh dengan tindakan Erlangga mengeluarkah titah triwangsa yang mengubah hal prinsipil tata igama, hubungan manusia dengan manusia, yang sudah ditentukan oleh ajaran brahmana. Padahal menentukan aturan-aturan adalah wewenang brahmana, bukan satria. Wewenang para brahmana itu direbut oleh Erlangga, raja yang serba bisa.

Pengaruh brahmana semakin hilang dengan penghapusan kelas paria. Hal itulah yang dikeluhkan oleh Arya Artya, seorang brahmana yang sedang membandingkan nasibnya dengan Mpu Parwa yang kehilangan anaknya, Dedes.

“Dia (Erlangga) hanya mengakui triwangsa ; biara, candi, bahkan pura negara pun kehilangan pamor dengan hilangnya perbudakan, kaum paria hina itu, makhluk serendah hewan di luar triwangsa”. (hal : 31).

Pembredelan kuasa brahmana oleh Erlangga bahkan bergerak lebih jauh, yaitu dengan tindakan Erlangga mengangkat diri menjadi raja dewa dan dikeramatkan sebagai titisan Hyang Wisnu. Titah itu berarti mengalihkan ketaklukan total rakyat dari dewa-dea brahmana kepada Erlangga. Padahal melalui pengetahuan tentang dewa, brahmana memegang kuasa atas semua kelas dan kehidupan.

Disingkirkannya dewa-dewa para brahmana oleh sosok Erlangga yang didewakan, membuat dominasi brahmana lenyap. Pembredelan pengaruh dewa-dewa brahmana terus berlanjut dengan dimulainya pemujaan kepada arwah-arwah leluhur yang dimulai oleh Erlangga dengan mengangkat nenek moyangnya menjadi dewa dengan nama dewa-dewa Hindu. Umat kaum brahmana pun berkurang, begitu juga kedudukannya. Tindakan Erlangga tersebut memicu kecaman brahmana yang menuduh bahwa Erlangga dan kaum Wisynu telah melakukan pendangkalan ajaran.

“Seperti kaum brahmana selebihnya ia (Dedes) ia juga tidak membenarkan adat baru mengangkat arwah raja menjadi dewa yang harus disembah dan dipinta restunya. . . . Orang-orang Wisynu dimulai dengan Erlangga yang membuka adat memuja leluhur, perbuatan khianat pada para dewa. Semua para dewa yang menentukan, bukan petani-petani bodoh itu.” (hal : 33).

“Bapa Mahaguru menghormati Sri Erlangga sebagai pembangun agung bagi kemakmuran dan kesejahteraan negeri dan kawula, tapi dirugikannya kaum brahmana. Semua teman sahaya (Arok) ini masih ingat kecaman Bapa atas diri Sri Erlangga sebagai pendangkal ajaran.” (hal : 52).

Kejatuhan kelas brahmana semakin nyata saat Dedes diculik oleh Tunggul Ametung. Pada moment itu, bukan hanya pengaruh kedudukan brahmana yang dihancurkan, melainkan penindasan terhadap manusianya langsung. Tunggul Ametung bahkan secara terbuka menyebut brahmana tunduk di bawah satria.

“Kau (Dedes), anak desa yang belum lagi tahu : semua brahmana telah takluk menyembah pada kaum satria” (hal. 83).

 

Pembaca akan diajak untuk mengalami langsung pergulatan batin Dedes, seorang brahmana yang hidup dalam masa keruntuhan triwangsa. Dedes sangat terpukul sebab ilmu, dewa dan ayahnya ternyata tidak mampu menyelamatkan dirinya saat diculik Tunggul Ametung. Posisi kelasnya tidak berguna sama sekali di tangan Tunggul Ametung. Peristiwa Dedes tersebut membuat kita tahu bahwa segudang pengetahuan tidak berarti di hadapan kebodohan yang menggenggam kekuasaan.

               Penghapusan triwangsa menjadi titik tolak Tunggul Ametung untuk mempertanyakan keabsahan kuasa brahmana. Penghancuran pengaruh brahmana pada ranah metafisik yang telah dilakukan oleh Erlangga kemudian diteruskan oleh Tunggul Ametung pada dimensi sosial dalam dialog penculikan Dedes. Kehancuran kuasa brahmana dapat disebabkan ia tak memiliki dua hal : keberanian dan kekuatan atas kenyataan. Kedua hal inilah yang dimiliki oleh kelas satria. Brahmana tak memiliki keberanian sebagai akibat dari pengetahuan yang mereka miliki.

Tunggul Ametung tidak menghadapi Dedes dengan otot saja, melainkan dengan argument dan pengetahuan sehingga membuat Dedes tidak berdaya sama sekali. Hal ini menjadi menarik sebab kita tidak hanya menyaksikan kesewenangan kasar tanpa adanya argumentasi yang cerdas. Kritik Tunggul Ametung terhadap kaum brahmana dapat diterima dalam nalar kita.

“Kalian kaum brahmana lebih pongah dalam pikiran, tapi menunduk-nunduk merangkak-rangkak di hadapanku. Itu tidak jujur, Dedes” (hal. 86).

 

“Kalian tak juga sadar, hidup terus dalam keseakanan, merasa tertinggi di atas segala kasta, hanya mimpi Dedes, hanya keseakanan. Itulah kekeliruan kaum brahmana! Kalian tak pernah tahu kenyataan” (hal. 85).

 

“Akulah kenyataan. Aku tak takluk pada kaum brahmana dan ajarannya” (hal. 85).

 

Kelemahan kaum brahmana memang terletak dalam segi tindakan dan gerak. Kuasa mereka hanya bekerja dengan cara mempengaruhi tindakan, sedangkan kelas satria bertindak dan menciptakan sesuatu. Brahmana menciptakan sesuatu melalui persembahan orang lain. Erlangga menjadi kuat dengan membangun berbagai kemajuan semasa pemerintahannya. Sayangnya, Tunggul Ametung menggunakan kekuatannya hanya untuk merampas dan menindas rakyat, bukan mengikuti jejak Erlangga.

“Tak ada yang bisa bantah Sri Erlangga seorang pembangun besar. Satu yang pada waktunya akan Bapa Mahaguru katakana : hanya satu yang tidak pernah dibangunkannya kedudukan kaum brahmana” (hal. 52).

 

Krisis triwangsa juga menghantam kelas satria sendiri yang tidak siap dengan perubahan. Kebo Ijo adalah contoh yang tragis dilindas oleh dua orang sudra sepanjang hidupnya ; Tunggul Ametung dan Arok. Kebo Ijo hanya satria sebab keturunan. Kekuatanya hanya mengandalkan pada pengakuan budaya atas garis darah. Celakanya, legitimasi budaya itu sudah mulai pudar. Kebo Ijo tidak memiliki sifat-sifat satria menyebabkan ia hanya menjadi pesakitan dua jagoan sudra tersebut. Darah tidak berarti apa-apa dibandingkan kecerdikan dan kegesitan Tunggul Ametung.

Namamu Kebo, mengapa hanya tamtama, bukan perwira?”

“Terserahlah semua pada Yang Mulia Akuwu” (hal. 284).

 

“Bagaimana pun darahnya (Kebo Ijo) lebih mulia daripada Tunggul Ametung. Dengan keberanian dan kecerdikan dia (Tunggul Ametung) bisa bangunkan negeri. (Sedangkan) Kebo Ijo ini cuma punya darah!” (hal. 308).

 

Nasib Kebo Ijo di Parathon begitu tragis menjadi korban muslihat keris Arok. Pram lebih jauh lagi menelanjangi Kebo Ijo sebagai kesatria pengecut. Sikap pengecut itu menyeret Kebo Ijo pada petaka. Kebo Ijo tidak berani menghadapi Kidang Telarung, anak Tunggul Ametung, melalui perang tanding layaknya satria. Kebo Ijo membunuh Kidang dengan racun saat mengawalnya di barisan perang. Kepengecutan Kebo Ijo semakin jelas saat hendak mengambil alih Tumapel dengan membunuh Tunggul Ametung dalam keadaan mabok dan depresi setelah tidak memiliki kepercayaan kepada tentaranya sendiri. Kebo Ijo masuk perangkap Arok dan riwayatnya tamat sebab ia, sebagai kesatria, tidak memiliki insting politik yang tajam. Arok sudah memprediksi kelemahan Kebo Ijo yang gegabah ingin segera menguasai Tumapel dan takluk di hadapan kecantikan Dedes.

“Baik, kalian memang hanya sudra, tapi pemimpinmu ini (Kebo Ijo), seorang satria! Membunuh orang mabok – hanya paria yang dijajarokan bisa berlaku sehina itu!” (hal. 363). 

Rakyat dan Kuasa

               Krisis triwangsa menjadi momok bagi dua kelas atas, brahmana dan satria, namun justru menjadi berkah bagi kelas sudra. Setidaknya, ada tiga sosok sudra yang berperan penting dalam Arok Dedes yakni Tunggul Ametung, Arok dan Gandring. Pram ingin menunjukan bahwa kelas rakyat pun mampu menjadi penguasa serta memiliki mentalitas dan syarat yang bahkan mengalahkan kelas diatasnya.

               Tunggul Ametung berkuasa di Tumapel bukan karena keturunan, melainkan melalui kemampuannya mengorganisir gerombolan perampok yang menyapu desa-desa di Tumapel. Aksi-aksi penaklukan desa ia lakukan sejak berumur sebelas tahun dan saat itu ia masih bernama Langi. Ia merekrut prajurit dari penduduk desa yang ia taklukan. Melalui keberanian dan kecekatan, Tunggul Ametung berhasil memberontak garis nasib kelasnya sendiri dan mengungguli dua kelas sosial diatasnya. Namun sayangnya, Tunggul Ametung menggunakan kuasanya untuk memeras darah dan keringat saudaranya sesama sudra.

               Jika kita berkaca pada kondisi Pram yang sedang ditindas oleh rezim Orde Baru saat menulis Arok Dedes, Tunggul Ametung dan raja-raja kaum Wisnu terutama Erlangga adalah sindiran dan kritik atas rezim yang sedang berkuasa saat itu. hal itu terungkap dari simbol-simbol yang disebut dalam novel seperti raja “pembangun”, raja dari kaum tani dan pemuja leluhur nenek moyang. Wajah Tumapel dihadirkan dekat dengan suasana Indonesia masa Orde Baru dimana yang terjadi adalah rakyat menindas sesama rakyat setelah berkuasa. Kondisi para brahmana yang dilemahkan selama dua ratus tahun juga merupakan kiasan kondisi kaum intelektual yang dihancurkan oleh Orde Baru, termasuk Pram sendiri. Orde pembangunan tidak membangun budaya pikiran berbeda dengan Orde Lama yang banyak memperbincangkan gagasan dalam komunikasi politiknya.

“Tak ada yang bisa bantah Sri Erlangga seorang pembangun besar. Satu yang pada waktunya akan Bapa Mahaguru katakan : hanya satu yang tidak pernah dibangunkannya kedudukan kaum brahmana” (hal. 119).

 

Tunggul Ametung adalah pengingat bahwa tidak mustahil seorang rakyat bisa menjadi penindas ketika berkuasa. Begitu halnya dengan Gandring adalah contoh bahwa seorang rakyat ternyata bisa haus kekuasaan. Dua contoh sudra diatas mengandung peringatan bahwa rakyat, yang namanya begitu diagungkan di bangsa ini, harus juga dikritisi jika menyangkut soal kekuasaan.

               Tunggul Ametung tidak hanya mengandalkan otot, melainkan juga berpengetahuan. Tidak diketahui darimana Tunggul Ametung memiliki pengetahuan yang cukup kuat untuk merontokkan bangunan argument Dedes. Namun pengetahuan yang ia miliki tidak cukup kuat melawan dominasi Yang Suci Belakangka. Hasrat hidup Tunggul Ametung adalah kekuasaan Tumapel dan keuntungan yang bisa ia peroleh darinya, bukan sebuah pengabdian kepada nilai-nilai yang baik seperti keadilan. Sebab itulah, Tunggul Ametung hanya berhenti di Tumapel dan takluk kepada Kediri. Pemberontakan kelas sosialnya terhenti oleh sebab kemelekatannya terhadap segala hal terbaik milik rakyat yang ia rampas. Kecerdasan Tunggul Ametung hanya sebatas kemampuan merampok bukan visi besar kehidupan manusia.

Belakangka adalah tangan-tangan Kediri, Sri Baginda Kretajaya di hadapan mata batin Ken Dedes terbuka suatu pengertian baru : Tunggul Ametung ternyata bukan yang paling kuasa di Tumapel” (hal. 119).

 

Dua puluh tahun sebagai Tunggul Ametung pekerjaan pokoknya adalah melakukan perampasan terhadap semua terbaik milik rakyat Tumapel : kuda terbaik, burung terbaik, perawan tercantik. (hal. 9)

 

Seorang akuwu, yang di negeri sendiri menggenggam jiwa semua orang , di Kediri tak ubahnya seperti anjing tanpa harga (hal.162).

 

Kelekatan terhadap kesenangan duniawi Tumapel adalah titik lemah dan titik serang paling lemah untuk kejatuhan Tunggul Ametung. Proses dialektika kelas Tunggul Ametung tamat di titik tersebut. Berbeda dengan Arok, seorang sudra naik kelas selain Tunggul Ametung.

               Berbeda dengan Tunggul Ametung yang hanya dibesarkan dalam dunia perampokan, maka Arok, meski ia juga menjadi perampok, dibesarkan dalam dunia perguruan milik para brahmana. Sebab itu, aksi perampokan yang dilakukan oleh Arok berbeda tujuan berbeda dengan Tunggul Ametung, yakni untuk menyabotase penyerahan upeti Tumapel kepada Kediri.

               Sejak kelahirannya yang beraroma mitos yang pekat, Arok sudah memiliki simbol keilmuan dan nilai kebajikan yang sangat kuat. Arok, dalam Parathon, disebut sebagai anak dari Bathara Guru, salah satu dewa dalam mitologi Jawa, dengan Ken Endok. Pram, dengan metode penulisannya yang sosial historis sebagaimana yang disebut dalam kata pengantar novel, menggunakan simbol fisik berupa sorot mata yang bercahaya untuk menggambarkan potensi kecerdasan dan kebijaksanaan yang sudah terberi secara alami pada Arok. Mitos anak dewa dan manusia umumnya digunakan untuk mengkisahkan kelahiran orang-orang besar sebagaimana kelahiran Nabi Isa ataupun dalam kisah mitologi Yunani dan Eropa.

               Hal yang menjadi pertanyaan menarik adalah mengapa Bathara Guru memilih seorang sudra untuk menjadi anaknya? Mengapa tidak memilih rahim dari seorang brahmana yang seluruh hidupnya telah dibaktikan kepada para dewa? Baik Parathon maupun Arok Dedes adalah kritik metafisis bahwa seorang rakyat pun juga mampu mendapat pencerahan tinggi yang mampu mengungguli kelas sosial diatasnya. Pada titik ini, legitimasi hirearki kelas yang berdasarkan keturunan darah runtuh sama sekali. Dewa tidak menggubris sama sekali hirearki kelas untuk memilih perwujudnya di dunia.

               Pram tidak menjelaskan mengapa Arok mewarisi sifat alami kecerdasan dan kebijaksanaan. Gaya penulisan sosial historis, yang sedapat mungkin menolak hal yang berbau mitos, agaknya membatasi Pram untuk menjelaskan bagaimana Arok mampu memiliki sorot mata itu. Kecerdasan Arok akhirnya didatangkan secara tiba-tiba, tanpa sebab. Secara tidak langsung, gaya penulisan sosial historis Pram yang terlihat ingin melakukan demitologisasi akhirnya malah jatuh dalam mitos. Di sisi lain, Parathon yang memiliki keunggulan pada hal ini.

               Parathon mampu menjelaskan, dengan narasi mitosnya, mengapa Arok memiliki takdir sebagai seorang penguasa Jawa dengan kecerdasannya. Arok dikisahkan sebagai reinkarnasi dari seorang yang memberikan jiwanya kepada seorang brahmana yang sedang membuat gerbang neraka. Para dewa meminta kurban kambing merah yang tak lain adalah sebutan untuk manusia. Seorang reinkarnasi Arok menyanggupinya dengan imbalan ia meminta kepada Bathara Guru agar kelak ia dilahirkan kembali sebagai seorang penguasa tanah Jawa.

Pada era dominasi pola pikir ilmiah seperti saat ini, narasi mitologis seringkali dibaca secara harfiah, bukan cara baca yang menembus simbol. Cara baca harfiah menghasilkan dua macam manusia, yakni manusia yang mabuk mitos sehingga jadi bodoh atau manusia yang merendahkan mitos. Memandang mitos dengan sebelah mata membuat kita kehilangan pesan penting dari penulis kitab kuno yang saat itu mungkin memiliki alasan tersendiri mengapa menuliskannya dengan narasi dunia khayangan. Pembaca harfiah tidak memperhitungkan faktor-faktor, seperti politik, sosial atau psikologi penulis, yang menyebabkan sebuah realita (konteks) rusak saat ditulis dalam teks.

Membaca reinkarnasi Arok dalam Parathon membutuhkan imajinasi. Kita bisa mengasumsikan bahwa menjual jiwa untuk tumbal pembuatan pintu neraka sebagai simbol betapa besarnya pengorbanan dan harga persembahan yang harus dibayar untuk menjadi penguasa Jawa. Proses yang menyiksa, meletihkan, dan kepedihan abadi adalah ilustrasi neraka. Kobaran api abadi itu harus dilalui jika hendak mendapat kekuasaan besar. Kepedihan itulah yang dialami Arok sejak kecil yang dibuang orang tua kandungnya.

Kesengsaraan individual yang dirasakan oleh Arok kecil, saat itu masih bernama Temu, meningkat menjadi rasa sakit universal yang ia temukan pada saudaranya sesama sudra yang ditindasan Tunggul Ametung. Luka yang dialami oleh kaum sudra membuat hati Arok tersayat sehingga hati dan hidupnya dicurahkan untuk mengalahkan Tunggul Ametung. Pengalaman inilah yang tidak dialami oleh Tunggul Ametung saat masih bernama Langi. Panggilan jiwa satria umumnya condong bergerak untuk memusnahkan atau menguasai sesuatu. Pengalaman luka Arok melihat saudaranya ditindas membentuk dorongan dan kehendak jiwa satrianya untuk memusnahkan Tunggul Ametung, sedangkan di sisi lain, pengalaman menikmati hasil perampokan mengarahkan seorang Langi untuk memusnahkan Tumapel dan segala isinya.

Arok muncul membawa warna baru medan perebutan kuasa yang belum dikenal sama sekali oleh umumnya kelas satria pada waktu itu. Kelas satria saat itu hanya mengenal kekuatan fisik, pedang dan pasukan militer untuk merebut kekuasaan. Arok muncul dengan menggunakan strategi politik, yang berarti menggunakan kekuatan pikiran. Politik banyak menekankan pada kerja kecerdasan menyusun taktik dan strategi untuk berkuasa dibanding dengan kekuatan militer di medan perang. Knowledge is power kata Francis Bacon. Kecerdasan lebih tajam dibandingkan pedang dan lebih kuat dibandingkan pasukan militer. Dengan srategi politik, Arok mampu mengalahkan Tunggul Ametung dan mematahkan gerakan Empu Gandring tanpa banyak berperang dan tanpa memiliki pasukan militer yang kuat. Bahkan, Arok tidak perlu menggunakan tangannya sendiri untuk membunuh Tunggul Ametung.

Jiwa satria yang mendapat didikan brahmana menciptakan manusia politik yang saat itu belum dikenal oleh Tunggul Ametung. Penguasa Tumapel itu hanya mengerti prajurit bukan permainan catur. Arok dapat disebut sebagai perintis praktik politik di nusantara. Tradisi politik di Tumapel bergejolak dari semula bersifat pasif, berupa garis keturunan darah, menjadi dinamis dengan munculnya dua kekuatan baru yang sedang mencari ruang yakni keberanian dan kecerdasan.

Gandring sebetulnya menjadi lawan potensial Arok yang paling mematikan. Gandring sama dengan Arok, yakni menggunakan politik untuk merebut Tumapel. Bedanya. Gandring tidak memiliki jiwa maupun kecakapan satria seperti Arok. Gandring murni kelas sudra tanpa mengalami perubahan jiwa naik ke dua kelas diatasnya. Namun, kelemahan itu dapat ia atasi dengan kecerdasannya mengatur siasat adu domba antara para para Tamtama yang dipimpin oleh Kebo Ijo dengan Arok. Gandring tidak punya tentara namun ia cerdas mampu menggerakan tentara Tumapel melalui Kebo Ijo. Sayangnya, Gandring gagal. Gerakannya dipatahkan oleh Arok dengan tuduhan kudeta Tumapel. Gandring juga salah memilih Kebo Ijo sebagai bidaknya. Gandring masih kalah strategi dengan Arok yang menggunakan ikrar melindungi Tumapel sebagai alat untuk menguasai Tumapel.

Nilai dan Siasat

Dilema nilai dan siasat ibarat tali sirkus yang susah dilalui oleh banyak orang. Tidak sedikit orang yang tersesat dalam bersiasat sehingga melupakan nilai yang pernah ingin ia perjuangkan. Pada akhirnya, orang mengambil tempatnya masing-masing dengan garis tegas antara gerakan moral dan gerakan politik. Kelompok moralis, atau disebut orang idealis, memilih menjaga jarak dari kekuasaan mirip dengan kode etik kaum brahmana yang dilarang masuk dalam pusaran kekuasaan. Sedangkan di sisi lain, orang politik memandang moral sebagai penghambat praktik politik yang seringkali menuntut kompromi dengan aksi-aksi amoral guna memenangkan kekuasaan. Namun, seringkali orang sudah terbuai dengan remah-remah kuasa. Terpisahnya moral dan politik membawa Tumapel jatuh dalam kebobrokan. Sistem kasta tidak mampu memenuhi tata kehidupan ideal di Tumapel, berbeda dengan di India dimana para raja sangat tunduk kepada brahmana.

Arok muncul mengatasi dilema tujuan (nilai) dan cara (siasat) masa krisis politik di Tumapel. Arok menggunakan ajaran gurunya, terutama Lohgawe, yang ia pahami dengan caranya sendiri sebagai sumber kuasa yang tidak terkalahkan. Bahkan Arok memberikan warna baru kepada intepretasi kitab-kitab yang ia pelajari. Hal itu disebabkan Arok mau mempraktikkan ajaran-ajaran gurunya. Praktek memberinya pengalaman baru yang dihasilkan dari dialektika gagasan dan kenyataan. Arok tidak seperti murid lainnya yang hanya menghapal dan melestarikan ajaran yang turun temurun. Arok mengujicoba nilai yang ia pelajari dan bereksperiment sehingga ia mampu menembus simbol-simbol mitologi yang disebut di dalam kitab-kitab. Pengalaman praktik itu membuatnya tahu kelemahan para brahmana.

“Apa yang kau maksudkan kekuatan itu tombak dan pedang kaum satria?”

“Kekuatan tanpa Nandi, berkaki empat, bersentuhan langsung dengan bumi, tidak mungkin mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas bumi. Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan,” Arok tersenyum. “Empat kaki Nandi, para Yang Terhormat, teman, kesetiaan, harta dan senjata” (hal. 153).

 

Pengetahuan Arok akan empat kaki Nandi, terutama soal teman dan kesetiaan, memberinya keunggulan untuk mematahkan susunan kekuatan Tunggul Ametung. Arok menggalang persatuan tanpa memandang perbedaan kasta maupun aliran agama. Tunggul Ametung hanya memiliki dua kaki Nandi berupa harta dan senjata.

Arok mempersembahkan darah untuk menghidupkan kata-kata Dewata di muka bumi, bukan sekedar mengkunyah dan merapalkan saja. Gagasan dan pemikiran memang lebih kuat dari senjata, namun gagasan ibarat roh yang membutuhkan tubuh untuk dinaungi agar mampu mewujud secara historis dan kongkrit. Gagasan butuh darah untuk dapat hidup. Roh tanpa tubuh hanyalah hantu-hantu yang tidak bisa mempengaruhi realita. Persenyawaan antara gagasan dan darah menghasilkan manusia besar sebagaimana yang banyak disimbolkan dalam mitologi sebagai manusia setengah dewa, anak Tuhan, jelmaan Tuhan, maupun praktik manunggaling kawula gusti (baca : gagasan filosofis). Arok mampu mempersenyawakan gagasan dan tubuh dalam dirinya melalui kesetiaan pada kata-kata.. Hal itu seperti yang terlihat dalam simbol-simbol dewa yang digunakan Arok sehingga orang tunduk padanya. Dalam Parathon dikisahkan bahwa Arok menggunakan nama Bathara Guru untuk mengalahkan Kediri setelah mendengar sesumbar raja Kediri bahwa ia hanya bisa dibunuh oleh Bathara Guru.

Melihat lambang-lambang para dewa dipersatukan di kalung dan pada tangan (Arok), berkilat-kilat memantulkan sinar api unggun, orang pun menjatuhkan diri bersimpuh di tanah dengan puncak hidung menyentuh bumi” (hal. 153).

 

Arok akhirnya berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan dari Lohgawe padanya dengan baik. Arok tidak tenggelam dalam pusaran kuasa, tergoda oleh harta, kedudukan dan kecantikan Dedes. Arok juga bukan kaum idealis yang merasa dirinya tidak boleh ternodai oleh kubangan politik. Arok juga terkesan berkompromi pada Tunggul Ametung dengan menjadi prajurit Tumapel, bermuka dua, merampokan, hingga membunuh seorang brahmana dan teman yang memfitnahnya. Pada titik inilah, kejahatan Arok harus dinilai relatif. Kejahatan orang besar tidak bisa disebut sebagai kriminal mutlak. Prinsip tujuan menghalalkan cara juga tidak bisa dipandang sebagai hal yang secara apriori negatif pada kasus Arok. Dunia siasat, dunia satria adalah dunia kotor namun tanpanya, gagasan adalah omong kosong. Di sisi lain, kita juga sudah menyaksikan dan menderita tumpah darah ratusan akibat praktik gagasan besar di kehidupan nyata mulai dari perang agama hingga perang ideologi.

Jagad Pramudhita

Dunia yang tertata dan ditegakkan dengan nilai-nilai kebajikan adalah muara perjuangan Arok. Pram mengakhiri kisah Arok dengan kemenangan atas terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Kebo Ijo yang berarti juga gagalnya gerakan Gandring. Apakah jatuhnya Tumapel di tangan Arok berarti mutlaknya kekuasaan kebajikan di muka bumi? Kita tidak tahu sebab Pram sudah mengakhiri tulisannya dengan gejolak hati Dedes yang merasa iri hati pada Arok dan Umang, dua orang sudra yang dihormati seluruh Tumapel. Pram tidak membicarakan kisah kutukan Empu Gadring. Sepertinya, Pram tidak mau menjelaskan bahwa dunia ideal tidak akan final, jika bukan disebut tidak ada. Sebab itu, keadilan akan selalu meminta darah dan tubuh manusia untuk dipersembahkan. Kenyataan yang mengerikan ini tidak disadari oleh rakyat Tumapel yang sedang bersuka ria di akhir kisah Arok Dedes.

Blogger.

Post a Comment