Table of Content

G20 Indonesia, Siasat Pelanduk Menggandeng Dua Gajah

Krisis perang di Ukraina yang berbarengan dengan Presidensi G20 Indonesia mengingatkan saya pada War and Peace, karya Leo Tolstoy. Novel itu berlatar peristiwa perang patriotik Rusia melawan pasukan Napoleon, penguasa Prancis, pada tahun 1812.

Apa pandangan Tolstoy terhadap perang? Jelas, sastrawan besar Rusia itu tak setuju. Tolstoy adalah seorang pasifis. Ia gigih mengkampanyekan ajaran anti kekerasan. Ajaran pasifis Tolstoy bahkan menginspirasi Mahatma Gandhi untuk membentuk gerakan ahimsa, perlawanan tanpa kekerasan, dan berhasil menumbangkan kolonialisme Inggris.

Meski menolak perang, Tolstoy berpendapat bahwa perang terkadang tak bisa dihindari dan adil untuk dilakukan. Contohnya adalah perang membela tanah air. Meski demikian, Tolstoy lebih memilih untuk menulis kisah prajurit dan rakyat selama perang patriotik itu. Pilihan tersebut adalah bentuk kritik Tolstoy terhadap sejarawan yang selalu memunculkan satu sosok sebagai pahlawan besar zaman. Selain itu, kisah orang kecil juga menjadi siasat Tolstoy untuk mengajak dunia pada perdamaian melalui sastranya.

Jauh dari kesan kepahlawanan, bagi orang kecil, perang hanyalah penderitaan. Banyak tokoh dalam War and Peace yang terbelalak menyaksikan kengerian perang. Bukan hanya rakyat, kengerian perang juga diderita oleh prajurit. Kenyataan perang membuat mereka tak lagi disilaukan oleh kehormatan. Mereka pun berpaling pada kasih sayang dan perdamaian.

Misalnya kisah komandan Kutuzov. Pada akhir perang, ia memerintahkan prajuritnya untuk berbelas kasih pada prajurit Prancis yang lapar dan kedinginan saat mereka hendak pulang ke negaranya usai kalah perang. Kutuzov tahu, mereka menyerang Rusia sebab perintah Napoleon dan tak berani menantangnya. Alih-alih membantai musuh, Kutuzov justru berpendapat bahwa manusia kuat adalah mereka yang mampu menunjukkan rasa belas kasihan pada musuhnya.

Paradoks perang juga terjadi ketika sekelompok prajurit Rusia sedang menghangatkan diri dekat unggunan api di tengah hutan. Tiba-tiba, mereka mendapati dua tentara Prancis dengan keadaan amat lemah. Bahkan, keduanya hampir tak dapat berdiri.

Alih-alih membunuh musuh, prajurit Rusia justru menolong dua tentara Prancis yang lemah itu. Mereka lalu menjadi akrab dan melupakan permusuhan yang diciptakan pemimpin negara mereka. Bahkan, mereka minum-minum, bernyanyi, hingga mabuk bersama di dekat api unggun. Kisah prajurit itu memuat pesan bahwa siapapun harus tetap menjadi manusia meski ia berada pada masa-masa sulit. Yakni dengan tidak membunuh yang lemah.

Dukungan Terhadap Negara Miskin

            Krisis perang yang terjadi silih berganti pasca Perang Dunia II adalah kritik terhadap negara maju. Mereka adalah penguasa tertinggi forum internasional. Sayangnya, negara maju belum berhasil menciptakan perdamaian dunia. Justru sebaliknya, mereka malah bersaing dalam perlombaan teknologi militer.

Apakah negara maju masih bermimpi untuk menjadi Napoleon dan Hitler baru? Apakah mereka masih berpikir bahwa perdamaian hanya bisa dijaga dengan kekuatan militer paling unggul? Jika benar demikian, maka negara maju perlu merenungkan isi War and Peace.         

            Pesan Tolstoy cukup jelas, bahwa kedamaian bisa diwujudkan jika dunia meneladani orang biasa (people). Orang kecil cenderung suka bekerjasama dibanding bertarung sebab mereka umumnya saling membutuhkan. Orang awam lebih menghargai kasih sayang daripada kemenangan. Jika dunia hanya terpaku pada negara adidaya dan adikuasa saja, maka dunia hanya berkisah tentang perang, persaingan, dan penaklukan.

            Sudah saatnya dunia tak lagi diisi oleh persaingan seperti kebiasaan yang dilakukan oleh negara maju. Dunia membutuhkan kepemimpinan yang mampu menciptakan perdamaian, membawa dunia pada babak baru dengan semangat kerjasama. Tekad inilah yang hendak dibawa oleh Presidensi G20 Indonesia.

            Sebagai negara berkembang, Indonesia berkomitmen untuk memperjuangkan kepentingan negara miskin pada forum G20. Mirip kritik Tolstoy, presidensi G20 Indonesia mengajak dunia melihat persoalan orang banyak (people centered) dan berhenti untuk saling menyalahkan.

            Indonesia mengusung tema recover together, recover stronger. Tema itu adalah kritik terhadap budaya pertikaian yang biasa dilakukan negara maju. Indonesia menawarkan spirit baru pada dunia, yakni gotong royong, model kepemimpinan khas negara berkembang.

Harapannya, tema presidensi G20 Indonesia dapat mengakhiri babak lama dunia internasional, menuju babak baru dunia yang pulih bersama, tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan. Sebab, gotong royong itu sendiri sudah diuji oleh pengalaman hidup berbangsa rakyat Indonesia dalam mengatasi ragam persoalan pelik yang mendera.

Indonesia mengajak dunia, terutama negara maju, untuk membantu negara miskin supaya negara maju melupakan pertikaian antar mereka. Seruan ini ditekankan pada tiga isu utama Presidensi G20 Indonesia, yakni arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi. Melalui kepemimpinannya, Indonesia diharapkan mampu menjadi jembatan antara negara miskin dan negara maju.

            Upaya pemulihan kesehatan global menyorot problem pemerataan vaksinasi COVID-19. Sejauh ini, masih terjadi ketimpangan ketersediaan vaksin COVID-19 antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju memiliki jumlah stok vaksin lebih dari yang mereka perlukan. Sedangkan negara-negara miskin masih kekurangan vaksin. Bahkan, mereka harus berutang ke Multilateral Development Bank (MDB) atau International Monetary Fund (IMF) untuk membeli vaksin.

            Tak hanya menyangkut rasa kemanusiaan. The Economist Intelegent Unit (EIU) menyebut bahwa ketidakmerataan vaksinasi COVID-19 berdampak pada kerugian ekonomi dunia mencapai US$2, 3 triliun pada tahun 2022-2025. Kerugian itu bisa diatasi, asal negara maju bersedia menyumbangkan kelebihan vaksin mereka pada negara miskin.

            Indonesia juga menekankan dukungan G20 terhadap negara miskin dalam hal bantuan pendanaan. Tujuannya adalah agar permasalahan pendanaan jangka panjang bagi negara miskin bisa ditanggulangi. Khususnya, untuk dapat mengatasi pandemi dan perubahan iklim. Sepanjang proses pemberian bantuan dana, negara miskin juga perlu didampingi agar dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan utang.

            Pada pertemuan International Financial Architecture Working Group (IFAWG) oleh presidensi G20 Indonesia, negara-negara G20 menyambut baik rencana pembentukan Resilience and Sustainability Trust (RST) oleh International Monetary Fund (IMF) sebagai opsi penyalur Special Drawing Rights (SDR). Dana bantuan diperoleh dari bantuan sukarela negara-negara yang memiliki posisi keuangan eksternal yang kuat.

Indonesia juga menagih aksi nyata negara-negara maju dalam upaya penanganan perubahan iklim. Sejauh ini, komitmen negara maju masih sebatas di atas kertas. Negara maju dianggap perlu mengeluarkan dana dan transfer teknologi ramah lingkungan kepada negara miskin. Mengapa? Sebab negara maju adalah penghasil karbon terbesar dunia. Mereka pun telah menikmati surplus ekonomi berlipat-lipat dari industri mereka. Sementara itu, negara miskin menjadi paling terdampak oleh perubahan iklim yang disebabkan aktivitas industri negara maju.

Jalan Politik Bebas Aktif Indonesia

Indonesia menganut politik bebas aktif. Prinsip politik ini tidak mudah dilakukan. Krisis perang di Ukraina adalah batu uji bagi Indonesia untuk turut menciptakan perdamaian dunia. Sebagai negara berkembang yang netral, kita jangan sampai menjadi pelanduk mati di tengah gajah-gajah yang bertarung.

Justru sebaliknya, kita harus menjadi pelanduk yang cerdas, mampu mengatur siasat supaya gajah tak saling bertengkar dan mengerahkan energi mereka untuk hal yang lebih bermaslahat. Bagaimana caranya?

Mendukung negara miskin adalah cara jitu untuk melenyapkap pertikaian. Mendesak negara maju untuk menyalurkan sebagian kemakmuran ekonomi dan teknologinya kepada negara miskin adalah langkah tepat untuk menciptakan perdamaian tanpa perang. Cara ini selaras dengan gagasan Daisaku Ikeda dan Arnold Toynbee, pemikir peradaban tersohor, dalam buku Perjuangkan Hidup (1987).

Ikeda dan Toynbee sepakat bahwa perang hanyalah hasil dari kelebihan produksi ekonomi. Perang tak disebabkan oleh kemiskinan. Toynbee menyebut bahwa persiapan dan pelaksanaan perang memerlukan waktu kerja yang tak tercurahkan untuk aktivitas ekonomi. Diperlukan kelebihan kemakmuran ekonomi untuk membiayai keperluan militer dan menciptakan persenjataan. Maka jelas, perang hanya dapat dilakukan oleh negara maju.

            Ikeda menyebut bahwa pencegahan perang dapat dilakukan dengan mengalihkan kemakmuran ekonomi pada sektor non militer. Upaya itu dapat dilakukan dengan memperluas dan memperbaiki jaminan sosial, sistem pendidikan, menyediakan perumahan yang lebih baik bagi rakyat, serta memberikan bantuan luar negeri kepada negara berkembang. Cara semacam inilah yang diupayakan oleh Indonesia pada forum G20.

            Lantas, kekuatan apa yang mampu mendorong kerelaan hati negara maju untuk membantu negara miskin? Tentu tak ada yang lebih mungkin selain kekuatan dialog yang menggerakkan hati. Kemampuan dialog dan daya persuasi semacam itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki jiwa bijak, seperti Gandhi dan Tolstoy. Sebab itu, Presidensi G20 Indonesia harus berjuang untuk memiliki kualitas diri setaraf dua tokoh pasifis tersebut.

            Perdamaian dunia tak ditegakkan dengan senjata, melainkan dengan membangun kerjasama dan kebersamaan. Perang tidak dihentikan dengan perang, melainkan dengan membantu negara miskin. Saya berharap presidensi G20 Indonesia mampu membuat dunia untuk percaya lagi pada kekuatan dialog, layaknya kemampuan sastra War and Peace, dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Blogger.

Post a Comment