Perempuan, secara fitrah, dekat dengan dunia literasi. Mengapa? Sebab kodratnya berkaitan erat dengan tugas-tugas peradaban, yakni merawat anak-anaknya. Sementara itu, literasi adalah wujud nyata dari peradaban itu sendiri.
Kodrat biologis perempuan bukanlah beban, atau kutukan yang membuat mereka terbelakang. Malahan, kodrat itu ternyata menjadi faktor kunci yang mengantarkan kaum hawa menjadi pencetus peradaban. Berkat peradaban, umat manusia dapat hidup lebih aman dan sejahtera sekarang. Semua ini adalah jasa perempuan.
Bung Karno, dalam Sarinah (1947), menjelaskan bagaimana proses perempuan menemukan peradaban. Bung Karno mengutip hasil penelitian antropologi perpindahan manusia dari zaman berburu dan meramu menuju zaman pertanian.
Sebelum pertanian ditemukan, kaum lelaki pergi berburu. Sedangkan kaum perempuan menetap, menjaga anaknya di dalam gua. Selain itu, kehamilan juga menghambat perempuan untuk pergi berburu.
Selama menetap, perempuan mengumpulkan biji-bijian dari hutan sekitar. Lambat laun, ia tahu bahwa biji-biji itu bisa ditanam di dekat tempat tinggalnya. Maka, lahirlah pertanian. Hasil dari pertanian ternyata lebih menjanjikan daripada berburu. Sebab, hasil berburu seringkali tidak pasti. Prosesnya juga berisiko tinggi.
Selain pertanian, perempuan juga penemu rumah. Keharusannya untuk menjaga anak mendorong kreativitas mereka untuk menyusun kayu dan dedaunan guna membuat hunian yang aman dan nyaman bagi anaknya. Perempuan juga menemukan periuk, wadah makanan, dan pakaian.
Kreativitas perempuan terus berkembang. Mereka menciptakan hukum dan tata sosial untuk mengatur anak manusia. Lambat laun, terciptalah kebudayaan menetap, prasyarat adanya peradaban manusia. Semua capaian prestasi ini hanya dimungkinkan oleh kodrat biologis perempuan.
Sementara itu, kaum adam sibuk berburu. Mereka tak punya waktu luang untuk mengembangkan aktivitas akal budinya. Sebab itu, mereka tertinggal secara intelektual dan terlambat beradab.
Temuan antropologi di atas seharusnya menjadi penguat, bahwa kodrat perempuan itu sungguh mulia dan baik, bukan musibah. Hal ini juga diyakini oleh Kartini, tokoh emansipasi perempuan Indonesia.
Kartini berpendapat bahwa perempuan adalah guru seluruh umat manusia. Gelar itu diperoleh sebab kedudukan perempuan sebagai seorang ibu. Pendapat ini ditulis Kartini dalam salah satu suratnya kepada pemerintah Hindia Belanda berjudul Berikanlah Pendidikan Bagi Orang Jawa (Emansipasi: 2014). Posisi perempuan sebagai guru umat manusia menjadi alasan fundamental bagi Kartini untuk memperjuangkan emansipasi dan pendidikan modern bagi kaum hawa.
Kartini melihat perubahan nasib bangsanya harus dimulai dari mendidik kaum perempuan. Dalam struktur masyarakat feodal, rakyat itu seperti anak kecil. Mereka akan mengikuti apa kata bangsawannya. Jika bangsawannya terpelajar, maka rakyat akan mengikutinya. Begitu pula sebaliknya. Tentu saja, bangsawan yang beradab, kemungkinan besar, hanya dapat lahir dari pola asuh ibunya yang terpelajar.
Perempuan dalam Tantangan Kekinian
Zaman kini telah modern. Tembok-tembok rumah yang dulu ‘memingit’ perempuan telah dirobohkan. Mereka telah memperoleh kebebasan dan kesetaraan sama halnya kaum lelaki. Namun, apakah dengan bebasnya perempuan dari nilai tradisional membuat mereka sepenuhnya baik?
Di balik runtuhnya tembok rumah, ternyata ada tembok dunia kerja. Banyak perempuan telah bekerja di pabrik sejak usia muda. Mereka tak sempat menikmati waktu luang dan pendidikan. Memang, kebebasan berhasil mengantarkan sebagian perempuan sukses berkarir. Namun, tak sedikit perempuan yang tak berkembang, bahkan rawan kesejahteraannya di luar rumah.
Kini, rumah-rumah semakin sepi dari ibunya. Sekarang, perempuan tak harus merawat anak. Sebab lembaga pendidikan telah membebaskan perempuan dari beban mendidik anaknya. Bukankah hal ini membuat perempuan kehilangan posisinya sebagai guru umat manusia? Apa jadinya anak tanpa pola asuh ibunya?
Sejauh ini, sekolah belum cukup kuat untuk membendung kenakalan remaja seperti tawuran, konsumsi minuman keras, bullying, penyalahgunnaan narkoba, penipuan, hingga tindak asusila. Bahkan, ada pula yang terpapar oleh ajaran radikalisme. Ini membuktikan bahwa lembaga pendidikan tak dapat sepenuhnya menggantikan peran ibu dalam membentuk manusia beradab.
Saya menduga, corak pendidikan sekolah yang bersifat masal itu menjadi pokok persoalan. Berbeda dengan pengasuhan ibu, yang bersifat intens dan personal. Pola asuh ibu lebih mudah membentuk jiwa anaknya. Maka tak salah, jika ada peribahasa mengatakan bahwa anak adalah cerminan ibunya. Tapi jika ibu tak hadir, maka kepada siapa anak akan bercermin?
Jika dahulu budaya pingit menjadi penghambat Kartini, maka kini kebebasan menjadi persoalan kontemporer bagi kaum perempuan. Dunia kerja berbicara uang, kesenangan dan budaya konsumtif. Hal-hal itu jauh dari buku, pengetahuan dan peradaban. Bukan pula maksud emansipasi Kartini untuk membawa perempuan pada kebebasan semacam itu.
Menanti Kiprah Kartini Era Digital
Mendidik seorang anak memerlukan usaha keras dan pengertian kejiwaan yang peka. Pekerjaan semacam itu tak dapat dicapai tanpa perasaan cinta yang tak terbatas. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh kaum ibu.
Memang, tak semua ibu memperoleh kondisi ekonomi ideal, yang membebaskan mereka dari beban kerja sehingga dapat mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk merawat anak. Persoalan ekonomi ini harus disadari oleh kaum adam. Mereka harus berjuang keras, semaksimal mungkin, menghindarkan perempuan dari menanggung beban ganda.
Setidaknya, pendampingan anak jangan dilupakan sama
sekali. Minimal, memberi edukasi mengenai literasi digital. Tantangan di ruang
digital tak bisa dianggap sepele.
Banyak konten-konten negatif yang terus bermunculan.
Kejahatan di dunia digital meningkat. Misal adanya hoaks, penipuan daring,
perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian,
serta radikalisme berbasis digital.
Anak-anak sangat rentan oleh konten negatif dan
kejahatan berbasis digital sebab hampir mereka semua adalah pengguna aktif
gadget. Setiap hari, mereka tak lepas dari dunia digital. Jika tak didampingi,
anak rentan tumbuh dalam asuhan konten negatif. Kelak saat mereka dewasa,
mereka akan menjadi generasi lemah dan tak beradab. Bayangkan, bagaimana nasib
bangsa di tangan generasi lemah?
Ibu perlu membekali anak dengan
kecakapan literasi digital. Literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk
mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan, dan mengevaluasi informasi
melalui teknologi digital yang dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi dan
sosial.
Ibu perlu mendampingi anak dalam memilah dan memilih
konten bermanfaat, mendidik, menyerukan perdamaian, serta menghindari konten
negatif dan penipuan. Anak perlu didorong agar memanfaatkan potensi dunia
digital, agar mereka semakin bertalenta dalam menghadapi perubahan teknologi
pada masa mendatang.
Membekali anak dengan literasi digital adalah tugas para Kartini masa kini. Literasi digital adalah panggilan kodrat sekaligus martabat kaum perempuan sebagai guru umat manusia. Hanya di pangkuan para ibu, Indonesia dapat berharap lahirnya generasi yang cakap menghadapi tantangan dunia digital.