Table of Content

Modernisasi Partai Politik Indonesia


Bonus demografi Indonesia hari ini menuntut partai politik berubah agar tetap relevan dengan zaman dan konstituennya. Transformasi partai tak hanya penting bagi partai itu sendiri, melainkan juga penting bagi bangsa dan negara sebab partai berfungsi menjembatani antara rakyat dan negara. Partai juga berperan meregenerasi kepemimpinan bangsa. Bila partai lemah maka akan berdampak buruk bagi keberlangsungan Indonesia.

Bagaimana partai harus bertransformasi? Jawabannya tergantung pada generasi muda Indonesia hari ini.

Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementrian Dalam Negeri[1] menyebut bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 275,36 juta jiwa per Juni 2022. Sebanyak 190,83 juta atau 69,3 persen dari total penduduk merupakan warga berusia produktif, yakni antara 15-64 tahun. Sisanya sebesar 84,53 juta jiwa atau 30,7 persen penduduk masuk ke dalam kategori usia tidak produktif.

Bila 69,3 persen kelompok usia produktif itu diperinci menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022[2], maka terlihat bahwa kaum millenial dan Gen Z merupakan kelompok dominan. BPS menyebut bahwa jumlah penduduk berusia 20-24 tahun telah mencapai 22.520.014 jiwa, lalu usia 25-29 tahun mencapai 22.436.965 jiwa, dan usia 30-40 tahun mencapai 22.036.720 jiwa.

Merujuk pada data statistik di atas, maka sudah jelas bahwa generasi muda adalah kelompok mayoritas. Mereka adalah 60 persen pemilik hak suara di pemilu nanti[3]. Mereka pula yang mayoritas menjalankan roda perekomonian nasional hari ini, baik di tingkat teknis hingga manajerial. Sebab itu, transformasi partai harus mengacu pada generasi muda.

Celakanya, generasi muda cenderung apatis terhadap politik hari ini[4]. Survei Indikator Politik menyebut millenial menganggap partai politik dan politisi tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi rakyat. Politik dianggap kaku, urusan orang tua, dan membosankan. Alvara Research Center[5] menyebut hanya 22 persen millenial yang menyukai berita politik. Sementara sisanya lebih suka berita lifestyle, musik, teknologi dan film.

Minoritas pemuda yang suka politik, biasanya mantan aktivis mahasiswa, seringkali juga ragu atau menolak bergabung partai politik. Alasan paling umum adalah “menjaga idealisme.” Tak sedikit mereka yang kemudian menyalurkan aktivismenya ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat (Ormas) yang dinilai lebih kritis dan sungguh-sungguh mendampingi masyarakat. Lalu selebihnya kembali menjadi orang biasa, hanyut dalam rutinitas sehari-hari.

Persepsi negatif millenial terhadap politik praksis besar kemungkinan terbentuk dari berita media sosial. Seringkali, berita hanya menyuguhkan dunia politik yang kotor, intrik, kepentingan sesaat serta politisi yang merugikan rakyat. Padahal, ada banyak kemajuan hidup yang dihasilkan oleh proses politik. Contohnya adalah kemerdekaan bangsa Indonesia, lalu perubahan orde kekuasaan tahun 1996 dan Reformasi. Semua proses politik itu justru digerakkan pemuda.

Millenial mungkin tak sadar bahwa berbagai aspek kehidupan yang mereka rasakan sehari-hari itu diputuskan melalui proses politik, seperti pendidikan terjangkau, fasilitas kesehatan, hingga lapangan pekerjaan. Buah politik tersebut tentu telah mereka rasakan. Berpolitik sejatinya memastikan pengambilan kebijakan publik dilakukan dengan benar. Melalui politik, kehidupan bisa diperbaiki. Tanpa politik, seribu gagasan baik menguap tak berarti.

Bonus demografi Indonesia akan menjadi bencana bila minat politik millenial terus rendah. Kondisi ini dapat memicu “resesi demokrasi” hingga krisis kepemimpinan nasional. Indonesia berisiko menjadi negara yang tidak efektif. Hal ini tentu menjadi tantangan partai politik pada pemilu 2024 nanti.

Menarik minat politik kalangan muda menjadi keharusan transformasi partai hari ini. Caranya adalah memodernisasi partai agar relevan bagi pemuda yang kebanyakan adalah kaum urban.

Modernisasi dan Regenerasi Partai Politik

Millenial dan Gen Z adalah wajah pemuda Indonesia hari ini. Mereka adalah generasi yang lahir pada era teknologi maju. Tak heran bila aktivitas keseharian mereka tak lepas dari gadget dan media sosial. Tak sedikit juga mereka yang bekerja di sektor digital.

Selain akrab dengan teknologi internet, millenial dan Gen Z adalah produk pendidikan modern. Mereka dipersiapkan untuk menjadi masyarakat urban atau industri. Mereka dilatih rasional serta wawasan global. Tak heran bila mereka lebih terbuka dan toleran. Mereka dipersiapkan untuk sistem demokrasi dan ekonomi modern. Sebab itu, partai yang relevan bagi mereka adalah partai modern. Lantas, seperti apa partai modern itu?

Partai modern mengamalkan tujuan politik modern, yakni politik berasaskan semangat kemanusiaan. Sejak era Yunani Klasik, Revolusi Prancis, hingga Kemerdekaan Indonesia, politik modern digunakan untuk membebaskan manusia dari belenggu kesengsaraan melalui sistem demokrasi. Sebab itu, partai modern sudah seharusnya mengusung misi kemanusiaan, bertujuan untuk menyejahterakan rakyat secara demokratis.

Partai modern dicirikan dengan kemampuan mengelola kekuasaan secara rasional sebab rasionalitas merupakan ciri organisasi modern. Partai modern harus menghindari praktik-praktik politik irasional seperti feodalisme, politik uang dan politik SARA. Politik yang rasional didasarkan pada karya nyata dan meritokrasi. Karya seorang politisi adalah gagasan-gagasan besar untuk perubahan yang ia wujudkan dalam kebijakan publik.

Karya menciptakan reputasi. Menurut Robert Greene, reputasi adalah landasan kekuasaan sehingga harus dijaga mati-matian.[6] Semakin besar karya seseorang diakui publik maka semakin kuat legitimasi kekuasaan yang dimiliki.

Perebutan kekuasaan yang rasional diselenggarakan melalui adu karya dan gagasan. Begitu pula saat memberi kritik harus menggunakan gagasan yang tulus diniatkan untuk memperbaiki bangsa, bukan ujaran kebencian. Kritik tidak boleh menjadi kamuflase niat jahat bertujuan memperkeruh kehidupan bangsa demi merebut kekuasaan.

Hatta pernah mengingatkan bahwa kegagalan demokrasi Barat diakibatkan oleh aksi kritik yang hanya diniatkan sebagai politik perlawanan (obstruksi), semata menolak segala perbuatan orang lain meski pengkritik tahu kebijakan itu bagus. Parahnya lagi bila pengkritik ternyata tak sanggup menjalankan program politiknya sendiri dengan lebih baik[7]. Itu adalah kritik tak bertanggungjawab.

Dalam politik modern, kritik dan kebebasan bicara hendaknya menjadi bagian dari mekanisme pembentukan opini publik, bukan bersifat memecah belah bangsa. Keberadaan pro dan kontra menjadi bagian dialektika gagasan yang muaranya menuju harmoni lebih baik. Sebab itu, demokrasi yang baik adalah demokrasi mufakat. Bukan demokrasi anarki.

Partai modern hendaknya memiliki budaya organisasi modern layaknya perusahaan maju dan inovatif. Kerja politik dalam partai modern lekat dengan aktifitas intelektual dan budaya ilmiah seperti diskusi, survey, melakukan analisa data dan riset sosial, serta menulis. Budaya ilmiah dilakukan untuk memproduksi kebijakan publik yang tepat dan inovatif. Dalam hal ini, partai modern memiliki keunggulan dibanding lembaga akademik atau riset, yakni fungsi praksis. Hasil kajian ilmiah dapat direalisasikan secara kongkrit melalui politik. Kajian ilmiah tidak berakhir hanya menjadi tumpukan buku tak terbaca.

Budaya ilmiah dapat menepis persepsi bahwa partai hanya membicarakan keuntungan pribadi dan kepentingan sesaat. Partai modern harus dikenal sebagai tempat berkumpulnya para profesional, pakar, pemikir, akdemisi yang peduli pada nasib bangsa dan rakyatnya.

Budaya ilmiah mengubah partai jadi profesional, memperjuangkan nasib rakyat dengan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat menarik minat millenial maupun Gen Z yang dikenal memiliki rasa ingin tahu tinggi. Mantan aktifis yang sebelumnya ragu berkarir di politik pun jadi yakin memilih partai sebagai jalan perjuangannya. Dengan demikian, partai modern dapat meraih ekspektasi idealisme pemuda.

Partai modern harus menyelenggarakan kaderisasi. Kaderisasi partai hendaknya mampu mengefektifkan latar belakang akademik seseorang dengan kemampuan seni persuasi, retorika, kepemimpinan, menulis, maupun menjadi influencer kebijakan publik di media sosial. Dengan demikian, partai pun dapat berfungsi seperti asrama pemuda[8] yang melahirkan tokoh-tokoh pemuda pergerakan atau Agora di zaman Yunani kuno yang mencetak para filsuf dan ilmuwan.[9]

Kaderisasi membuat partai dikenal pemuda sebagai rumah pembenihan orator hebat, pemimpin yang cakap, perumus kebijakan yang handal, diplomat ulung maupun kritikus yang diperhitungkan. Kaderisasi menepis persepsi bahwa kegiatan partai hanya berkutat pada kampanye pemenangan pemilu saja.

Selain mengkader, partai modern hendaknya memberi kesempatan dan kepercayaan kepada pemuda untuk memimpin, entah itu di organisasi kepartaian maupun posisi strategis di pemerintahan dan parlemen. Kesempatan itu harus diberikan secara inklusif, setara, dan terbuka bagi siapapun pemuda berbakat tanpa memandang suku, agama, dan status ekonomi. Ini adalah bentuk regenerasi kepemimpinan bangsa.

Berbasis Keprofesian, Bersifat Urban

Lebih dari separuh penduduk Indonesia, sekitar 56 persen, kini telah tinggal di perkotaan. Jumlah ini meningkat dari tahun 1990 yang masih 30 persen. Diperkirakan pada 2045 nanti, 70 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Tren ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi negara agraris atau rural, melainkan menjadi negara industri maju seperti Swiss dan Italia.[10]

Urbanisasi tak terelakkan. Nyatanya tak ada negara yang mencapai kesejahteraan tanpa proses urbanisasi. Masyarakat datang ke kota untuk mencari penghasilan tinggi dan kehidupan layak. Desa tak mampu menampung beban demografi sehingga menciptakan shared poverty[11]. Di kota justru sebaliknya. Semakin banyak penduduk tinggal di kota maka semakin meningkat kesejahteraan penduduknya. Tiap 1 persen penduduk urban bertambah maka akan meningkatkan 1,4 persen pendapatan negara.[12]

Millenial dan Gen Z tentu menjadi kelompok dominan dalam masyarakat urban. Mereka merantau ke kota untuk sekolah dan bekerja. Mereka memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat agraris di kampung halamannya.

Kaum urban umumnya lebih terikat pada jenis pekerjaannya dibanding dengan tempat tinggalnya. Identitas kaum urban dibedakan melalui jenis pekerjaannya, bukan suku atau agamanya. Hal ini disebabkan oleh tingkat spesialisasi kerja di kota lebih kompleks. Pola pikir kaum urban cenderung lebih liberal, kurang terikat oleh kekakuan ideologi, maupun suku daerah. Kaum urban lebih tertarik pada topik ekonomi.

Partai yang relevan untuk karakter masyarakat urban adalah partai modern berbasis keprofesian sebab ia konsen kepada golongan karya yang merupakan kunci penggerak ekonomi nasional. Partai semacam ini sangat relevan bagi anak muda yang sedang berjuang mencari pekerjaan.

Partai yang berbasis kelompok aliran sudah tidak relevan di daerah urban yang plural. Politik aliran mungkin masih efektif di daerah masyarakat agraris. Namun, partai tersebut akan sulit berkembang sebab meningkatnya tren urbanisasi.

Partai berbasis profesi harus mampu menjadi rumah bersama semua kalangan profesi, entah atasan atau bawahan. Ia harus mampu berfungsi seperti balairung, menyelesaikan persoalan ekonomi dengan musyawarah mufakat dan membawa aspirasi mereka ke parlemen dan pemerintahan. Hubungan partai dengan golongan profesi harus dijalin secara berkelanjutan supaya mencegah terjadinya negara terputus (suspended state)[13]. Bila mengacu pada nasihat Machiavelli, ikatan kuat dengan konstituen akan membuat partai tak terkalahkan oleh lawan politiknya[14].

Meningkatnya tren urbanisasi menuntut partai untuk memiliki gagasan pembangunan kota yang berhasil serta atraktif secara ekonomi dan sosial. Kota dapat dikatakan berhasil bila mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan usaha yang ada di dalamnya, bersifat terbuka atau inklusif, serta lestari.

Kota harus mampu menarik perusahaan inovatif untuk berinvestasi dan membuka usaha di dalamnya. Kota tersebut juga harus membuka kesempatan luas dan mempermudah warganya untuk berwirausaha. Pada saat bersamaan, pemerintah kota harus meningkatkan kapasitas perusahan lokal sehingga dapat bekerjasama dan bersaing dengan perusahaan pendatang yang maju.

Kota yang atraktif secara ekonomi akan menarik dan menjadi tujuan urbanisasi pekerja berkapasitas dan berpendidikan tinggi. Kota harus terbuka terhadap pendatang yang inovatif tersebut. Pada saat bersamaan, kota juga harus memberi pelatihan bagi warga lokalnya supaya naik kelas dan tidak terpinggirkan oleh pekerja-pekerja urban.

Supaya pekerja dan perusahaan inovatif betah tinggal di kota, maka kota harus lestari dan terjangkau biaya hidupnya. Sarana dan prasarana harus didesain ramah lingkungan. Bangunan kota harus lebih terpadu guna meminimalisir kemacetan dan polusi udara. Kota juga harus memiliki fasilitas publik, taman-taman yang indah, tempat berinteraksi dan suasana yang aman dan menyenangkan.

Golkar, Partai yang Modern

Partai Golkar adalah salah satu partai politik yang telah bertransformasi menjadi modern. Hal ini ditunjukkan dengan adopsi teknologi digital seperti aplikasi eKTA yang membuat rekrutmen kader lebih mudah dan inklusif. Selain eKTA ada Golkar Institute, sebuah platform pendidikan politik untuk kader. Golkar Institute menjadi salah satu sekolah pemerintahan dan kebijakan publik pertama di Indonesia yang didirikan partai untuk masyarakat umum.[15]

Golkar Institute membuat pendidikan politik lebih dekat dengan millenial dan Gen Z melalui gadget mereka. Materi politik dari tokoh nasional papan atas mudah diakses dalam satu genggaman.

Golkar juga memiliki komitmen politik yang riil terhadap regenerasi pemuda. Buktinya, Golkar telah memfasilitasi ruang-ruang politik bagi anak muda[16], baik di tingkat eksekutif maupun parlemen di tingkat daerah hingga nasional. Tak heran bila Golkar menjadi partai terpopuler di kalangan anak muda. Survei Centre of Strategic and International Studies (CSIS) menyebut Golkar dikenal oleh 94 persen responden berusia 17-39 tahun[17].

Sejak awal didirikan, menurut saya Golkar telah dipersiapkan untuk Indonesia yang maju dan modern. Mengapa? sebab Golkar dimaksudkan untuk mewadahi golongan karya, fokus pada pembangunan dan implementasi demokrasi mufakat.

Sekitar tahun 1957[18], Presiden Soekarno membentuk Golkar sebagai wadah golongan fungsional non politik. Hal ini dilakukan guna mengimbangi pertikaian antar partai berbasis aliran yang membuat politik tidak stabil sehingga menghambat pembangunan Indonesia. Stabilitas politik baru bisa tercapai di era Presiden Soeharto.

Riuhnya perang siber menuju pemilu 2024 di media sosial mengingatkan saya pada era demokrasi liberal era Soekarno. Sebagai millenial saya berharap, semoga hasil hajatan akbar demokrasi nanti dapat lebih memperkuat ekonomi Indonesia berkat kepemimpinan partai modern seperti partai Golkar.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. (1946). Revolusi Pemuda (1st ed.) Sinar Harapan.

Annur, C. M., “CSIS. Golkar Jadi Partai Politik Terpopuler di Kalangan Anak Muda” (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/27/csis-golkar-jadi-partai-politik-terpopuler-di-kalangan-anak-muda), diakses pada 3 Desember 2022.

Badan Pusat Statistik, “Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Golongan Umur 2021-2022” (https://www.bps.go.id/indicator/6/715/1/jumlah-penduduk-usia-15-tahun-ke-atas-menurut-golongan-umur.html), diakses pada 29 November 2022.

Barkan, J. D., (1996). Pemilu di Masyarakat Agraris. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. (2nd ed.) Tiara Wacana.

Editorial Media Indonesia, “Yang Muda, Yang Memilah” (https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2722-yang-muda-yang-memilah), diakses pada 1 Desember 2022.

Fauzi, A., “Survei Alvara: Milenial Cuek Terhadap Politik” (https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/192157/survei-alvara-milenial-cuek-terhadap-politik), diakses pada 28 November 2022.

Greene, R. (2007). 48 Hukum Kekuasaan (The 48 Laws of Power). (1st ed.) Karisma Publishing Group.

Hatta, M. (2015). Mohammad Hatta, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). (1st ed.) PT Kompas Media Nusantara.

Kompas.com, “Melalui Digitalisasi, Golkar Buktikan Kiprahnya sebagai Partai Modern” (https://nasional.kompas.com/read/2022/11/02/14034801/melalui-digitalisasi-golkar-buktikan-kiprahnya-sebagai-partai-modern), diakses pada 3 Desember 2022.

 

Kusnandar, V. B., “Era Bonus Demografi, 69% Penduduk Indonesia Masuk Kategori Usia Produktif pada Juni 2022”(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/30/era-bonus-demografi-69-penduduk-indonesia-masuk-kategori-usia-produktif-pada-juni-2022), diakses pada 29 November 2022.

Machiavelli, N. (2008). Il Principle (Sang Pangeran) (2nd ed.) Penerbit Narasi.

Mallarangeng, R. (2022). Peran Politik dan Partai Politik di Indonesia. Golkar Institute.

Amri, M. (2022). Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Golkar Institute.

Reeve, D. (2013). Golkar: Sejarah yang Hilang: Akar dan Dinamika. (1st ed.) Komunitas Bambu.

Republika.co.id, “Golkar Dianggap Bertransformasi Jadi Partai Anak Muda” (https://www.republika.co.id/berita/qquwao484/golkar-dianggap-bertransformasi-jadi-partai-anak-muda), diakses pada 3 Desember 2022.

Syadzily, A. H. (2022). Pandangan Terhadap Politik dan Tipologi Politik. Golkar Institute.

Soedjatmoko. (2010). Menjadi Bangsa Terdidik (1st ed.) PT Kompas Media Nusantara.


[1] Kusnandar, V. B., “Era Bonus Demografi, 69% Penduduk Indonesia Masuk Kategori Usia Produktif pada Juni 2022”(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/30/era-bonus-demografi-69-penduduk-indonesia-masuk-kategori-usia-produktif-pada-juni-2022), diakses pada 29 November 2022.

[2] Badan Pusat Statistik, “Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Golongan Umur 2021-2022” (https://www.bps.go.id/indicator/6/715/1/jumlah-penduduk-usia-15-tahun-ke-atas-menurut-golongan-umur.html), diakses pada 29 November 2022.

[3] Editorial Media Indonesia, “Yang Muda, Yang Memilah” (https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2722-yang-muda-yang-memilah), diakses pada 1 Desember 2022.

[4] Editorial Media Indonesia, “Yang Muda, Yang Memilah” (https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2722-yang-muda-yang-memilah), diakses pada 1 Desember 2022.

[5] Fauzi, A., “Survei Alvara: Milenial Cuek Terhadap Politik” (https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/192157/survei-alvara-milenial-cuek-terhadap-politik), diakses pada 28 November 2022.

[6] Greene (2007) mengatakan:

Reputasi adalah landasan kekuasaan. Melalui reputasi belaka anda bisa mengintimidasi dan menang. Namun demikian, sekali reputasi itu hilang, anda menjadi rapuh dan pasti diserang dari segala sisi. Ciptakanlah reputasi yang tidak bisa diserang. Senantiasalah bersikap waspada pada setiap potensi serangan dan gagalkan mereka saat mereka muncul.

[7] Hatta (2015) mengatakan:

Bangkrutnya demokrasi Barat pada waktu sekarang ialah karena kaum oposisi hanya tahu mengkritik saja dan tidak sanggup menjalankan politik sendiri. Adakalanya karena oposisi tidak mempunyai kesanggupan dan adakalanya pula karena sebagian dari oposisi itu tidak lain maksudnya dengan mengadakan politik perlawanan (obstruksi), menolak segala perbuatan orang, sekalipun perbuatan itu ada cocok dengan kehendaknya sendiri.

[8] Anderson, B. (1946). Revolusi Pemuda (1st ed.). Sinar Harapan.

[9] Rizal Malaranggeng, Golkar Institute.

[10] Mulya Amri, Golkar Institute.

[11] Soedjatmoko (2010) mengatakan:

Desa semata-mata menjadi penghasil pangan dan tanaman perdagangan yang sangat peka itu terhadap pasang surutnya konjunktur ekonomi negara-negara industri. Maka mulailah apa yang dinamakan agricultural involution, di mana bidang pertanian di Jawa berusaha untuk memperkerjakan makin banyak orang, tanpa mampu meningkatkan produktivitas atau produksinya, dan di mana kemelaratan dibagi rata (shared poverty).

[12] Mulya Amri, Golkar Institute

[13] Barkan (2012) menyatakan:

Dalam masyarakat agraris dan khususnya di Afrika, penggunaan PR mengandung risiko berkembangnya apa yang disebut Goran Hyden “negara terputus” (suspended state) - suatu negara yang terputus dari rakyat dan akhirnya kehilangan otoritas dan kemampuan untuk memerintah.

[14] Machiavelli (2008) menyatakan:

Adalah hal yang sulit untuk memenuhi kehendak para bangsawan dengan cara yang adil tanpa merugikan yang lainnya, sementara itu untuk memenuhi kehendak masyarakat luas lebih mudah dengan cara ini. Hal dikarenakan tujuan rakyat lebih jujur daripada tujuan bangsawan. Para bangsawan bermaksud menindas, sedangkan rakyat bertujuan untuk menghindari penindasan tersebut. Harus diingat bahwa sang pangeran tidak akan dapat mempertahankan posisinya melawan kehendak rakyat karena jumlah mereka yang sangat banyak. Namun sang pangeran dapat melawan permusuhan dari para bangsawan karena jumlah mereka yang lebih sedikit.

[15] Kompas.com, “Melalui Digitalisasi, Golkar Buktikan Kiprahnya sebagai Partai Modern” (https://nasional.kompas.com/read/2022/11/02/14034801/melalui-digitalisasi-golkar-buktikan-kiprahnya-sebagai-partai-modern), diakses pada 3 Desember 2022.

[16] Republika.co.id, “Golkar Dianggap Bertransformasi Jadi Partai Anak Muda” (https://www.republika.co.id/berita/qquwao484/golkar-dianggap-bertransformasi-jadi-partai-anak-muda), diakses pada 3 Desember 2022.

[17] Annur, C. M., “CSIS. Golkar Jadi Partai Politik Terpopuler di Kalangan Anak Muda” (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/27/csis-golkar-jadi-partai-politik-terpopuler-di-kalangan-anak-muda), diakses pada 3 Desember 2022.

[18] Reeve, D. (2013). Golkar: Sejarah yang Hilang: Akar dan Dinamika. (1st ed.) Komunitas Bambu.

Blogger.

Post a Comment