Bonus
demografi Indonesia hari ini menuntut partai politik berubah agar tetap relevan
dengan zaman dan konstituennya. Transformasi partai tak hanya penting bagi partai
itu sendiri, melainkan juga penting bagi bangsa dan negara sebab partai
berfungsi menjembatani antara rakyat dan negara. Partai juga berperan
meregenerasi kepemimpinan bangsa. Bila partai lemah maka akan berdampak buruk
bagi keberlangsungan Indonesia.
Bagaimana
partai harus bertransformasi? Jawabannya tergantung pada generasi muda
Indonesia hari ini.
Data
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementrian
Dalam Negeri[1]
menyebut bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 275,36 juta jiwa per
Juni 2022. Sebanyak 190,83 juta atau 69,3 persen dari total penduduk merupakan
warga berusia produktif, yakni antara 15-64 tahun. Sisanya sebesar 84,53 juta
jiwa atau 30,7 persen penduduk masuk ke dalam kategori usia tidak produktif.
Bila
69,3 persen kelompok usia produktif itu diperinci menggunakan data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2022[2], maka terlihat bahwa kaum
millenial dan Gen Z merupakan kelompok dominan. BPS menyebut bahwa jumlah
penduduk berusia 20-24 tahun telah mencapai 22.520.014 jiwa, lalu usia 25-29
tahun mencapai 22.436.965 jiwa, dan usia 30-40 tahun mencapai 22.036.720 jiwa.
Merujuk
pada data statistik di atas, maka sudah jelas bahwa generasi muda adalah
kelompok mayoritas. Mereka adalah 60 persen pemilik hak suara di pemilu nanti[3]. Mereka pula yang
mayoritas menjalankan roda perekomonian nasional hari ini, baik di tingkat
teknis hingga manajerial. Sebab itu, transformasi partai harus mengacu pada
generasi muda.
Celakanya,
generasi muda cenderung apatis terhadap politik hari ini[4]. Survei Indikator Politik
menyebut millenial menganggap partai politik dan politisi tidak terlalu baik
dalam mewakili aspirasi rakyat. Politik dianggap kaku, urusan orang tua, dan
membosankan. Alvara Research Center[5] menyebut hanya 22 persen
millenial yang menyukai berita politik. Sementara sisanya lebih suka berita lifestyle,
musik, teknologi dan film.
Minoritas
pemuda yang suka politik, biasanya mantan aktivis mahasiswa, seringkali juga
ragu atau menolak bergabung partai politik. Alasan paling umum adalah “menjaga
idealisme.” Tak sedikit mereka yang kemudian menyalurkan aktivismenya ke
lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat (Ormas) yang
dinilai lebih kritis dan sungguh-sungguh mendampingi masyarakat. Lalu
selebihnya kembali menjadi orang biasa, hanyut dalam rutinitas sehari-hari.
Persepsi
negatif millenial terhadap politik praksis besar kemungkinan terbentuk dari
berita media sosial. Seringkali, berita hanya menyuguhkan dunia politik yang
kotor, intrik, kepentingan sesaat serta politisi yang merugikan rakyat.
Padahal, ada banyak kemajuan hidup yang dihasilkan oleh proses politik.
Contohnya adalah kemerdekaan bangsa Indonesia, lalu perubahan orde kekuasaan
tahun 1996 dan Reformasi. Semua proses politik itu justru digerakkan pemuda.
Millenial
mungkin tak sadar bahwa berbagai aspek kehidupan yang mereka rasakan
sehari-hari itu diputuskan melalui proses politik, seperti pendidikan
terjangkau, fasilitas kesehatan, hingga lapangan pekerjaan. Buah politik
tersebut tentu telah mereka rasakan. Berpolitik sejatinya memastikan
pengambilan kebijakan publik dilakukan dengan benar. Melalui politik, kehidupan
bisa diperbaiki. Tanpa politik, seribu gagasan baik menguap tak berarti.
Bonus
demografi Indonesia akan menjadi bencana bila minat politik millenial terus
rendah. Kondisi ini dapat memicu “resesi demokrasi” hingga krisis kepemimpinan
nasional. Indonesia berisiko menjadi negara yang tidak efektif. Hal ini tentu
menjadi tantangan partai politik pada pemilu 2024 nanti.
Menarik
minat politik kalangan muda menjadi keharusan transformasi partai hari ini.
Caranya adalah memodernisasi partai agar relevan bagi pemuda yang kebanyakan
adalah kaum urban.
Modernisasi dan Regenerasi Partai Politik
Millenial
dan Gen Z adalah wajah pemuda Indonesia hari ini. Mereka adalah generasi yang
lahir pada era teknologi maju. Tak heran bila aktivitas keseharian mereka tak
lepas dari gadget dan media sosial. Tak sedikit juga mereka yang bekerja di
sektor digital.
Selain
akrab dengan teknologi internet, millenial dan Gen Z adalah produk pendidikan
modern. Mereka dipersiapkan untuk menjadi masyarakat urban atau industri.
Mereka dilatih rasional serta wawasan global. Tak heran bila mereka lebih
terbuka dan toleran. Mereka dipersiapkan untuk sistem demokrasi dan ekonomi
modern. Sebab itu, partai yang relevan bagi mereka adalah partai modern.
Lantas, seperti apa partai modern itu?
Partai
modern mengamalkan tujuan politik modern, yakni politik berasaskan semangat
kemanusiaan. Sejak era Yunani Klasik, Revolusi Prancis, hingga Kemerdekaan
Indonesia, politik modern digunakan untuk membebaskan manusia dari belenggu
kesengsaraan melalui sistem demokrasi. Sebab itu, partai modern sudah
seharusnya mengusung misi kemanusiaan, bertujuan untuk menyejahterakan rakyat
secara demokratis.
Partai
modern dicirikan dengan kemampuan mengelola kekuasaan secara rasional sebab
rasionalitas merupakan ciri organisasi modern. Partai modern harus menghindari
praktik-praktik politik irasional seperti feodalisme, politik uang dan politik SARA.
Politik yang rasional didasarkan pada karya nyata dan meritokrasi. Karya
seorang politisi adalah gagasan-gagasan besar untuk perubahan yang ia wujudkan
dalam kebijakan publik.
Karya
menciptakan reputasi. Menurut Robert Greene, reputasi adalah landasan kekuasaan
sehingga harus dijaga mati-matian.[6] Semakin besar karya
seseorang diakui publik maka semakin kuat legitimasi kekuasaan yang dimiliki.
Perebutan
kekuasaan yang rasional diselenggarakan melalui adu karya dan gagasan. Begitu
pula saat memberi kritik harus menggunakan gagasan yang tulus diniatkan untuk
memperbaiki bangsa, bukan ujaran kebencian. Kritik tidak boleh menjadi
kamuflase niat jahat bertujuan memperkeruh kehidupan bangsa demi merebut
kekuasaan.
Hatta
pernah mengingatkan bahwa kegagalan demokrasi Barat diakibatkan oleh aksi
kritik yang hanya diniatkan sebagai politik perlawanan (obstruksi), semata
menolak segala perbuatan orang lain meski pengkritik tahu kebijakan itu bagus.
Parahnya lagi bila pengkritik ternyata tak sanggup menjalankan program
politiknya sendiri dengan lebih baik[7]. Itu adalah kritik tak
bertanggungjawab.
Dalam
politik modern, kritik dan kebebasan bicara hendaknya menjadi bagian dari
mekanisme pembentukan opini publik, bukan bersifat memecah belah bangsa.
Keberadaan pro dan kontra menjadi bagian dialektika gagasan yang muaranya
menuju harmoni lebih baik. Sebab itu, demokrasi yang baik adalah demokrasi
mufakat. Bukan demokrasi anarki.
Partai
modern hendaknya memiliki budaya organisasi modern layaknya perusahaan maju dan
inovatif. Kerja politik dalam partai modern lekat dengan aktifitas intelektual
dan budaya ilmiah seperti diskusi, survey, melakukan analisa data dan riset
sosial, serta menulis. Budaya ilmiah dilakukan untuk memproduksi kebijakan
publik yang tepat dan inovatif. Dalam hal ini, partai modern memiliki
keunggulan dibanding lembaga akademik atau riset, yakni fungsi praksis. Hasil
kajian ilmiah dapat direalisasikan secara kongkrit melalui politik. Kajian
ilmiah tidak berakhir hanya menjadi tumpukan buku tak terbaca.
Budaya
ilmiah dapat menepis persepsi bahwa partai hanya membicarakan keuntungan
pribadi dan kepentingan sesaat. Partai modern harus dikenal sebagai tempat
berkumpulnya para profesional, pakar, pemikir, akdemisi yang peduli pada nasib
bangsa dan rakyatnya.
Budaya
ilmiah mengubah partai jadi profesional, memperjuangkan nasib rakyat dengan
ilmu pengetahuan. Hal ini dapat menarik minat millenial maupun Gen Z yang
dikenal memiliki rasa ingin tahu tinggi. Mantan aktifis yang sebelumnya ragu
berkarir di politik pun jadi yakin memilih partai sebagai jalan perjuangannya.
Dengan demikian, partai modern dapat meraih ekspektasi idealisme pemuda.
Partai
modern harus menyelenggarakan kaderisasi. Kaderisasi partai hendaknya mampu
mengefektifkan latar belakang akademik seseorang dengan kemampuan seni
persuasi, retorika, kepemimpinan, menulis, maupun menjadi influencer kebijakan
publik di media sosial. Dengan demikian, partai pun dapat berfungsi seperti
asrama pemuda[8]
yang melahirkan tokoh-tokoh pemuda pergerakan atau Agora di zaman Yunani kuno
yang mencetak para filsuf dan ilmuwan.[9]
Kaderisasi
membuat partai dikenal pemuda sebagai rumah pembenihan orator hebat, pemimpin
yang cakap, perumus kebijakan yang handal, diplomat ulung maupun kritikus yang
diperhitungkan. Kaderisasi menepis persepsi bahwa kegiatan partai hanya
berkutat pada kampanye pemenangan pemilu saja.
Selain
mengkader, partai modern hendaknya memberi kesempatan dan kepercayaan kepada
pemuda untuk memimpin, entah itu di organisasi kepartaian maupun posisi
strategis di pemerintahan dan parlemen. Kesempatan itu harus diberikan secara
inklusif, setara, dan terbuka bagi siapapun pemuda berbakat tanpa memandang
suku, agama, dan status ekonomi. Ini adalah bentuk regenerasi kepemimpinan
bangsa.
Berbasis Keprofesian, Bersifat Urban
Lebih
dari separuh penduduk Indonesia, sekitar 56 persen, kini telah tinggal di
perkotaan. Jumlah ini meningkat dari tahun 1990 yang masih 30 persen.
Diperkirakan pada 2045 nanti, 70 persen penduduk Indonesia akan tinggal di
perkotaan. Tren ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi negara agraris atau
rural, melainkan menjadi negara industri maju seperti Swiss dan Italia.[10]
Urbanisasi
tak terelakkan. Nyatanya tak ada negara yang mencapai kesejahteraan tanpa
proses urbanisasi. Masyarakat datang ke kota untuk mencari penghasilan tinggi
dan kehidupan layak. Desa tak mampu menampung beban demografi sehingga
menciptakan shared poverty[11].
Di kota justru sebaliknya. Semakin banyak penduduk tinggal di kota maka
semakin meningkat kesejahteraan penduduknya. Tiap 1 persen penduduk urban
bertambah maka akan meningkatkan 1,4 persen pendapatan negara.[12]
Millenial
dan Gen Z tentu menjadi kelompok dominan dalam masyarakat urban. Mereka
merantau ke kota untuk sekolah dan bekerja. Mereka memiliki karakter yang
berbeda dengan masyarakat agraris di kampung halamannya.
Kaum
urban umumnya lebih terikat pada jenis pekerjaannya dibanding dengan tempat
tinggalnya. Identitas kaum urban dibedakan melalui jenis pekerjaannya, bukan
suku atau agamanya. Hal ini disebabkan oleh tingkat spesialisasi kerja di kota
lebih kompleks. Pola pikir kaum urban cenderung lebih liberal, kurang terikat
oleh kekakuan ideologi, maupun suku daerah. Kaum urban lebih tertarik pada
topik ekonomi.
Partai
yang relevan untuk karakter masyarakat urban adalah partai modern berbasis
keprofesian sebab ia konsen kepada golongan karya yang merupakan kunci
penggerak ekonomi nasional. Partai semacam ini sangat relevan bagi anak muda
yang sedang berjuang mencari pekerjaan.
Partai
yang berbasis kelompok aliran sudah tidak relevan di daerah urban yang plural.
Politik aliran mungkin masih efektif di daerah masyarakat agraris. Namun,
partai tersebut akan sulit berkembang sebab meningkatnya tren urbanisasi.
Partai
berbasis profesi harus mampu menjadi rumah bersama semua kalangan profesi,
entah atasan atau bawahan. Ia harus mampu berfungsi seperti balairung,
menyelesaikan persoalan ekonomi dengan musyawarah mufakat dan membawa aspirasi
mereka ke parlemen dan pemerintahan. Hubungan partai dengan golongan profesi
harus dijalin secara berkelanjutan supaya mencegah terjadinya negara terputus (suspended
state)[13].
Bila mengacu pada nasihat Machiavelli, ikatan kuat dengan konstituen akan
membuat partai tak terkalahkan oleh lawan politiknya[14].
Meningkatnya
tren urbanisasi menuntut partai untuk memiliki gagasan pembangunan kota yang
berhasil serta atraktif secara ekonomi dan sosial. Kota dapat dikatakan
berhasil bila mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan usaha yang ada di
dalamnya, bersifat terbuka atau inklusif, serta lestari.
Kota
harus mampu menarik perusahaan inovatif untuk berinvestasi dan membuka usaha di
dalamnya. Kota tersebut juga harus membuka kesempatan luas dan mempermudah
warganya untuk berwirausaha. Pada saat bersamaan, pemerintah kota harus
meningkatkan kapasitas perusahan lokal sehingga dapat bekerjasama dan bersaing
dengan perusahaan pendatang yang maju.
Kota
yang atraktif secara ekonomi akan menarik dan menjadi tujuan urbanisasi pekerja
berkapasitas dan berpendidikan tinggi. Kota harus terbuka terhadap pendatang
yang inovatif tersebut. Pada saat bersamaan, kota juga harus memberi pelatihan
bagi warga lokalnya supaya naik kelas dan tidak terpinggirkan oleh
pekerja-pekerja urban.
Supaya
pekerja dan perusahaan inovatif betah tinggal di kota, maka kota harus lestari
dan terjangkau biaya hidupnya. Sarana dan prasarana harus didesain ramah
lingkungan. Bangunan kota harus lebih terpadu guna meminimalisir kemacetan dan
polusi udara. Kota juga harus memiliki fasilitas publik, taman-taman yang indah,
tempat berinteraksi dan suasana yang aman dan menyenangkan.
Golkar, Partai yang Modern
Partai
Golkar adalah salah satu partai politik yang telah bertransformasi menjadi
modern. Hal ini ditunjukkan dengan adopsi teknologi digital seperti aplikasi
eKTA yang membuat rekrutmen kader lebih mudah dan inklusif. Selain eKTA ada
Golkar Institute, sebuah platform pendidikan politik untuk kader. Golkar
Institute menjadi salah satu sekolah pemerintahan dan kebijakan publik pertama
di Indonesia yang didirikan partai untuk masyarakat umum.[15]
Golkar
Institute membuat pendidikan politik lebih dekat dengan millenial dan Gen Z
melalui gadget mereka. Materi politik dari tokoh nasional papan atas mudah
diakses dalam satu genggaman.
Golkar
juga memiliki komitmen politik yang riil terhadap regenerasi pemuda. Buktinya,
Golkar telah memfasilitasi ruang-ruang politik bagi anak muda[16], baik di tingkat
eksekutif maupun parlemen di tingkat daerah hingga nasional. Tak heran bila
Golkar menjadi partai terpopuler di kalangan anak muda. Survei Centre of
Strategic and International Studies (CSIS) menyebut Golkar dikenal oleh 94
persen responden berusia 17-39 tahun[17].
Sejak
awal didirikan, menurut saya Golkar telah dipersiapkan untuk Indonesia yang
maju dan modern. Mengapa? sebab Golkar dimaksudkan untuk mewadahi golongan
karya, fokus pada pembangunan dan implementasi demokrasi mufakat.
Sekitar
tahun 1957[18],
Presiden Soekarno membentuk Golkar sebagai wadah golongan fungsional non
politik. Hal ini dilakukan guna mengimbangi pertikaian antar partai berbasis
aliran yang membuat politik tidak stabil sehingga menghambat pembangunan
Indonesia. Stabilitas politik baru bisa tercapai di era Presiden Soeharto.
Riuhnya perang siber menuju pemilu 2024 di media sosial mengingatkan saya pada era demokrasi liberal era Soekarno. Sebagai millenial saya berharap, semoga hasil hajatan akbar demokrasi nanti dapat lebih memperkuat ekonomi Indonesia berkat kepemimpinan partai modern seperti partai Golkar.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
B. (1946). Revolusi Pemuda (1st ed.) Sinar Harapan.
Annur,
C. M., “CSIS. Golkar Jadi Partai Politik Terpopuler di Kalangan Anak Muda” (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/27/csis-golkar-jadi-partai-politik-terpopuler-di-kalangan-anak-muda),
diakses pada 3 Desember 2022.
Badan
Pusat Statistik, “Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Golongan
Umur 2021-2022” (https://www.bps.go.id/indicator/6/715/1/jumlah-penduduk-usia-15-tahun-ke-atas-menurut-golongan-umur.html),
diakses pada 29 November 2022.
Barkan,
J. D., (1996). Pemilu di Masyarakat Agraris. Teori-Teori Mutakhir Partai
Politik. (2nd ed.) Tiara Wacana.
Editorial
Media Indonesia, “Yang Muda, Yang Memilah” (https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2722-yang-muda-yang-memilah),
diakses pada 1 Desember 2022.
Fauzi,
A., “Survei Alvara: Milenial Cuek Terhadap Politik” (https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/192157/survei-alvara-milenial-cuek-terhadap-politik),
diakses pada 28 November 2022.
Greene,
R. (2007). 48 Hukum Kekuasaan (The 48 Laws of Power). (1st
ed.) Karisma Publishing Group.
Hatta,
M. (2015). Mohammad Hatta, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). (1st
ed.) PT Kompas Media Nusantara.
Kompas.com,
“Melalui Digitalisasi, Golkar Buktikan Kiprahnya sebagai Partai Modern” (https://nasional.kompas.com/read/2022/11/02/14034801/melalui-digitalisasi-golkar-buktikan-kiprahnya-sebagai-partai-modern),
diakses pada 3 Desember 2022.
Kusnandar,
V. B., “Era Bonus Demografi, 69% Penduduk Indonesia Masuk Kategori Usia
Produktif pada Juni 2022”(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/30/era-bonus-demografi-69-penduduk-indonesia-masuk-kategori-usia-produktif-pada-juni-2022),
diakses pada 29 November 2022.
Machiavelli,
N. (2008). Il Principle (Sang Pangeran) (2nd ed.) Penerbit
Narasi.
Mallarangeng,
R. (2022). Peran Politik dan Partai Politik di Indonesia. Golkar
Institute.
Amri,
M. (2022). Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Golkar Institute.
Reeve,
D. (2013). Golkar: Sejarah yang Hilang: Akar dan Dinamika. (1st
ed.) Komunitas Bambu.
Republika.co.id,
“Golkar Dianggap Bertransformasi Jadi Partai Anak Muda” (https://www.republika.co.id/berita/qquwao484/golkar-dianggap-bertransformasi-jadi-partai-anak-muda),
diakses pada 3 Desember 2022.
Syadzily,
A. H. (2022). Pandangan Terhadap Politik dan Tipologi Politik. Golkar
Institute.
Soedjatmoko. (2010). Menjadi Bangsa Terdidik (1st ed.) PT Kompas Media Nusantara.
[1]
Kusnandar, V. B., “Era Bonus Demografi, 69% Penduduk Indonesia Masuk
Kategori Usia Produktif pada Juni 2022”(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/30/era-bonus-demografi-69-penduduk-indonesia-masuk-kategori-usia-produktif-pada-juni-2022),
diakses pada 29 November 2022.
[2]
Badan Pusat Statistik, “Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut
Golongan Umur 2021-2022” (https://www.bps.go.id/indicator/6/715/1/jumlah-penduduk-usia-15-tahun-ke-atas-menurut-golongan-umur.html),
diakses pada 29 November 2022.
[3] Editorial
Media Indonesia, “Yang Muda, Yang Memilah” (https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2722-yang-muda-yang-memilah),
diakses pada 1 Desember 2022.
[4] Editorial
Media Indonesia, “Yang Muda, Yang Memilah” (https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2722-yang-muda-yang-memilah),
diakses pada 1 Desember 2022.
[5] Fauzi,
A., “Survei Alvara: Milenial Cuek Terhadap Politik” (https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/192157/survei-alvara-milenial-cuek-terhadap-politik),
diakses pada 28 November 2022.
[6] Greene
(2007) mengatakan:
Reputasi
adalah landasan kekuasaan. Melalui reputasi belaka anda bisa mengintimidasi dan
menang. Namun demikian, sekali reputasi itu hilang, anda menjadi rapuh dan
pasti diserang dari segala sisi. Ciptakanlah reputasi yang tidak bisa diserang.
Senantiasalah bersikap waspada pada setiap potensi serangan dan gagalkan mereka
saat mereka muncul.
[7] Hatta
(2015) mengatakan:
Bangkrutnya
demokrasi Barat pada waktu sekarang ialah karena kaum oposisi hanya tahu
mengkritik saja dan tidak sanggup menjalankan politik sendiri. Adakalanya
karena oposisi tidak mempunyai kesanggupan dan adakalanya pula karena sebagian
dari oposisi itu tidak lain maksudnya dengan mengadakan politik perlawanan
(obstruksi), menolak segala perbuatan orang, sekalipun perbuatan itu ada cocok
dengan kehendaknya sendiri.
[8] Anderson, B. (1946). Revolusi Pemuda (1st
ed.). Sinar Harapan.
[9] Rizal Malaranggeng, Golkar Institute.
[10] Mulya Amri, Golkar Institute.
[11] Soedjatmoko
(2010) mengatakan:
Desa
semata-mata menjadi penghasil pangan dan tanaman perdagangan yang sangat peka
itu terhadap pasang surutnya konjunktur ekonomi negara-negara industri. Maka
mulailah apa yang dinamakan agricultural involution, di mana bidang
pertanian di Jawa berusaha untuk memperkerjakan makin banyak orang, tanpa mampu
meningkatkan produktivitas atau produksinya, dan di mana kemelaratan dibagi
rata (shared poverty).
[12] Mulya Amri, Golkar Institute
[13] Barkan (2012) menyatakan:
Dalam masyarakat agraris dan khususnya di Afrika,
penggunaan PR mengandung risiko berkembangnya apa yang disebut Goran Hyden
“negara terputus” (suspended state) - suatu negara yang terputus dari
rakyat dan akhirnya kehilangan otoritas dan kemampuan untuk memerintah.
[14] Machiavelli
(2008) menyatakan:
Adalah hal
yang sulit untuk memenuhi kehendak para bangsawan dengan cara yang adil tanpa
merugikan yang lainnya, sementara itu untuk memenuhi kehendak masyarakat luas
lebih mudah dengan cara ini. Hal dikarenakan tujuan rakyat lebih jujur daripada
tujuan bangsawan. Para bangsawan bermaksud menindas, sedangkan rakyat bertujuan
untuk menghindari penindasan tersebut. Harus diingat bahwa sang pangeran tidak
akan dapat mempertahankan posisinya melawan kehendak rakyat karena jumlah
mereka yang sangat banyak. Namun sang pangeran dapat melawan permusuhan dari
para bangsawan karena jumlah mereka yang lebih sedikit.
[15] Kompas.com,
“Melalui Digitalisasi, Golkar Buktikan Kiprahnya sebagai Partai Modern” (https://nasional.kompas.com/read/2022/11/02/14034801/melalui-digitalisasi-golkar-buktikan-kiprahnya-sebagai-partai-modern),
diakses pada 3 Desember 2022.
[16] Republika.co.id,
“Golkar Dianggap Bertransformasi Jadi Partai Anak Muda” (https://www.republika.co.id/berita/qquwao484/golkar-dianggap-bertransformasi-jadi-partai-anak-muda),
diakses pada 3 Desember 2022.
[17] Annur,
C. M., “CSIS. Golkar Jadi Partai Politik Terpopuler di Kalangan Anak Muda” (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/27/csis-golkar-jadi-partai-politik-terpopuler-di-kalangan-anak-muda),
diakses pada 3 Desember 2022.
[18] Reeve, D. (2013). Golkar: Sejarah yang Hilang: Akar dan
Dinamika. (1st ed.) Komunitas Bambu.