Kisah meremahnya gaji guru honorer memang sudah cukup
lama saya dengar. Beberapa kali demonstrasi digelar oleh para guru honorer.
Mereka menuntut kesejahteraan. Beberapa media yang saya baca memberitakan gaji
guru honorer hanya berkisar 300 ribu saja. Namun, apa yang terjadi pada kakak
sepupu saya ini sangat memprihatinkan.
Kala itu, saya sedang bercerita pada kakak sepupu saya
bagaimana teman kuliah saya yang kini mengajar di sekolah hanya mendapatkan
gaji Rp. 135,000 per-bulan. “Udah tidak kaget lagi (soal gaji segitu), saya
sendiri pun pernah digaji Rp. 60,000 per-bulan.” Jawab kakak sepupu saya. Saya
terkaget dan terdiam sejenak. Ya ampun, nominal itu barangkali hanya cukup buat
jajan mahasiswa selama dua hari!
Cerita kakak sepupu saya itu membuat saya lemas.
Mengingat nasib guru honorer membuat saya kehilangan gairah meneruskan
pendidikan sarjana keguruan yang sedang ditempuh. Di hadapan masa depan suram
yang membentang, saya bertanya pada diri sendiri, siapkah mempertaruhkan nasib
menjadi guru?
Jika kelak nasib saya terlunta-lunta, apakah
kesengsaraan saya itu memiliki arti? Bagaimana jika itu ternyata hanya
kekonyolan saja. Sebuah kebodohan sebab saya tak memilih jalan hidup yang lebih
menjanjikan secara finansial? Idealisme saya diuji oleh pertanyaan yang
berkelebat di kepala.
Kegelisahan mengantarkan pikiran saya pada kisah
sekolah-sekolah rakyat pada saat penjajahan. Bagaimana nasib guru kala itu?
Jika dipikir-pikir, munculnya pendidikan ‘asli’
Indonesia bermula dari sekolah ‘liar’ era pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sekolah liar alias swasta ini diupayakan sendiri oleh tokoh bangsa kita sebagai
upaya memajukan rakyatnya. Jika membaca literature sejarah, ada tiga sekolah
‘liar’ yang cukup berpengaruh kala itu yakni sekolah Sarekat Islam (SI) Semarang
Tan Malaka, Taman Siswa, serta sekolah Muhammadiyah.
Menyandang status ‘sekolah liar’ tentu tak mudah.
Jangankan mendapat sokongan pendanaan, sekolah-sekolah pribumi itu bahkan juga
dilarang pemerintah hingga sampai ditolak warga sebab dituduh sesat. Coba
bayangkan, bagaimana kesejahteraan guru yang mengajar di sekolah “liar”
tersebut? Tentu tak ada kestabilan finansial disana. Namun nyatanya,
sekolah-sekolah tersebut mampu berjalan dan berkembang pesat bagai cendawan di
musim hujan. Bahkan, ada pula yang masih eksis menjadi instansi besar yakni
Muhammadiyah. Fakta ini cukup menarik.
Lantas, apa rahasia sekolah-sekolah itu mampu besar
dan berkembang? Jawabannya tak lain adalah sebab kualitas sekolah yang
ditawarkan. Masing-masing dari sekolah tersebut mampu menyediakan kebutuhan
rakyat ketika itu, yakni pendidikan modern yang bebas kepentingan kolonial.
Ketiga sekolah tersebut mampu mengatasi kelemahan pendidikan pesantren yang
saat itu dipandang ketinggalan zaman.
Coba lihat sekolah Muhammdiyah. K. H. Ahmad Dahlan
sangat brilian mencetuskan ide dan konsep sekolahnya yakni dengan memadukan
agama Islam dan pengetahuan modern. Sekolahnya mampu menjawab kelemahan
pendidikan kolonial saat itu yang kering dari nilai-nilai religiusitas. Di satu
sisi, sekolah Muhammadiyah mengajak orang muslim untuk beragama secara
rasional. Corak khas pendidikan Muhammadiyah ini pun berhasil membuatnya tak
pernah sepi dari peminat. Kini kita bisa lihat sendiri, bagaimana majunya
instansi pendidikan Muhammadiyah di negeri Indonesia.
Lain halnya dengan sekolah rakyat Tan Malaka. Sekolah
kaum kromo ini juga memiliki corak khas tersendiri yang menjadi daya tarik.
Secara garis besar, Tan Malaka hendak membuat sekolah yang memadukan
pengetahuan modern dengan semangat berpihak pada nasib rakyat. Kita bisa
membacanya dalam brosur “SI Semarang dan Onderwijs.” SI School mencoba menanamkan “rasa merdeka” kepada anak-anak.
Harapannya, kelak saat murid-murid telah maju, ia tak bermental kolonial,
membenci bangsanya sendiri, seperti lulusan sekolah Hindia Belanda.
Tan Malaka menilai bahwa daya tarik sekolahnya adalah
hawa (geest) sekolahya sesuai dengan
watak dan pergaulan anak-anak timur. SI school segera punya cabang
dimana-dimana pasca dibuka. Jika saja Belanda tak melarangnya, mungkin sekolah
rakyat ini masih eksis.
Sekolah Taman Siswa juga memiliki ciri khas
tersendiri. Ki Hadjar Dewantara
mendirikan Taman Siswa guna memberikan kesempatan dan hak pendidikan yang
setara bagi para pribumi jelata Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan kolonial
Hindia Belanda hanya berpihak pada para priyayi dan orang-orang Belanda.
Corak khas pendidikan Taman Siswa adalah memadukan
antara prespektif Barat dengan budaya nasional. Ki Hadjar Dewantara berupaya
menanamkan rasa cinta pada bangsanya pada hati para murid. Konsep pendidikan
Taman Siswa dinilai sangat sesuai dengan jiwa bangsa timur. Segera saja, Taman
Siswa mendapat dukungan oleh kalangan rakyat. Hingga kini, Taman Siswa masih
eksis.
Kualitas dan Kesejahteraan
Apa kaitannya kisah sekolah “liar”
itu bagi nasib guru honorer? Kaitannya adalah bagaimana cara menciptakan
kesejahteraan guru honorer. Tak ada yang secara pasti mendatangkan
kesejahteraan selain kualitas. Itulah hikmah yang diberikan dalam kisah
sekolah-sekolah ‘liar’ tadi.
Jika kita telisik, kesejahteraan
hidup atau rezeki itu sifatnya sama dengan uang. Semakin ia dikejar semakin
menjauh, layaknya kita mengejar seekor ayam. Maka, cara terbaik untuk
mendapatkan ayam adalah dengan tidak mengejarnya, namun dengan memberinya
umpan. Gerombolan ayam pun akan mendekat jika kita memberinya makanan. Hal sama
juga berlaku pada soal kesejahteraan guru. Umpannya adalah keunggulan konsep
pendidikan yang ditawarkan.
Mau tak mau, sekolah adalah penentu
paling besar kesejahteraan guru honorer saat ini. Hal ini disebabkan
pengangkatan guru honorer dilakukan oleh kepala sekolah, bukan pihak
pemerintah. Akhirnya, guru honorer sering menuntut pemerintah untuk diangkat
sebagai PNS. Sayangnya, aspirasi guru honorer tak terealisir dengan mudah.
Pemerintah merespon aspirasi guru
honorer tersebut melalui narasi kualitas. Proses seleksi CPNS yang berbasis
teknologi dan tes kemampuan tak lagi memandang soal “siapa yang telah lama
mengabdi”. Belum lagi lulusan baru mahasiswa keguruan setiap tahunnya meminta
lapangan pekerjaan baru. Situasi ini semakin mempersulit titik temu.
Hal ini berbeda jika kita tidak
terpaku dalam mindset PNS sebagai
kunci kesejahteraan satu-satunya. Memperbaiki kualitas pendidikan di sekolah
bisa menjadi jalan.
Saya akan mengambil contoh teman saya
lainnya yang telah menjadi guru di sekolah dasar Islam terpadu. Ia memiliki
gaji yang lumayan cukup untuk dikatakan sejahtera. Mengapa? Sebab sekolahnya
mampu memperoleh banyak murid. Bahkan, latar belakang rata-rata wali muridnya
berasal dari golongan menengah keatas. Otomatis, sumbangan pendidikan yang
diberikan kepada sekolah pun besar. Kesejahteraan gurunya pun terangkat.
Jika pemerintah tak mampu menolong
guru honorer melalui PNS, setidaknya bisa berkontribusi untuk menciptakan
sekolah yang berkualitas. Hal itu bisa dilakukan baik melalui dana, kebijakan
pemerataan murid maupun pelatihan. Memang sudah saatnya sekolah negeri berdaya
saing sebab ia adalah amanah kemerdekaan Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa.