Table of Content

1# Siniar Buku (Mengapa Otak Kita Menjadi Penghasut Handal) #React to Buku “Atomic Habits”

Kerapkah kamu begitu menginginkan sesuatu, entah itu ponsel baru, rencana liburan, namun usai mendapatkannya rasanya menjadi biasa-biasa saja? Gairah membara itu lenyap seketika.

Jika kamu adalah anak muda, pasti pernah merasakan betapa serunya mengejar cewek incaranmu. Kamu pasti pernah merasa sangat menggebu-gebu merebut hati cewek incaranmu. Kamu tertantang untuk mendekatinya, memikirkannya setiap saat, berkhayal tentang betapa bahagianya kelak bila kalian sudah jadian. Kita tidak bisa berpikir jernih, rasional. Sebab itu, muncullah istilah “Cinta itu Buta”.

Tapi usai berhasil mendapatkannya, setelah cewek incaranmu itu jadi pasangan atau pacarmu, kamu tak merasa sesenang atau sebergairah seperti saat mengejarnya. Rasanya menjadi biasa-biasa saja. Cewek incaranmu tak lagi special lagi di matamu. Kamu menjadi bosan. Bahkan, cinta pun bisa hilang, diganti rasa benci. Dan kamu justru malah tertantang lagi untuk menaklukkan hati wanita lain. Lagi dan lagi. Mengapa bisa begini?

Mungkin kita bertanya-tanya, kemanakah rasa senang yang sebelumnya membanjiri hati kita? Setelah mendapatkan hal yang begitu kita inginkan, kita tak merasa sebergairah seperti saat sebelum mendapatkannya. Hal inilah yang kerap membuat kita merasa kecewa, merasa ditipu oleh ekspektasi kita sendiri.

Berkat perkembangan ilmu neurologi, yang mempelajari cara kerja otak manusia, fenomena ini bisa dijelaskan. Sebelumnya, kita hanya bisa mencari penjelasan dari petunjuk agama. Kita mengenal dorongan gairah itu sebagai “hawa nafsu” atau “Godaan Setan”. Dalam ilmu tentang cara kerja otak, perasaan-perasaan membara itu diakibatkan oleh zat bernama “Dopamine”.

Ya, dopamine boleh dikatakan sebagai pihak yang banyak bertanggungjawab atas perilaku manusia. Zat ini berperan sebagai motivator, pendorong, bahkan mungkin bisa menjadi “penghasut” diri kita untuk melakukan sesuatu. Terkadang, lonjakan dopamine ini bisa dirasakan dalam wujud khayalan-khayalan di kepala, suara-suara bualan yang mengkompori dan gigih menjelaskan keuntungan dan kenikmatan yang diperoleh, dan sejenisnya. Dorongan ini bisa menjadi hasutan yang diciptakan oleh diri kita sendiri, bila kita tak berhasil mengkontrolnya dengan berpikir logis.

Saya sendiri pun pernah merasakan demikian, waktu masih aktif mengikuti kompetisi menulis. Ketika melihat postingan informasi lomba menulis, otak saya langsung dipenuhi oleh rasa optimism yang tinggi. Isi kepala saya penuh dengan suara-suara yang meyakinkan bahwa saya pasti akan memenangi juara dari perlombaan tersebut. Bahkan, kepala saya sudah merencanakan secara detail, untuk apa nanti uang hadiah digunakan. Padahal, saya pun belum mengerjakan naskah tulisan kompetisi.

Khayalan di kepala saya begitu meyakinkan, hingga membuat saya tak bisa berpikir jernih. Lupa untuk fokus pada kualitas tulisan, tapi justru terbuai khayalan. Akibatnya ada dua, saya menjadi sering kalah atau tidak merasa biasa aja meski berhasil meraih juara. Saya justru malah lebih sering mencari update lomba terbaru dibanding mulai fokus mengerjakan satu karya.

Rasa senang, gairah saat mengejar sesuatu berkaitan erat dengan cara kerja zat dopamine dalam otak kita. Celakanya, dopamine tidak hanya dilepaskan saat kita mengalami kenikmatan, melainkan juga saat kita membayangkan atau mengetahui kenikmatan yang akan kita peroleh bila melakukan sesuatu, meski itu tidak pasti atau masih bersifat peluang saja. Hal ini dijelaskan dalam buku “Atomic Habits” karya James Clear halaman 120-124. Dari sinilah saya paham mengapa orang bisa mengalami kecanduan, atau tak bisa berhenti merusak diri, melakukan hal-hal bodoh meski ia sendiri tahu bahwa perbuatan itu bodoh.

Orang mengalami ketagihan berjudi tepat sebelum memasang taruhan, bukan setelah mereka menang. Begitupula kamu akan merasa sangat bergairah mendekati gebetan, sebelum ia menjadi pasanganmu. Kadar dopamine anda melonjak sebelum mendapatkan sesuatu, untuk meningkatkan motivasi untuk beraksi. Sebetulnya, kita hanya menyenangi khayalan di kepala, bukan sesuatu itu sendiri.

Celakanya, seringkali lonjakan dopamine dan motivasi ini membuat otak kita mabuk, buta, tak bisa berpikir jernih agar kita lekas bergerak melakukan sesuatu. Celakanya, bila sistem reward & punishment dalam otak kita sudah kacau, maka kita tak bisa mengkontrol diri untuk mengulangi kesalahan yang sama. Semakin terjerat dan terjebak, lalu mendapati diri bingung mengapa bisa berbuat konyol seperti ini.

Maka, tentu berbahaya bila sistem reward & punishment di kepala kita sudah kacau, karena membuat kita jadi orang bodoh. Kepala kita akan menjadi penghasut paling hebat untuk terus mendorong kita berbuat sesuatu yang merugikan kita sendiri, tanpa kita bisa menolaknya. Tanpa bisa berhenti. Kalau istilah agamanya, setan sudah merasuk ke dalam urat nadi tubuh kita, mengendalikan kita sepenuhnya. Apakah anda mau?

Jadi, agar otak kita tidak menjadi “musuh dalam selimut” alias menjadi “setan” yang menjerumuskan diri kita, maka perbaiki mindset soal reward & punishment dalam otak kita.

Blogger.

Post a Comment