Table of Content

Posts

Kritik Setandan Pisang

Modern tidak bisa diartikan sempit terbatas pada kemajuan teknologi dan bangunan fisik semata. Modern tentu haruslah juga menyangkut soal manusianya meliputi cara berfikir dan mentalitas. Pemahaman ini perlu menjadi perhatian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengusung visi sebagai lembaga perwakilan rakyat yang modern dan berwibawa. Pengembangan teknologi informasi guna menciptakan transparansi dan partisipasi publik tidak akan berjalan maksimal jika tidak disertai dengan manusia modern yang transparan dan demokratis. Gedung baru dan aplikasi canggih bukanlah jaminan hadirnya representasi rakyat. Proyek pembangunan fasilitas modern seringkali dikorupsi aparatus negara yang tak berjiwa modern.

Salah satu contoh tidak hadirnya jiwa modern adalah korupsi. Tindakan merampas kekayaan rakyat dan bangsa untuk kepentingan sendiri adalah moral purba yang belum hilang sejak masa kerajaan, kolonial, hingga terseleggaranya kehidupan bangsa yang diatur dengan sistem pemerintahan modern. Sebut saja feodalisme raja-raja nusantara yang sering merampas harta rakyat. Hal yang sama terjadi pada zaman kolonial. Multatulli melalui karyanya berjudul Max Havellar merekam bagaimana Bupati Lebak memeras penduduk melalui kerja rodi sedemikian keras guna menutup pengeluaran kebutuhan hidup rumah tangganya. Korupsi mewarisi mental purba tersebut dengan merugikan negara.

Moral purba lainnya adalah soal penyuapan. Kartini, perempuan modern zaman kolonial, merekam praktik penerimaan hadiah melalui surat-suratnya kepada Stella Zahendelaar sahabat penanya (Emansipasi ; Jalasutra Yogyakarta 2014). Bagi Kartini, perbuatan tersebut adalah kejahatan yang keterlaluan dan merusak. Namun ia meminta sahabatnya jangan terlalu menghukum keras perilaku pembesar bangsanya tersebut. Kartini memahami seluk beluk mengapa hal itu terjadi.

Kesulitan-kesulitan yang dialami bangsawan dalam mengemban tugas menyebabkan terjadinya praktik penyuapan. Dengan gajinya yang sangat sedikit, bangsawan Pribumi harus menghidupi keluarganya, menyewa rumah, memelihara bendi, sado, serta kuda tunggangan untuk melakukan turne di hutan-hutan. Jika terjadi kasus pencurian atau pembunuhan di suatu onderdistrik, seorang asisten wedono harus merogoh sakunya dalam-dalam untuk mengusut perkara dan mengejar pelaku kejahatan. Pembesar pribumi seringkali menggadaikan perhiasan istri atau anaknya guna mengusut perkaran. Pengeluaran untuk perkara semacam ini banyak menyebabkan bangsawan bangkrut dan menjadi pengemis.

Jumlah pengeluaran yang besar dengan gaji yang sangat “meremah” merupakan suatu keajaiban para bangsawan itu dapat hidup. Rakyat selalu datang di tengah kesulitan bangsawan membawakan persembahan yang oleh budaya dianggap sebagai bentuk takzim dan penghormatan. Bangsawan tersebut awalnya menolak satu dua kali setandan pisang yang datang dipersembahkan rakyat padanya. Namun pada ketiga dan keempat, ia mulai menerima dengan ragu-ragu terlebih saat melihat anak dan istrinya sendiri berpakaian robek-robek.

Berkaca pada kisah Kartini, praktik korupsi dan penyuapan yang dilakukan anggota DPR merupakan sebuah kemunduran yang lebih purba. Praktik penyuapan pembesar pribumi dapat dimaafkan mengingat beratnya pembiayaan yang ditanggung sendiri terlebih hanya setandan pisang yang diterima.

Negara modern mengatur pembiayaan negara dari pajak rakyat. Korupsi di tengah tersedianya fasilitas, pembiayaan aktifitas dinas, kunjungan kerja, gaji cukup sungguh memalukan. Jika dahulu bangsawan disuap setandan pisang oleh rakyatnya, maka sekarang anggota DPR disuap miliaran rupiah oleh konglomerat. Konsekuensinya jelas mereka akan mengabdi kepada siapa penyuapnya. Setandan pisang membuat bangsawan sadar bahwa ia adalah wakil rakyat bukan kaki tangan konglomerat. Pada akhirnya, modern haruslah soal rasa kerakyatan.

Blogger.

Post a Comment