Table of Content

Sastra dan Pencipta Sejarah

Ada pengalaman menarik bagi saya saat berbicara tentang sastra. Pada mulanya saya begitu tidak menyukai sastra. Saya melihat sastra adalah pekerjaan orang lemah, cengeng, “alay” dan tidak maskulin sama sekali. Saya tidak mengerti mengapa orang harus membuat puisi, novel, cerita pendek kecuali karena mereka tidak mampu mengubah keadaan atau ingin membuat rayuan. Saat itu, puisi dan novel terkorup oleh tema cinta khas anak muda. Presepsi ini begitu melekat dalam benak saya hingga mengenal banyak karya sastra.

Presepsi tersebut mulai runtuh ketika saya mengenal karya Pramoedya Ananta Toer saat memasuki semester 4. Bumi Manusia merupakan karya pertama Pram yang saya baca. Ada hal yang menggugah selera intelektual saya ketika melihat sebuah kutipan tertulis dibelakang sampul novel tersebut. Kutipan tersebut berbunyi “seorang terpelajar harus sejak adil dalam fikiran”. Sekilas saya heran karena hampir tidak pernah saya jumpai sebuah novel yang memuat kata bijak dan kritis sebelumnya. Rasa heran dan penasaran ini memaksa saya untuk membuka lembar demi lembar Novel Bumi Manusia.

Saya terkagum dengan cara Pram menulis sastra baik dalam gaya bahasanya dan caranya menggambarkan kehidupan. Ternyata karya novelnya bukanlah novel “cengeng” yang memuat kisah-kisah picisan. Belakangan saya ketahui, bahwa karya tersebut diadopsi dari kisah pelopor pergerakan Bangsa Indonesia Raden Mas Tirto Adhisoeweryo. Berkat karya novel tersebut bangsa kita bisa mengenal sosok Raden Mas Tirto Adhisoewiryo yang hampir hilang dalam ingatan bangsa kita. Novel Pram menyelamatkan sejarah penting bangsa kita.

Puas dengan karya Pram, saya mencoba mencari novel sejenis. Karya Novel Multatuli berjudul Max Havellar yang sering saya jumpai dalam Bumi Manusia menjadi novel berikutnya yang saya cari. Novel Max Havellar juga sering disebut oleh Kartini dalam beberapa suratnya. Saya tertarik mengapa Max Havellar memiliki pengaruh besar bagi Pram dan Kartini.

Tidak heran karya tersebut memicu kesadaran kritis beberapa tokoh kemerdekaan. Belakangan saya juga ketahui, berkat Max Havellar maka munculah kebijakan politik etis Kolonial Belanda yang berperan juga dalam menyemai kesadaran dan pergerakan nasional. Penilaian saya tentang sastra selama ini ternyata tidak adil. Namun itu bukan kesalahan saya semata karena bangsa kita kurang memperkenalkan karya sastra yang berkualitas dalam pendidikan.

Pencipta Sejarah

Tidak berlebihan jika kita menyebut sastra adalah pemegang kunci sejarah. Keberadaan sastra tidak hanya untuk merawat ingatan dan menyediakan filosofi kritis sebagaimana yang ada dalam karya sastra Pram. Namun sastra juga dapat menciptakan perubahan dan menentukan masa depan. Sastra “membidani” kelahiran sejarah.  Novel Max Havellar merupakan salah satu contoh karya sastra pencipta sejarah. Karya ini merekam bagaimana praktik penjajahan Belanda yang begitu menistakan kemanusiaan.

Gerakan protes atas kekejaman kolonialisme terjadi setelah karya Multatuli mendapat respon luas masyarakat internasional. Goresan sastra Multatuli ternyata mampu memenangkan rasa muak dan benci dunia terhadap kolonialisme. Sastra akhirnya mampu menutup sejarah kolonialisme dan menciptakan sejarah kemerdekaan yang digelorakan para penggerak kemerdekaan. Kemerdekaan bangsa kita diinspirasi oleh sastra, Mengagumkan!

Begitu pula dengan puisi sastrawan aktivist 98 Widji Tukul. Puisi-puisinya yang sangat kritis realis sering membuat kuping panas para penguasa yang selalu ia kritik. Puisinya berbeda dengan puisi picisan membosankan atau puisi dengan kata yang “muluk-muluk” membius. Kesederhanaan puisinya mencerminkan kebenaran dan kejujuran yang selalu ditakuti oleh penguasa. Satu kata fenomenalnya “Lawan!” dalam karyanya berjudul “Peringatan” mampu menginspirasi gerakan rakyat untuk melawan rezim Orde Baru (ORBA) yang otoriter. Sastra mampu memaksa sejarah ORBA tutup usia dan mencipta sejarah baru Reformasi.

Bukan hanya sastra bangsa kita saja yang mampu menciptakan perubahan. kita dapat menengok menengok sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy. Karya-karyanya yang bercorak realis bijak sangat berpengaruh dan menginspirasi berbagai gerakan. Konon di Rusia ada sebuah anekdot tentang tiga hal yang memegang kehidupan di Rusia yaitu Tsar, Gereja Ortodok, dan Tolstoy. Karyanya yang paling terkenal di dunia adalah “Anna Karenina” dan “Perang dan Damai”.

Karya-karya Tolstoy mengilhami lahirnya gerakan perlawanan tanpa kekerasan “Ahimsa” yang dipelopori Mahatma Ghandi. Gerakan tersebut berhasil mengantarkan India menuju pintu kemerdekaan dan memaksa Inggris untuk malu terhadap dirinya karena bangsa yang ia jajah lebih beradab daripada dirinya yang selalu berbicara tentang kebijaksanaan.

Tugas Sastra

Masih banyak contoh nyata perubahan sejarah yang dibuat oleh karya sastra seperti karya “Ibunda” Maxim Gorky, “Kejahatan dan Hukuman”nya Dostoyevsky, maupun karya Gabriel Gracia Marquez yang mempengaruhi gerakan perlawanan di Amerika Latin. Namun tidak semua sastra mampu melahirkan sejarah seperti sastra murahan yang hanya bersifat menghibur. Kekuatan sastra tergantung seberapa dalam kesungguhan pengarangnya menghayati dan merenungi kehidupan.

Bagi Sastrawan, menulis bukanlah sekedar menulis. Ada tiap nafas dan darah dalam setiap bait dan tintanya. Sastrawan menukar nyawanya dengan setiap kalimat yang ia tulis hingga kata-katanya tidak pernah mati. Begitu intimnya hubungan sastrawan dengan karyanya hingga kita tidak perlu heran jika Pram menganggap karyanya sebagai anak-anaknya.

Tugas sastra adalah memberi inspirasi, kesadaran, dan makna bagi kehidupan yang semua itu terbungkus dalam kejujuran dan keberpihakan kepada kebenaran serta kemanusiaan. Sastra harus mampu “membidani” kelahiran sejarah. Jika sastra lumpuh maka lumpuh pula sejarah. Lumpuhnya sastra merupakan ancaman bagi bangsa dan kehidupan. Oleh karena itu sastra harus selalu bergerak. Sastra bergerak!

Blogger.

Post a Comment