Gayung kotor yang disodorkan tangan keriput itu membuat Kevin Gani dan tim Garda Pangan merinding. Bukan karena takut. Sebab itu bukan batok kelapa “Nenek Gayung” yang kerap memandikan tumbal. Alat mandi itu satu-satunya piring milik nenek untuk menampung bantuan makanan dari Garda Pangan.
Dengan nurani tertampar, Kevin pun berjanji akan lebih sering membawakan makanan buat si nenek. Siapa lagi jika bukan Garda Pangan atau tetangga miskin yang kerap mengantar makanan ke gubuk di gang sempit itu. Namun, janji itu tak pernah bisa ditepati. Tuhan rupanya tak tega, membiarkan perempuan renta itu kelaparan sebatang kara lebih lama lagi.
Hanya gayung lusuhnya yang tersisa dalam kenangan. Menampar siapa pun yang suka buang makanan!
Ironi Kota Metropolitan: Kelaparan di Atas Sampah Makanan
Andai saja aku seorang pejabat publik,
sudah kugantung gayung perempuan tua itu di tengah kota Surabaya. Bahkan kalau
perlu, di seluruh kota Indonesia. Tak puas bila hanya Kevin seorang yang
merasakan. Semua orang harus kena tampar gayung nenek bila coba-coba menyiakan
sepotong martabak coklat terakhir karena jaim, atau ogah jadi tukang
bersih-bersih di tongkrongan.
Andai masih hidup, nenek pasti mengomeli
kita yang suka simpen-simpen makanan tapi lupa dimakan. Dengan gayungnya, ia
ambil sayur dan bumbu yang lupa dimasak di kulkas. Keripik yang gak sempat
dibuka di lemari. Atau kue yang dibeli secara brutal saat promo.
Nenek teringat tetangga semasa hidupnya di
Joyoboyo, Surabaya. Si A, emak-emak yang tiap pagi resah dapurnya tak ngebul.
Pak B yang hari itu sepi penumpang. Si C, anak kolong yang kerap menelan ludah
tiap melihat makanan impian di gawai. Nenek ingin membuat mereka tersenyum,
sebagaimana mereka pernah membuatnya tersenyum.
Kaum miskin kota adalah kelompok masyarakat
paling helpless jika tak punya uang. Berbeda dengan orang desa yang
masih punya sumber daya pertanian dan ditopang solidaritas tinggi antar
tetangga. Jumlah mereka mencapai 20 juta jiwa, mendiami negara pembuang sampah
terbesar nomor 3 di antara G20.
Kok bisa?
“Kita itu masih punya mindset mending lebih daripada kurang” Jawab Kevin.
Tepat. Mindset itu ditanamkan
keluarga di meja makan, saat jajan bareng di restoran, sejak kecil hingga
besar. Akhirnya, kita jadi kurang mindful dalam membeli dan makan.
Pangan dianggap sebagai privilege, bukan hak yang setara bagi semua
orang. Tak ada rasa bersalah membuang makanan. Toh itu dibeli pakai uang dan
keringat sendiri.
Membuang makanan berarti tak menghargai
proses kompleks nan panjang perjalanan satu porsi makanan tiba di meja makan.
Kevin mencontohkan, membuang makanan atau minuman senilai Rp5.000 berarti
menyia-nyiakan keringat petani, konsumsi air, pupuk, dan lainnya.
Orang-orang yang menilai makanan sebagai taken
for granted mudah ditemui di sektor bisnis makanan. Pemilik pesta nikah
yang lebih malu makanan habis daripada buang makanan. Anak muda yang pesan
makan untuk ngisi feed atau stories media sosial. Konten mukbang,
dan jari-jari yang gatal tiap muncul notif promo di aplikasi pesan makan
daring.
“Bahkan ada makanan yang belum sempet tuh ter-display di depan prasmanan itu. Masih ada di dapur. Masih utuh. Kita juga pernah rekor menyelamatkan sekitar 500 porsi. Itu bahkan bisa bikin acara wedding baru.” Kenang Kevin, sambil tertawa.
Pangan yang tak selamat membawa petaka.
Jangan pikir karena organik, sisa makanan yang kita buang dapat terkompos
sendiri. Hilang begitu saja. Minimnya kesadaran dan fasilitas pengolahan sampah
organik memicu timbulnya gas metana. Senyawa kimia ini 21 kali lebih berbahaya
dari CO2. Bahkan, sisa makananmu bisa merenggut nyawa orang.
“Kalau flashback sedikit di 2005, itu ada tragedi meledaknya TPA di Luwigajah, Jawa Barat. Kalau misalnya teman-teman ingat, itu TPA meledak, membanjiri rumah-rumah warga, bahkan sampai ada korban jiwa.” Jelas Kevin. Sekitar 143 korban jiwa dalam musibah tersebut.
Garda Pangan mencatat, ada 35 TPA pernah terbakar. Padahal 60% komposisi sampahnya organik dan basah. Kondisi ini membuat TPA tak ubahnya timbunan bukit bahan bakar yang siap meledak kapan saja.
Food Rescue, Kiat Senang Memperjuangkan Pangan Berkelanjutan
“Mengurangi kelaparan bukan dimulai dari satu juta porsi, tapi dari satu porsi yang diselamatkan”.
Pepatah yang kerap dikutip Kevin itu
mengingatkanku pada “Atomic Habits”. Buku kesayangan Gen Z. James Clear
membuktikan bahwa perubahan kecil justru lebih bermakna dan berdampak luar
biasa. Perubahan 1% acapkali lebih berhasil dan konsisten. Mengapa? karena sederhana,
mudah, dan selalu menyenangkan dilakukan meski berulang kali.
Seseorang tak perlu keletihan oleh mimpi
muluk-muluk, yang kerap kali hanya membuat semangat di awal. Bagiku, inilah
kunci sukses gerakan terus berdampak. Cara ini diesekusi dengan baik
oleh Garda Pangan. Alih-alih menciptakan program bombastis satu juta porsi,
Garda Pangan justru memilih menyelamatkan satu porsi makanan.
Karena mudah, banyak orang tertarik. Dalam hitungan menit, slot pendaftaran open volunteer di website Garda Pangan selalu penuh. Tak ada syarat aneh-aneh atau tuntutan memberatkan. Siapa pun yang longgar boleh berpartisipasi. Bahkan, pernah ada anak-anak join relawan Garda Pangan, ditemani orang tuanya yang ingin menanamkan kepedulian sosial dan lingkungan sejak dini. Kegiatan sosial pun terasa seperti rekreasi.
Kevin adalah salah satu anak muda yang
tertarik jadi sukarelawan Garda Pangan. Pemuda kelahiran Jakarta ini bergabung
pada akhir 2018. Waktu itu, ia sedang menempuh gelar sarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Bhayangkara (Ubhara) dan magister di Universitas Dr Soetomo
(Unitomo) di Surabaya. Tak ada alasan spesial, seperti aktifisme lingkungan
atau kisah pahit dalam hidup, yang mendorongnya bergabung.
“Dulu awalnya ikut Garda Pangan itu pengen punya temen di luar kampus sebenarnya. Tapi makin kesini, mau gak mau ikut belajar sih masalah food lose and food waste ini. Terus akhirnya ya udah, keterusan. Awalnya coba-coba.” Jawab Kevin.
Kegiatan food rescue dimulai dengan
menjemput pangan berlebih di industri dan bisnis makanan yang telah menjadi
mitra Garda Pangan. Selain itu, Garda Pangan juga terbuka untuk membantu
mengelola suplus makanan dari event, seperti pernikahan, ulang tahun, rapat, seminar,
festival, dsb. Serta surplus pangan rumah tangga. Mereka bisa memberitahu Garda
Pangan terlebih dahulu agar tim relawan bisa bersiap-siap.
“Walau pun nanti akhir acara gak ada makanan berlebih, itu gak masalah. Kita juga cukup happy dengar kabar itu, karena berarti teman-teman sudah menghitung dan merencanakan itu dengan baik.”
Setelah menerima info, tim food heroes
datang menggunakan transportasi yang steril dari pengangkutan binatang dan
bahan kimia. Setiba di lokasi, Garda Pangan melakukan pendataan, penyortiran
berbasis organoleptic, pengecekan kualitas, dan pengemasan ulang.
Makanan yang didonasikan bukanlah sisa makanan, melainkan pangan berlebih yang
masih layak makan.
“Kita menerima apa pun jenis makanan, mulai dari kemasan, makanan jadi, sayur, buah, sampai pernah ada donasi bumbu kari” ungkap Kevin.
Tim menerapkan standar operasional prosedur (SOP) handle yang ketat selama proses evakuasi makanan. Seperti penggunaan sarung tangan, masker, dan penutup rambut. Tujuannya, agar makanan aman diterima dan dikonsumsi oleh penerima manfaat. Setelah dipastikan aman, makanan siap didistribusikan.
Donasi makanan tidak dibagikan begitu saja
di pinggir jalan, meski Garda Pangan pernah melakukannya ketika awal berdiri.
Walau tidak salah, Garda Pangan menilai itu bukan cara terbaik. Sebab tidak
menjamin makanan sampai pada orang yang benar-benar membutuhkan. Mengingat
makanan yang dikumpulkan adalah amanah dari para mitra.
Bagaimana Garda Pangan menemukan penerima
manfaat yang tepat?
Ada berbagai sumber. Kadang dari
rekomendasi tim food heroes, usulan masyarakat, atau hasil blusukan di
sudut-sudut kota Surabaya. Berbekal sumber informasi tersebut, Garda Pangan
melakukan survei mendalam di lokasi melalui observasi tempat tinggal dan
wawancara dengan tetua setempat.
Tujuannya, untuk memperoleh data jumlah
warga, profesi, waktu kunjungan, dan demografi yang menentukan preferensi
makanan. Data ini penting untuk merencanakan teknis distribusi makanan, memilih
makanan yang sesuai, dan memastikan penerima manfaat yang tepat.
Jika lokasi sudah ditentukan, Garda Pangan datang untuk mendistribusikan donasi makanan. Ada dua cara yang digunakan, yakni:
- Dor to dor, dimana relawan membagikan makanan langsung ke rumah warga satu per satu. Jumlah makanan disesuaikan dengan jumlah anggota dalam 1 kartu keluarga (KK). Tantangannya, metode ini cukup menguras waktu dan tenaga. Sebab tim relawan harus mendatangi rumah warga satu per satu.
- Dapur umum. Pembagian pangan dilakukan secara terpusat di lapangan, balai desa, dsb. Metode ini lebih praktis, memungkinkan makanan dibagikan secara prasmanan. Namun butuh persiapan teknis yang matang agar berjalan tertib dan lancar.
Gleaning, Bantu Petani Sambil Healing
Siapa yang tak tertarik piknik? Alam
pegunungan yang asri hampir tak bisa ditolak. Terutama oleh anak muda. Garda
Pangan mengubah hobi ini menjadi kegiatan lebih bermakna. Gleaning,
ngetrip sambil bantu panen petani.
Pada dasarnya, Gleaning sama dengan food rescue. Bedanya, sumber surplus pangan berasal dari lahan pertanian. Menurut Kevin, ada dua sebab umum mengapa hasil pertanian berpotensi terbuang, yakni:
- Buruk rupa. Jangan pikir bahwa bentuk buah dan sayuran di supermarket itu sudah cantik proposional dari sononya. Salah. Faktanya, banyak hasil panen yang terbuang oleh proses sortir. Nasib yang gak good looking, peot-peot, kulit bercak, terlalu besar atau kecil, berakhir di tong sampah. Petani kadang membiarkanya busuk di lahan karena tak laku dijual. Padahal kandungan gizinya sama.
- Panen raya. Sudah jadi siklus berulang harga sayur dan buah anjlok brutal ketika panen raya. Salah satu paling yang parah pernah dijumpai Garda Pangan, ketika harga kubis turun dari Rp4.000 per kg menjadi Rp150 per kg dari petani. Uang segitu tak cukup buat ongkos panen. Petani pun memilih membiarkannya busuk di lahan, daripada lebih rugi nombok ongkos panen.
Gleaning dimulai saat Garda Pangan dicurhati petani
yang mengetahui harga panennya bakal anjlok. Curhatan petani di-follow up
dengan membuka open pre-order (PO) kepada masyarakat yang ingin membeli
hasil panen.
Follower Medsos Garda Pangan sangat solider
sehingga hasil panen yang potensi terbuang bisa diserap hingga berton-ton. Ada
yang beli untuk konsumsi pribadi. Ada pula yang beli untuk didonasikan ke
masyarakat pra-sejahtera, atau ke masjid.
Bila jumlah PO terkumpul, Garda Pangan
membuat trip piknik relawan ke lokasi panen. Biasanya di Jember, Magetan, atau
Malang. Siapa pun boleh ikut, asal lekas mendaftar diri. Slot pendaftaran
daring biasanya langsung penuh dalam hitungan jam. Tak hanya antusias, relawan
panen bahkan mau membayar trip untuk panen ini.
Food Bank Pertama Ala Indonesia
Kevin menceritakan Garda Pangan lahir dari
kegelisahan pasangan pengusaha wedding catering bernama Dedhy Baroto
Trunoyudho dan Indah Audivta. Mereka merasakan langsung dampak pangan berlebih
di kateringnya. Membuang makanan berlebih kerap menjadi solusi praktis dan
murah dalam bisnis. Namung, pasangan ini merasa sakit hati bila harus
membuangnya begitu saja.
Di tengah kerisauan solusi pangan berlebih
di kateringnya, Dedhy dan Indah bertemu Eva Bachtiar, seorang konsultan
pertanian wilayah Indonesia Timur. Saat itu, Eva sedang berkantor di Surabaya.
Rupanya, Eva juga memiliki konsen serupa. Mereka merasa cocok. Akhirnya,
disepakatilah untuk mendirikan gerakan food bank pertama di Surabaya.
Namanya Garda Pangan.
Sejak 2017, Garda Pangan hadir pusat
sebagai pusat koordinasi surplus pangan yang berpotensi terbuang untuk
disalurkan ke masyarakat pra-sejahtera di Surabaya dan sekitarnya. Bagi Garda
Pangan, kelaparan bukan sebab soal kekurangan pangan, melainkan ketimpangan
distribusi pangan.
Ada segelintir orang yang punya privilege
pangan berlebih, sampai tak mampu menghabiskan sendiri. Sementara banyak orang yang
kesulitan, meski sudah bekerja keras. Jurang ketimpangan ini dijembatani Garda
Pangan, supaya tak terjadi food waste dan food lose. Sekaligus
menolong mereka yang kerap tidur dengan perut kosong.
Food bank sebetulnya bukanlah konsep baru di dunia.
Tapi, Garda Pangan melakukan penyesuaian dengan kondisi Indonesia. Food bank
luar negeri sangat bertumpu pada storage atau ware house untuk
menyimpan makanan. Bentuknya hampir mirip seperti supermarket. Konsep ini
dipilih mengingat jenis makanan di luar negeri adalah makanan kering atau
makanan kaleng.
Distrubusi surplus pangan dilakukan melalui
dapur umum yang dikelola organisasi nirlaba. Masyarakat menggunakan food
stamp, kupon, untuk mendapat makanan gratis dari dapur umum tersebut.
Berbeda dengan Indonesia. Jenis makanan
umumnya basah. Seperti nasi, sayuran, kue, susu, dan sejenisnya. Karena makanan
tak bertahan lama, food bank di Indonesia sangat bertumpu pada
distribusi dan gerak lapangan. Makanan harus lekas didistribusikan secepatnya.
Di sini lah, peran relawan sangat penting. Ware house tidak terlalu
dibutuhkan. Bahkan, Garda Pangan kerap melakukan rescue makanan di
tempat secara langsung.
Buah dari Terus Berbenah
Menurut Garda Pangan, food bank bisa
didirikan bila ada dua kondisi dalam satu wilayah. Pertama adanya
surplus pangan. Kedua, adanya kelompok masyarakat yang sulit akses
pangan. Kedua syarat ini terpenuhi di wilayah perkotaan, dimana industri
F&B tumbuh pesat berdampingan dengan kaum miskin kota.
Meski dua syarat diatas terpenuhi, Garda
Pangan menekankan untuk menyusun sistem kerja yang matang sebelum mendirikan food
bank. Hal ini berkaca dari proses panjang dan tantangan yang dialami Garda
Pangan sendiri dalam mengembangkan sistem food bank.
Misalnya, tantangan mempertahankan
konsistensi gerakan. Garda Pangan sadar betul bahwa relawan hanyalah manusia
biasa. Melakukan hal yang sama secara berulang dalam jangka waktu panjang tentu
meletihkan. Berbagi makanan yang terasa penuh suka cita di awal bisa berubah
menjadi kejenuhan di kemudian hari karena terasa menjadi kewajiban.
Latar belakang relawan juga beragam. Ada yang bekerja maupun mahasiswa. Mereka juga punya kesibukan pribadi masing-masing. Tak setiap waktu mereka bisa melakukan food rescue.
Untuk mensiasatinya, Garda Pangan menyusun
skema dua jenis relawan, inti dan publik. Relawan inti adalah mereka yang
berkomitmen lebih mengembangkan Garda Pangan. Sedangkan relawan publik adalah
masyarakat luas yang tertarik mengikuti kegiatan Garda Pangan, tanpa ada ikatan
setelah kegiatan selesai (freelance volunteer).
“Jadi emang setiap hari Sabtu, jam 3 (15.00 WIB), di Garda Pangan itu bakal ada open volunteer” jelas Kevin.
Skema tersebut mirip sistem karyawan tetap
dan part-time/casual di perusahaan. Tujuannya, untuk mencegah relawan melakukan
food rescue secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Menjaga rasa
suka cita dalam menolong masyarakat pra-sejahtera. Kini, jumlah relawan harian
Garda Pangan mencapai 1.500 orang, dengan relawan inti sejumlah 30 orang.
Tantangan lain adalah meraih kepercayaan
para mitra. Hal ini tidak mudah, mengingat konsep food bank belum
familiar di mata pengusaha makanan. Terlebih saat memulai langkah pertamanya,
Garda Pangan belum memiliki manajemen atau bentuk organisasi professional.
Hanya bermodal gagasan atau ide besar besar saja. Wajar bila diragukan.
Ketika itu, Garda Pangan terheran-heran,
mengapa banyak pengusaha makanan enggan mendonasikan pangan berlebihnya? Malah
lebih memilih memusnahkannya. Kok gak ada empatinya dengan kondisi masyarakat
pra-sejahtera. Rupanya, ada alasan valid yang melatarinya.
Misalnya, brand-brand besal asal luar
negeri. Mereka takut produknya dijual lagi, disalahgunakan oleh orang tak
bertanggung jawab bila tidak dimusnahkan. Selain itu, mereka juga takut
dituntut hukum bila terjadi sesuatu pada penerima donasi. Mengingat makanan
tersebut tidak berada dalam kondisi paling sempurna. Meski sebetulnya masih
sangat layak dimakan.
Menjawab keresahan tersebut, Garda Pangan
fokus menciptakan sistem kerja yang baik. Membuat mitra nyaman dan tenang
mendonasikan pangan berlebihnya. Seperti menyusun SOP handle makanan
ketat, memperhatikan higienitas dan sanitasi mulai dari pengambilan hingga
distribusi surplus pangan.
Para relawan juga mengedukasi food
safety ke penerima manfaat, seperti memberi tahu jangka waktu simpan
makanan atau mengarahkan untuk lekas mengkonsumsi makanan yang diterima.
Bahkan, Garda Pangan sampai berani mengambil tanggung jawab penuh bila terjadi
apa-apa pada penerima donasi.
Berbekal sistem kerja yang matang, Garda
Pangan pun berjodoh dari mitra ke mitra yang lain. Resto Melayu di Surabaya
adalah mitra pertamanya. Kebetulan, pemilik resto tersebut tidak asing dengan
visi food bank. Akhirnya, Garda Pangan pun bisa melakukan food rescue
pertamanya di resto ini.
Garda Pangan betul-betul mengupayakan trust
masyarakat. Setiap donasi makanan yang diterima dilaporkan secara transparan,
tersusun rapi, dan dipublikan melalui media sosial. Jadi, masyarakat bisa tau
siapa donaturnya, di kampung mana donasi didistribusikan, serta berapa jumlah
penerima manfaatnya.
Pemilik resto Melayu merasa puas dengan
cara kerja Garda Pangan yang accountable. Ia pun memberi testiomoni
pertama, sehingga menarik pengusaha makanan lain untuk bergabung menjadi mitra
Garda Pangan berikutnya. Mulai dari restoran, bakery, supermarket, hingga
hotel-hotel di Surabaya.
Tantangan lain adalah soal kemandirian
organisasi. Garda Pangan tak ingin bergantung pada donatur dalam membiayai
operasional lembaganya. Meski tidak menutup diri, sejauh profil donatur tidak
bertentangan dengan asas dan konsen isu yang dibawa Garda Pangan. Hanya sekitar
20-30 persen saja biaya operasional berasal dari donatur.
“Bahkan, kita juga patungan nih untuk biaya operasional Garda Pangan.” Jelas Kevin.
Guna mendukung kemandirian organisasi, Garda Pangan membangun fasilitas biokonversi melalui budidaya Black Soldier Fly (BSF) atau magot. Produk yang dijual berupa magot pakan tinggi protein untuk ternak dan reptile, serta pupuk kompos magot. Selain menambah kas organisasi, lini bisnis magot juga berperan mengurangi sampah sisa makanan dari rumah tangga maupun binsis makanan. Kapasitas hariannya sekitar 1,5 hingga 3 ton.
Delapan Tahun Satukan Gerak, Terus Berdampak
Kevin adalah food heroes generasi
awal yang masih konsisten berjuang di Garda Pangan. Ia dipercayai mengemban beberapa
amanah penting, mulai dari ketua public relationship (PR) Garda Pangan
pada 2022, dan kini sebagai ketua Garda Pangan sejak 2024.
“Kalau aku sebagai relawan, aku gak pernah merasakan duka. Jadi pasti merasa suka terus” jawab Kevin saat ditanya sukadukanya menjadi relawan Garda Pangan.
Dalam kurun 8 tahun, Garda Pangan berhasil
menyelamatkan hampir 665.000 porsi dari potensi terbuang sia-sia. Memberi
manfaat 29.000 jiwa pra sejahtera di 205 titik lokasi secara rutin. Mengolah
lebih 150 ton bahan pangan potensi terbuang menjadi makanan layak konsumsi.
Serta memproses lebih dari 410 ton sampah makanan menjadi pakan ternak. Seluruh
upaya ini telah berhasil mencegah 1,05 juta kilogram CO2 merusak atmosfir.
Mengurangi laju pemanasan global.
Kevin Garda Pangan adalah inspirasi nyata,
bahwa warga sipil biasa bisa kok memberi dampak luas biasa hanya dengan aksi
sederhana. Menyelamatkan dunia dari kelaparan dan kerusakan alam bisa dilakukan
dengan penuh sukacita. Semampunya. Selaras dengan hukum 1%, tindakan kecil
menyimpan “bunga majemuk” yang dampaknya tak bisa diremehkan.
Tak harus berdarah-darah. Membebani diri dengan
komitmen yang mengorbankan kebutuhan dasar individu. Heroisme semacam itu
jangan-jangan hanyalah keangkuhan terselubung. Mengingkari jati diri kita
sebagai manusia biasa.
Bersama-sama jauh lebih mudah, langgeng,
dan happy. Bergerak bersama adalah kearifan karena mengakui peran dan
kepedulian orang lain. Tak perlu satu man power. Hanya perlu sistem
organisasi sehat seperti Garda Pangan.
“Semoga dengan adanya apresiasi ini, isu sampah makanan, isu food waste food lose ini, bisa jadi perhatian lebih lagi untuk gak cuma pemerintah, tapi masyarakat juga.” Ucap Kevin saat menerima apresiasi 15 tahun Satu Indonesia Awards 2024.
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
Referensi:
Good News from Indonesia. (2023, 6 Mei). GARDA PANGAN: Food Loss, Food Waste, dan Gerakan Donasi Makanan Berlebih. (Video). YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=FFBeCU4IINI
- Sonora Surabaya. (2022, 11 Mar). Garda Pangan: Gerakan Stop Food Waste dan Kesetaraan Akses Pangan! / Community Corner. (Video). YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=LQkWytucAM8&t=2054s
- Suaramuslimtv. (2022, 1 Oktober). Garda Pangan – Squad Pejuang Indonesia Bebas Lapar. (Video). YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=AseB2H7m4zc&t=1571s
- Mojokdotco. (2021, 15 November). Eva Bachtiar: Garda Pangan, Food Bank untuk Masyarakat Urban – PutCast. (Video). YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=f6ZJ2QpieLQ&t=2552s
- SATU Indonesia. (2024, 29 Oktober). Awarding 15th SATU Indonesia Awards 2024. (Video). YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=R3IKdn_7zQo&t=6599s
- Booklet SATU Indonesia Awards. (2024, 28 Oktober). 16th SATU Indonesia Awards 2025. Diakses pada 3 November 2025, dari https://online.fliphtml5.com/lsnfk/ipqi/#p=1
- Clear, James. (2025). Atomic Habits. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
- Tempo. (2023, 20 September). Ledakan TPA Leuwigajah, Insiden Paling Parah yang Pernah Terjadi di Indonesia. Diakses pafa 27 Oktober 2025, dari https://www.tempo.co/lingkungan/ledakan-tpa-leuwigajah-insiden-paling-parah-yang-pernah-terjadi-di-indonesia-141803
- Instagram Garda Pangan (https://www.instagram.com/gardapangan/ )
- Instagram Maggot Garda Pangan (https://www.instagram.com/maggot_gardapangan/ )
- Situs Garda Pangan (https://gardapangan.org/ )







.jpeg)