“Tak, tak, tak …” Saya panik melihat api tak kunjung menyala meski tuas kompor sudah dipantik berkali-kali saat hendak menyeduh kopi. Indikator gas rupanya berada di garis merah. Dengan nada sedikit protes, saya memanggil ibu, mengapa tak membeli gas?
Ibu menyahut, saya berjalan menuju sumber
suara. Bau asap sayup-sayup menusuk hidung. Hati bertanya, siapa yang ceroboh
bakar sampah pagi ini. Begitu membuka pintu, mata saya tertuju pada tungku
batako menopang panci air mendidih. Ibu datang membawa ranting dan daun-daun
kering pohon mangga.
“Gas sedang langka di warung le, bu’e
sudah muter kemana-mana.”
Momen singkat itu membuka pikiran saya
bagaimana ibu, kaum perempuan, adalah sosok terdepan saat terjadi krisis energi
di rumah. Ia tetap mengasihi, meski kerap menjadi sasaran kekesalan dan
kesehatannya terancam oleh asap kayu bakar, gas masak, hingga luka bakar.
Acapkali, kita kurang berempati pada beban
gender yang perempuan tanggung. Saya khawatir, sikap ini membuat kita abai pada
suara perempuan dalam proses transisi energi baru di Indonesia.
Telah kita ketahui, Indonesia sedang
mengejar target emisi nol bersih (NZE) pada 2050 dengan mempercepat 44% bauran
energi dari sektor listrik pada 2030. Pemerintah berencana melepas
ketergantungan 67% penggunaan batu bara untuk listrik nasional. Sebab, cadangan
batu bara Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 45 tahun ke depan.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga air
(PLTA) dipandang sebagai solusi. Bendungan air dibangun di sejumlah titik untuk
mengaliri listrik di pelosok desa. Tapi, sejarah telah merekam proyek
pembangunan pemerintah kerap mengabaikan kelompok rentan setempat, seperti
petani, perempuan, penyandang disabilitas, dan anak-anak. Mereka sangat
berisiko menderita dua kali lipat dibanding kelompok lain akibat konstruksi
budaya-politik yang diskriminatif.
Beberapa fakta yang terungkap seperti
pembangunan PLTA di Poso Sulawesi Tengah, Batang Toru Sumatera Utara, Koto
Panjang Riau, dan Jatigede Jawa Barat. Dampak yang ditanggung kelompok rentan
meliputi kehilangan mata pencaharian, krisis air bersih, kerusakan alam, satwa
liar terancam, hancurnya ekosistem aquatic air tawar, ketidakadilan
kompensasi, hingga kriminalisasi.
Perempuan terpaksa menerima beban ganda
mengurus rumah sekaligus membantu mencari nafkah, dan bertanggung jawab atas
ketersediaan energi dan air bersih di rumah. Selama berjuang dari krisis energi
dan air, ancaman bencana longsor dan kriminalisasi oleh pekerja proyek dari
luar bisa datang sewaktu-waktu.
Kesejahteraan anak dan penyandang disabilitas sangat rentan dalam kondisi ini, mengingat hidup mereka sangat tergantung pada perempuan yang merawatnya.
Tantangan: Mencegah Cara-Cara Kotor dalam Transisi Energi Bersih
Dalih swasembada energi tidak boleh menulikan telinga untuk mendengar suara kelompok rentan yang tinggal di garda terdepan pembangunan energi bersih. Sebab itu, saya lebih cocok dengan diversifikasi sumber energi alternatif yang selaras dengan sosio-kultur masyarakat setempat.
Misalnya Bio-reaktor Kapal Selam (BKS).
Teknologi ini diciptakan oleh Dr. M. Sobri, S.Pt., M.P., yang resah melihat
krisis energi dan beban ongkos produksi petani di desa Tlogowungu, Langse,
Pati.
BKS kemudian menjadi ujung tombak program
penanganan sampah dan krisis energi Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Muhammadiyah
Jawa Tengah. Cara kerja teknologi ini pada dasarnya sama dengan biogas.
Bedanya, bentuk digester mirip kapal selam terletak dalam kolam air agar dapat
mendeteksi kebocoran, menambah tekanan, dan menstabilkan suhu optimal
pengomposan, serta terintegrasi dengan konsep pertanian terpadu berbasis Internet
of Things (IoT) untuk meringankan beban kerja petani dan menghemat air.
BKS menyelesaikan persoalan sampah, kotoran
ternak, limbah pertanian sekaligus menjawab kebutuhan pupuk dan energi
masyarakat tani. Kemampuan ini sebetulnya sangat menjawab persoalan masyarakat
desa pelosok, membuat mereka berdaya tanpa merusak kultur kehidupan mereka yang
ekologis.
Dalam perkembangannya, BKS diadopsi untuk mengatasi problem sampah urban, seperti di pasar raya, lokasi pariwisata, maupun tempat penampungan akhir (TPA) di desa. Harapannya, problem sampah selesai di tingkat desa, bukan di TPA, agar menekan emisi yang timbul dalam pengangkutan dan gas metana dari timbulan sampah organik.
Meringankan petani, berarti meringankan perempuan, anak dan penyandang disabilitas pelosok desa. Tak heran bila Pimpinan Aisyiyah Jawa Tengah tertarik mengadopsi teknologi BKS dalam program ranting Muhammadiyah berbasis lingkungan dan edu-wisata.
Saya terkesan melihat antusias tinggi
ibu-ibu Aisyiyah untuk menyelesaikan problem sampah dan krisis energi di rumah
tangga. Mereka melihat sampah rumah adalah potensi energi yang sangat dekat
dengan kehidupan perempuan. Ini bukti nyata bahwa perempuan mempunyai insiatif
dan kapabilitas untuk memimpin transisi energi bersih ketika diberi ruang untuk
bergerak dan bersuara.
Hanya saja, jalan menuju transisi energi
yang inklusif masih menyisakan tantangan minimnya keterwakilan perempuan dan
kelompok rentan dalam struktur demokrasi. Contohnya, perempuan, anak, dan penyandang
disabilitas jarang dilibatkan dalam musyawarah desa karena diragukan kapabilitasnya.
Solusinya, public harus mengakui 4 aspek
energi inklusif, meliputi keadilan rekognitif, keadilan distributive,
keadilan procedural, dan keadilan remedial untuk memastikan no
one left behind. Hal ini bisa dicapai bila perempuan dan kelompok rentan
berserikat melalui organisasi sipil.
Referensi:
1. Setiawan,
Verda N. (2024, 18 September). Bukti RI Sangat Bergantung Batu Bara, 67%
Pembangkit Dikuasai PLTU. Diakses pada 22 Oktober 2025, dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20240918123010-4-572687/bukti-ri-sangat-bergantung-batu-bara-67-pembangkit-dikuasai-pltu
2. Setiawan,
Verda N. (2025, 05 Agustus). Segini Umur Cadangan Batu Bara-Nikel Cs RI, Ada
Cuma Sisa 20-an Tahun! Diakses pada 21 Oktober 2025, dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20250805102632-4-655097/segini-umur-cadangan-batu-bara-nikel-cs-ri-ada-cuma-sisa-20-an-tahun
3. Faliana,
Cintya. (2025, 11 Maret). Merebut Kembali Narasi Keadilan dalam Transisi
Energi: Dari Perempuan untuk Perempuan. Diakses pada 23 Oktober 2025, dari https://transisienergiberkeadilan.id/id/special-reports/detail/merebut-kembali-narasi-keadilan-dalam-transisi-energi-dari-perempuan-untuk-perempuan
4. Jemali,
Videlis. (2022, 24 Mei). Diwarnai Pembetonan Kaki, Sebagian Petani Pinggir
Danau Poso Menuntut Kompensasi Dampak PLTA. Diakses pada 22 Oktober 2025,
dari https://www.kompas.id/artikel/diwarnai-pembetonan-kaki-sebagian-petani-pinggir-danau-poso-kembali-menuntut-kompensasi-dampak-plta
5. Karokaro,
Ayat S. (2023, 27 Juli). PLTA Batang Toru: Jatuh Korban Jiwa Lagi, Sengketa
Lahan pun Terjadi. Diakses pada 22 Oktober 2025, dari https://mongabay.co.id/2023/07/27/plta-batang-toru-jatuh-korban-jiwa-lagi-sengketa-lahan-pun-terjadi/
6. Saturi,
Sapariah. (2016, 24 Oktober). Hutan Penyangga Menipis, Air Krisis, PLTA Koto
Panjang Mati Suri. Diakses pada 22 Oktober 2025, dari https://mongabay.co.id/2016/10/24/hutan-penyangga-menipis-air-krisis-plta-koto-panjang-mati-suri/
7. Iqbal,
Donny. (2023, 25 Oktober). Nasib Mereka yang Tergusur oleh Bendungan
Jatigede (Bagian 1). Diakses pada 22 Oktober 2025, dari https://mongabay.co.id/2023/10/25/nasib-mereka-yang-tergusur-oleh-bendungan-jatigede-bagian-1/
8. Apris, Chitra dkk. (2024). Panduan Pemantauan Implementasi Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI). Jakarta Selatan: Publish What You Pay Indonesia-Yayasan Transparasi Sumber Daya Ekstraktif.
