Sebagai generasi millennial, saya masih
sempat menikmati serial kartun Popeye Si Pelaut di layar televisi. Alur
ceritanya sederhana, dimulai dari Popeye bersama pujaan hatinya, Olive,
melakukan sesuatu lalu datanglah tokoh jahat bernama Bruto membuat kekacauan.
Pertempuran sengit pun terjadi.
Uniknya, Popeye selalu memenangkan
pertarungan. Rahasia kekuatannya adalah sayur bayam kaleng yang ia makan saat
hampir kalah, tak berdaya. Dalam tempo singkat, kekuatannya meningkat. Melibas
semua trik-trik jahat Bruto.
Saya pun terpengaruh oleh Popeye. Makan
sayur bayam bening, lalu memamerkan otot-otot tangah di depan kaca. Beranggapan,
kekuatan fisik saya meningkat berkat bayam. Andai saja pencipta Popeye, Elzie
Crisler Segar, melihat tingkah saya itu, ia pasti akan tersenyum dan bergumam
“aha! Tujuanku berhasil”
Ya, anda tidak salah. Elzie Crisler Segar
sengaja memilih bayam sebagai sayur ajaib Popeye bukan tanpa alasan. Ia ingin
mempopulerkan bayam sebagai sayuran pemenuhan hidup sehat karena mengandung zat
besi tinggi. Gizi yang sangat penting bagi pertumbuhan anak.
Tujuan itu berhasil. Riset Laura Lovett
berjudul “The Popeye Principle: Selling Child Health in The First Nutrition
Crisis (2005)” mengungkap animasi Popeye berperan signifikan dalam
menumbuhkembangkan minat anak terhadap sayuran hijau. Tercatat, bayam menempati
posisi ketiga sebagai makanan favorit anak-anak Amerika setelah kalkun dan es
krim.
Popeye lebih dari sekadar tayangan hiburan.
Ia adalah icon gizi dan role model hidup sehat anak-anak. Popeye
berhasil menyelamatkan anak dari ancaman malnutrisi yang melanda Amerika
Serikat pada awal hingga pertengahan abad ke-20 Pasca Perang Dunia I dan krisis
ekonomi tahun 1930-an.
Krisis Icon Gizi Anak-Anak Daerah
Kini, Popeye tak sepopuler dulu di mata anak. Cukup disayangkan.
Mirisnya lagi, icon anak di Indonesia kini justru banyak melekat pada
brand-brand makanan instan, bukan sayur dan buah. Orang tua kesusahan
menanamkan pola makan sehat, kalah oleh animasi kartun di bungkus makanan
instan maupun gerobak jajanan anak di jam istirahat sekolah.
Tak heran, mereka pun lebih menyukai makanan kurang sehat.
Dampaknya, anak lebih rentan sakit hingga terhambat perkembangan
intelektualitas. Tak hanya itu, anak yang sakit juga membebani ekonomi orang
tua sehingga mempersulit kesempatan anak memperoleh pendidikan lebih baik.
Di tengah krisis figure gizi anak, ironisnya tingkat literasi gizi
orang tua masih rendah. Khususnya masyarakat kalangan menengah ke bawah. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Maret 2025 mengungkap pengeluaran terbanyak
masyarakat miskin digunakan untuk membeli beras (24,91%), rokok (10,72%), dan kopi
(2,29%). Tidak ada sayuran maupun buah-buahan.
Hasil riset Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) pada
2021 mengungkap banyak orang tua yang hanya memberikan makanan tinggi
karbohidrat namum minim protein. Bahkan, banyak orang tua yang mengira produk
kental manis sebagai susu anak. Padahal, kental manis bukanlah susu melainkan
makanan berkadar gula tinggi.
Sebagian masyarakat ada yang mempresepsikan makanan bergizi
tertentu, seperti buah-buahan, sebagai makanan mewah atau jamuan. Bukan makanan
harian. Akibatnya banyak keluarga jarang makan buah. Bisa dihitung jari dalam
satu bulan. Padahal, buah dan sayur lokal mudah diperoleh masyarakat daerah.
Masih banyak masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi makanan yang
dijajakan keliling dan mie instan. Bahkan mereka mengartikan membeli makan di
luar sebagai bentuk kasih sayang anak. Padahal, makanan instan atau yang
dijajakan di luar belum tentu mengandung gizi seimbang yang dibutuhkan anak.
Seharusnya, arti sayang anak adalah sadar kebutuhan gizi anak.
Sebagian besar masyarakat juga terbiasa memilih mengonsumsi makanan
instan berkadar garam, gula, dan lemak tinggi. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya literasi gizi maupun pendapatan orang tua. Akhirnya, pola makan tak
sehat ini diwariskan pada anak-anaknya.
Rendahnya literasi gizi orang tua maupun selera makan anak
dipengaruhi oleh media digital sebagai representasi budaya global yang kurang
sehat. Hal ini memicu krisis icon gizi anak, khususnya bagi anak-anak daerah.
Selain tantangan global, budaya daerah yang tidak arif juga
berkontribusi menciptakan malnutrisi. Misalnya pengetahuan turun-temurun bahwa
telur dan ikan laut tidak baik dikonsumsi anak-anak sebab dipercaya menjadi
penyebab penyakit bisul dan gatal-gatal pada anak. Padahal, kedua penyakit kulit
itu diakibatkan oleh gangguan kuman atau infeksi. Tentu keyakinan ini dapat
membuat anak kekurangan protein.
Kemudian, masih banyak masyarakat yang percaya takhayul dan lebih
meyakini saran dukun bayi yang menyatakan bahwa gizi buruk dan penyakit anak disebabkan
oleh gangguan mistis dan hal-hal berbau supranatural. Akhirnya, pengobatannya
tidak dilakukan dengan cara masuk akal dan berbasis ilmu pengetahuan medis,
seperti pijat hingga ritual-ritual tertentu. Padahal, gizi buruk tidak selalu diakibatkan
kurang nafsu makan, melainkan asupan makanan yang miskin gizi.
Lalu, beberapa tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh ada yang masih
menerapkan gaya hidup tidak sehat seperti merokok. Akhirnya masyarakat,
terutama anak-anak muda, pun meniru figure yang dipanutinya tersebut. Hal ini
mengurangi anggaran belanja yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli pangan
bergizi.
Anak dengan pola makan buruk rentan mengalami malnutrisi. Mereka sangat
rentan pada penyakit, luka sulit sembuh, proses tumbuh-kembang terhambat, dan
penurunan daya intelektualitas. Jika demikian, bonus demografi Indonesia tidak
akan maksimal, justru menjadi beban. Bukan generasi produktif. Cita-cita
Indonesia Emas 2045 pun mustahil terwujud. Dampak beban demografi nasional
lebih banyak ditanggung oleh daerah karena belum meratanya pembangunan dan
fasilitas penunjang kehidupan.
Peran DPD RI; Mempopulerkan Mitos dan Pangan Lokal
Anak daerah adalah tulang punggung masa depan nasional. Gizi mereka
harus diselamatkan supaya memiliki kekuatan untuk memajukan daerah, selaras
dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
nasional.
Masyarakat daerah, terlebih anak-anak, tentunya tidak bisa berjuang
sendiri. Oleh sebab itu, kehadiran Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(DPD RI) sangat berperan besar untuk mengatasi krisis gizi anak. Salah satu
caranya adalah dengan memanfaatkan budaya dan pangan lokal. Kekuatan budaya
lokal berperan sebagai media edukasi pola hidup sehat, sedangkan pangan lokal
sebagai alternatif sumber pangan sehat yang terjangkau dan mudah diperoleh.
Contoh pemanfaatan budaya lokal itu adalah pamali atau “kebohongan
bermanfaat” sejenisnya. Misalnya, dulu saya pernah dibujuk orang tua untuk
makan daging sapi, sebab saya tak suka aromanya tak sedap. Akhirnya, orang tua
saya “membohongi” dengan menyebut itu adalah aroma doa pak Kyai. Jika mau makan
daging tersebut, saya akan dapat keberuntungan. Akhirnya, saya terbujuk dan mau
makan daging sapi.
Tentunya, ada banyak “kebohongan bermanfaat” serupa yang dapat
mengarahkan anak agar mau makan makanan sehat. Bentuknya beragam dan cukup
banyak di daerah-daerah. Sebab itu, DPD RI perlu menggalang kelompok budayawan,
periset, seniman, dan tokoh lokal untuk menggali kearifan lokal yang pas
sebagai pendekatan kampanye hidup sehat. Pendek kata, kerjasama tersebut
bertujuan untuk menciptakan “Popeye lokal” untuk mengatasi krisis icon gizi
anak daerah. Tokoh fiktif role model hidup sehat anak harus dikampanyekan
secara massif, hingga betul-betul masuk dalam hati dan fikiran anak.
Selain itu, DPD RI perlu menggalang kerjasama dengan koki-koki dan
ahli gizi di daerah untuk mencipatakan konsep jajanan lokal sehat dan menarik
bagi anak. Sebab, selama ini dunia koki lebih banyak tercurahkan untuk
mengembangkan ekosistem (Food and Bavarage) F&B bisnis saja.
Kreatifitas mereka masih tercurahkan untuk membuat konsep makanan komersial.
Padahal, anak-anak butuh peran mereka untuk memperoleh pangan kaya akan gizi
dengan tampilan menarik dan cita rasa yang disukai anak.
Ahli gizi diperlukan kontribusinya untuk meriset dan menggali
sumber pangan lokal yang terjangkau masyarakat lokal. Data inventaris pangan
lokal bergizi tersebut kemudian diolah oleh koki yang mahir mengkreasikan
makanan anak. Kolaborasi dan kerjasama ini sangat mungkin dilakukan melalui program
utama pemerintah “Makan Bergizi Gratis”. Justru, kolaborasi ini akan memperkuat
kualitas program pemerintah, sebab tidak hanya berfungsi sebagai dapur pangan
anak saja. Melainkan menciptakan inovasi pangan anak yang terjangkau dan
menarik.
Tentunya, proyeksi inovasi masa depan pangan sehat anak ini di atas
hanya menjadi tulisan dan wacana saja bila tidak ditransformasikan menjadi kebijakan
publik. Sebab itu, peran DPD RI yang punya wewenang legislatif sangat
dibutuhkan untuk mengkongkritkan hal ini menjadi kenyataan. Peran masyarakat
biasa sangat terbatas untuk mewujudkan proyeksi inovasi masa depan pangan dalam
skala luas dan efektif.
Saya yakin betul, kolaborasi peran DPD RI dengan berbagai profesi di atas menjadi kunci mencegah ancaman malnutrisi daerah. Tujuan SDGs dan Indonesia Emas 2045 pasti tercapai bila DPD RI mengambil wewenang dan fungsi legislatifnya sebagai pahlawan gizi anak-anak daerah.
