Table of Content

Membangun Generasi Indonesia Emas 2045 Bebas Malnutrisi Berbasis Refleksi dan Inovasi Daerah

pangan lokal

Sebagai generasi millennial, saya masih sempat menikmati serial kartun Popeye Si Pelaut di layar televisi. Alur ceritanya sederhana, dimulai dari Popeye bersama pujaan hatinya, Olive, melakukan sesuatu lalu datanglah tokoh jahat bernama Bruto membuat kekacauan. Pertempuran sengit pun terjadi.

Uniknya, Popeye selalu memenangkan pertarungan. Rahasia kekuatannya adalah sayur bayam kaleng yang ia makan saat hampir kalah, tak berdaya. Dalam tempo singkat, kekuatannya meningkat. Melibas semua trik-trik jahat Bruto.

Saya pun terpengaruh oleh Popeye. Makan sayur bayam bening, lalu memamerkan otot-otot tangah di depan kaca. Beranggapan, kekuatan fisik saya meningkat berkat bayam. Andai saja pencipta Popeye, Elzie Crisler Segar, melihat tingkah saya itu, ia pasti akan tersenyum dan bergumam “aha! Tujuanku berhasil”

Ya, anda tidak salah. Elzie Crisler Segar sengaja memilih bayam sebagai sayur ajaib Popeye bukan tanpa alasan. Ia ingin mempopulerkan bayam sebagai sayuran pemenuhan hidup sehat karena mengandung zat besi tinggi. Gizi yang sangat penting bagi pertumbuhan anak.

Tujuan itu berhasil. Riset Laura Lovett berjudul “The Popeye Principle: Selling Child Health in The First Nutrition Crisis (2005)” mengungkap animasi Popeye berperan signifikan dalam menumbuhkembangkan minat anak terhadap sayuran hijau. Tercatat, bayam menempati posisi ketiga sebagai makanan favorit anak-anak Amerika setelah kalkun dan es krim.

Popeye lebih dari sekadar tayangan hiburan. Ia adalah icon gizi dan role model hidup sehat anak-anak. Popeye berhasil menyelamatkan anak dari ancaman malnutrisi yang melanda Amerika Serikat pada awal hingga pertengahan abad ke-20 Pasca Perang Dunia I dan krisis ekonomi tahun 1930-an.

Krisis Icon Gizi Anak-Anak Daerah

Kini, Popeye tak sepopuler dulu di mata anak. Cukup disayangkan. Mirisnya lagi, icon anak di Indonesia kini justru banyak melekat pada brand-brand makanan instan, bukan sayur dan buah. Orang tua kesusahan menanamkan pola makan sehat, kalah oleh animasi kartun di bungkus makanan instan maupun gerobak jajanan anak di jam istirahat sekolah.

Tak heran, mereka pun lebih menyukai makanan kurang sehat. Dampaknya, anak lebih rentan sakit hingga terhambat perkembangan intelektualitas. Tak hanya itu, anak yang sakit juga membebani ekonomi orang tua sehingga mempersulit kesempatan anak memperoleh pendidikan lebih baik.

Di tengah krisis figure gizi anak, ironisnya tingkat literasi gizi orang tua masih rendah. Khususnya masyarakat kalangan menengah ke bawah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Maret 2025 mengungkap pengeluaran terbanyak masyarakat miskin digunakan untuk membeli beras (24,91%), rokok (10,72%), dan kopi (2,29%). Tidak ada sayuran maupun buah-buahan.

Hasil riset Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) pada 2021 mengungkap banyak orang tua yang hanya memberikan makanan tinggi karbohidrat namum minim protein. Bahkan, banyak orang tua yang mengira produk kental manis sebagai susu anak. Padahal, kental manis bukanlah susu melainkan makanan berkadar gula tinggi.

Sebagian masyarakat ada yang mempresepsikan makanan bergizi tertentu, seperti buah-buahan, sebagai makanan mewah atau jamuan. Bukan makanan harian. Akibatnya banyak keluarga jarang makan buah. Bisa dihitung jari dalam satu bulan. Padahal, buah dan sayur lokal mudah diperoleh masyarakat daerah.

Masih banyak masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi makanan yang dijajakan keliling dan mie instan. Bahkan mereka mengartikan membeli makan di luar sebagai bentuk kasih sayang anak. Padahal, makanan instan atau yang dijajakan di luar belum tentu mengandung gizi seimbang yang dibutuhkan anak. Seharusnya, arti sayang anak adalah sadar kebutuhan gizi anak.

Sebagian besar masyarakat juga terbiasa memilih mengonsumsi makanan instan berkadar garam, gula, dan lemak tinggi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya literasi gizi maupun pendapatan orang tua. Akhirnya, pola makan tak sehat ini diwariskan pada anak-anaknya.

Rendahnya literasi gizi orang tua maupun selera makan anak dipengaruhi oleh media digital sebagai representasi budaya global yang kurang sehat. Hal ini memicu krisis icon gizi anak, khususnya bagi anak-anak daerah.

Selain tantangan global, budaya daerah yang tidak arif juga berkontribusi menciptakan malnutrisi. Misalnya pengetahuan turun-temurun bahwa telur dan ikan laut tidak baik dikonsumsi anak-anak sebab dipercaya menjadi penyebab penyakit bisul dan gatal-gatal pada anak. Padahal, kedua penyakit kulit itu diakibatkan oleh gangguan kuman atau infeksi. Tentu keyakinan ini dapat membuat anak kekurangan protein.

Kemudian, masih banyak masyarakat yang percaya takhayul dan lebih meyakini saran dukun bayi yang menyatakan bahwa gizi buruk dan penyakit anak disebabkan oleh gangguan mistis dan hal-hal berbau supranatural. Akhirnya, pengobatannya tidak dilakukan dengan cara masuk akal dan berbasis ilmu pengetahuan medis, seperti pijat hingga ritual-ritual tertentu. Padahal, gizi buruk tidak selalu diakibatkan kurang nafsu makan, melainkan asupan makanan yang miskin gizi.

Lalu, beberapa tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh ada yang masih menerapkan gaya hidup tidak sehat seperti merokok. Akhirnya masyarakat, terutama anak-anak muda, pun meniru figure yang dipanutinya tersebut. Hal ini mengurangi anggaran belanja yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli pangan bergizi.

Anak dengan pola makan buruk rentan mengalami malnutrisi. Mereka sangat rentan pada penyakit, luka sulit sembuh, proses tumbuh-kembang terhambat, dan penurunan daya intelektualitas. Jika demikian, bonus demografi Indonesia tidak akan maksimal, justru menjadi beban. Bukan generasi produktif. Cita-cita Indonesia Emas 2045 pun mustahil terwujud. Dampak beban demografi nasional lebih banyak ditanggung oleh daerah karena belum meratanya pembangunan dan fasilitas penunjang kehidupan.

Peran DPD RI; Mempopulerkan Mitos dan Pangan Lokal

Anak daerah adalah tulang punggung masa depan nasional. Gizi mereka harus diselamatkan supaya memiliki kekuatan untuk memajukan daerah, selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah nasional.

Masyarakat daerah, terlebih anak-anak, tentunya tidak bisa berjuang sendiri. Oleh sebab itu, kehadiran Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sangat berperan besar untuk mengatasi krisis gizi anak. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan budaya dan pangan lokal. Kekuatan budaya lokal berperan sebagai media edukasi pola hidup sehat, sedangkan pangan lokal sebagai alternatif sumber pangan sehat yang terjangkau dan mudah diperoleh.

Contoh pemanfaatan budaya lokal itu adalah pamali atau “kebohongan bermanfaat” sejenisnya. Misalnya, dulu saya pernah dibujuk orang tua untuk makan daging sapi, sebab saya tak suka aromanya tak sedap. Akhirnya, orang tua saya “membohongi” dengan menyebut itu adalah aroma doa pak Kyai. Jika mau makan daging tersebut, saya akan dapat keberuntungan. Akhirnya, saya terbujuk dan mau makan daging sapi.

Tentunya, ada banyak “kebohongan bermanfaat” serupa yang dapat mengarahkan anak agar mau makan makanan sehat. Bentuknya beragam dan cukup banyak di daerah-daerah. Sebab itu, DPD RI perlu menggalang kelompok budayawan, periset, seniman, dan tokoh lokal untuk menggali kearifan lokal yang pas sebagai pendekatan kampanye hidup sehat. Pendek kata, kerjasama tersebut bertujuan untuk menciptakan “Popeye lokal” untuk mengatasi krisis icon gizi anak daerah. Tokoh fiktif role model hidup sehat anak harus dikampanyekan secara massif, hingga betul-betul masuk dalam hati dan fikiran anak.

Selain itu, DPD RI perlu menggalang kerjasama dengan koki-koki dan ahli gizi di daerah untuk mencipatakan konsep jajanan lokal sehat dan menarik bagi anak. Sebab, selama ini dunia koki lebih banyak tercurahkan untuk mengembangkan ekosistem (Food and Bavarage) F&B bisnis saja. Kreatifitas mereka masih tercurahkan untuk membuat konsep makanan komersial. Padahal, anak-anak butuh peran mereka untuk memperoleh pangan kaya akan gizi dengan tampilan menarik dan cita rasa yang disukai anak.

Ahli gizi diperlukan kontribusinya untuk meriset dan menggali sumber pangan lokal yang terjangkau masyarakat lokal. Data inventaris pangan lokal bergizi tersebut kemudian diolah oleh koki yang mahir mengkreasikan makanan anak. Kolaborasi dan kerjasama ini sangat mungkin dilakukan melalui program utama pemerintah “Makan Bergizi Gratis”. Justru, kolaborasi ini akan memperkuat kualitas program pemerintah, sebab tidak hanya berfungsi sebagai dapur pangan anak saja. Melainkan menciptakan inovasi pangan anak yang terjangkau dan menarik.

Tentunya, proyeksi inovasi masa depan pangan sehat anak ini di atas hanya menjadi tulisan dan wacana saja bila tidak ditransformasikan menjadi kebijakan publik. Sebab itu, peran DPD RI yang punya wewenang legislatif sangat dibutuhkan untuk mengkongkritkan hal ini menjadi kenyataan. Peran masyarakat biasa sangat terbatas untuk mewujudkan proyeksi inovasi masa depan pangan dalam skala luas dan efektif.

Saya yakin betul, kolaborasi peran DPD RI dengan berbagai profesi di atas menjadi kunci mencegah ancaman malnutrisi daerah. Tujuan SDGs dan Indonesia Emas 2045 pasti tercapai bila DPD RI mengambil wewenang dan fungsi legislatifnya sebagai pahlawan gizi anak-anak daerah.

Blogger.

Post a Comment